Mengenai Penghunian awal Pulau Jawa,
khususnya di abad-abad pertama Masehi, Thomas Stamford Raffles (1971-1826)
dalam karya masterpeace-nya, Histori of Java, pada bab X, “Sejarah(Peradaban) Jawa dari Awal Tradisi hingga Munculnya Islam” (2008, h.430) menguraikan
secara panjang lebar, yakni sebagai berikut.
“Di antara
berbagai cerita tradisi yang berhubungan dengan tata kehidupan di Pulau
Jawa dan kepulauan timur lainnya, yang telah dihuni penduduknya sejak dahulu,
dan sumber tulisan yang dibuat ketika orang-orang di sana sudah mulai mengenal
tulisan, diketahui bahwa para penghuni Pulau Jawa pertama datang dengan
menggunakan perahu-perahu dari Laut Merah (Laut Mira).
Dan di dalam keterangan itu juga disebutkan bahwa
orang-orang tersebut menyusuri sepanjang pantai di Hindustan.
Pada waktu itu, teluk tersebut membentuk sebuah daratan
benua yang tidak terpisahkan dengan daratan di Kepulauan Hindia (Belanda),
tetapi pada saat itu keduanya telah jauh terpisahkan.
Baca juga Sejarah Kesenian Kuda Lumping
Dan menurut berbagai cerita tradisional yang ada,
keduanya kemudian terbagi menjadi begitu banyak pulau yang saling berjauhan
yang diakibatkan oleh adanya beberapa pergerakan alam atau revolusi perubahan
elemen-elemennya.
Orang-orang tersebut diperkirakan yang dibuang dari
Mesir, dan terdiri dari berbagai macam individu yang menganut berbagai
kepercayaan agama yang berbeda-beda pula.
Mereka kemudian membawanya bersama menuju ke tempat
pengasingan mereka, termasuk cara-cara pemujaan dan juga perlengkapan yang
digunakan.
Beberapa dari mereka dikatakan memuja matahari, yang lain
memuja bulan, beberapa lagi memuja elemen api dan air, dan sisanya memuja
pepohonan di hutan.
Seperti halnya mannusia-manusia yang tidak beradab
lainnya, mereka juga sangat tertarik pada seni ketuhanan dan khususnya yang
berhubungan dengan praktik astrologi.
Baca juga Jalur Rempah, Interkoneksi, dan Keberadaan Bangsa Asing di Nusantara
Di dalam pandangan lainnya, mereka dideskripsikan sebagai
orang-orang liar yang tinggal berkelompok tanpa tempat tinggal tetap dan tanpa
mempunyai perlindungan yang berupa pemerintahan reguler atau batasan hukum yang
ditetapkan.”
Di luar itu, meski Raffles
menganggap bahwa mereka sebagai manusia-manusia yang tidak beradab, tetapi
konon mereka sangat tertarik pada seni ketuhanan yang khususnya berhubungan
dengan praktik astrologi.
Padahal praktik seni Ketuhanan dan
Astrologi jelas mengindikasikan bahwa mereka telah memiliki pandangan terhadap
dunia dan sejarahnya, yakni sesuatu yang identik dengan makan intelektualitas,
religi, dan pandangan kesejarahan.
Sehingga pandangan yang
dideskripsikan sebagai orang-orang liar yang tinggal berkelompok tanpa tempat
tinggal tetap dan tanpa mempunyai perlindungan yang berupa pemerintah reguler
atau batas hukum, wajib dipertanyakan.
Baca juga Kesenian Jawa
Terbukti dalam hal ini, Raffles,
selain juga menguraikan bentuk dan jalinan tata hubungan (etika) sosial
antarmasing-masing orang, yang menurutnya barulah melulu didasarkan pada aspek
usia, ia juga mencatata adanya kebiasaan sosial dan sistem religi (ritual) yang
cukup menarik (2008, h.430-431).
“Penghormatan terhadap usia hanyalah satu-satunya hal
yang ditaati oleh mereka. Orang tertua di dalam dua kelompok dipandang sebagai
tetua mereka dan berhak untuk mengingat pergerakan-pergerakan sederhana atau
melakukan kewajiban-kewajiban politik.
Ketika hasil panen elah dikumpulkan dan upacara
persembahan dilakukan, tetualah yang menetapkan cara dan waktu keberangkatan
kelompok dari satu tempat ke tempat lainnya.
Pada kesempatan ini, suatu kelompok setia memberikan
persembahan mereka dan merayakannya di sebuah dataran terbuka kemudian
meninggalkan sisa hidangan mereka untuk menarik perhatian burung yang disebut “ulungaga”
dan para pemuda memainkan angklung, serta menyuarakan teriakan-teriakan
menirukan suara burung tersebut.
Baca juga Historis dan Filosofi Tembang Sluku-Sluku Batok
Apabila sang burung tidak memakan hidangan yang
disajikan, atau jika setelah itu tetap terbang di udara, hinggap perlahan di
atas pohon, atau jika arah terbangnya berlawanan arah dengan arah terbang yang
diharapkan kelompok itu, persembahan mereka haruslah diperbaharui.
Akan tetapi, jika burung itu memakan hidangan, lalu
terbang searah dengan arah perjalanan yang dilakukan, upacara itu diakhiri
dengan menyembelih dan memanggang seekor kambing, anak kambing atau hewan
lainnya yang masih muda sebagai sebuah persembahan dari rasa terima mereka
terhadap yang disembah.
Dan atas terkabulnya pertanda yang sangat diharapkan,
mereka menikmati perayaan sebentar, kemudian diakhiri dengan demonstrasi yang
paling ramai untuk merayakannya, di mana seluruh orang menari dan melompat
sambil diiringi musik angklung.
Baca juga Makna Eling Nalika Lara Lapa
Semuanya telah diatur untuk perjalanan itu, di mana orang
yang tertua dari kelompok, serta istri dan anak-anaknya masing-masing ditempatkan
di atas seekor gajah atau dibawa dalam sebuah tandu yang berteduhkan kain.
Sedangkan sisanya berjalan kaki, yang diawali oleh para
pemuda dan anak laki-laki sambil menyembunyikan angklung dan berteriak keras
dengan tujuan sebagai tanda penghormatan kepada tetua dan juga menakut-nakuti
hewan-hewan liar, yang pada saat itu tinggal di hutan pulau-puulau tersebut.”
Tetapi, yang menarik, bahwa Raffles mengakui, data yang ia tuliskan di atas konon hanyalah data yang berasal dari perkiraan semata. Di sini ia menyadari bahwa data “sejarah Jawa” yang ia ungkap, bukan data sejarah dalam arti sebenarnya (2008, h.431).
“Akan tetapi, ini hanyalah dari cerita perkiraan
mengenai awal kedatangan Adi atau Ajisaka, di mana orang-orang Jawa, bahkan di
dalam tradisi mereka, mencoba untuk memasukinya hingga ke detail-detailnya.
Peristiwa ini secara umum disebutkan sebagai tahun pertama era Jawa yang berhubungan dengan tahun ke-75 era Kristen.”
Baca juga Crita Wayang
Karena data yang disebutkan mengenai
data sejarah Jawa era pertama (abad ke-1 M) hanyalah data yang berasal dari
khazanah belaka, yang memang sejak dahulu –setidaknya pada masa hidup Raffles
di Jawa- hingga sekarang banyak beredar.
Yakni, data massif –yang kemudian
sekarang dikenal sebagai- kitab Jangka
(Ramalan) Jayabaya.
Disebutkan bahwa notabene Jayabaya adalah keturunan raja
besar dan berkuasa dari Astina dan keturunan kelima dari Arjuna, putera Pandu
Dewanata dan seterusnya...
Baca juga Historis, Filosofis, dan Kronologis dari Wayang Kulit
Dalam hal ini diungkapkan sebagai
berikut.
“Prabu Jayabaya adalah seorang raja besar dan berkuasa
dari Astinan, berturunan kelima dari Arjuna, dan putera dari Pandu Dewanaa,
adik dari para keturunan lainnya yang telah berhasil memerintah, yaitu Abimanyu,
Parikesit, Udayana, dan Gandra Yana.
Sang penggawanya atau kepala menterinya adalah seorang
dengan semangat dan kemampuan tinggi, yang diutusnya untuk mendatangi dan
memerintah negara-negara tetangganya.
Di dalam perjalanan, dia mendarat di Pulau Jawa, yang
menjadi kediaman sebuah generasi raksasa, dan tempat ini dikenal dengan nama “Nusa
Kendang”.
Peristiwa ini terjadi pada tahun pertama Jawa, dan hal
ini ditandai dengan “Chandra Sangkala” yang menggunakan kata-kata “nir”, “abu”,
“tanpo”, “jalan” yang secara harfiah berarti “hampa”, “debu”, “tidak ada lain”,
“kecuali laki-laki”, dan secara metaforis menunjukkan angka 0001.”
Baca juga Sejarah Kebaya dan Filosofinya
Kata-kata seperti “Astina” berikut
tokoh-tokoh seperti “Arjuna” pun pada masa-masa itu tidak mengenal Kerajaan
Astina, demikian juga tokoh-tokohnya, kecuali tokoh-tokoh dari suku Arya
(Dravida dan Maurya dalam Arnold, 2004, h.189) –yang kelak pada abad-abad
berikutnya akan berkembang menjadi Kerajaan Gupta (Candragupta Maurya).
Selain itu, masa-masa itu adalah
masa-masa hidup tokoh legendaris Budha Gautama yang notabene berasal dari
Kerajaan Kapilawastu.
Sementara kita tahu bahwa nama
Jayabaya notebene adalah nama seorang
raja ke-3 dari Kerajaan Kediri (jawa Timur), pada periode awal millenium ke-2.
Raja Kerajaan Kediri sendiri notabene raja pertamanya adalah Sri
Jayawarsa Digjaya Sastaprabu. Seperti raja-raja sebelumnya –semisal Airlangga-
Sri Jayawarsa mengeluarkan prasasti pada 1104, yang menganggap dirinya sebagai
titisan Dewa Wisnu.
Selanjutnya, Sri Jayawarsa
digantikan Kamewara (1115-1130) dengan gelar Sri Maharaja Rake Sirikan Sri
Kameswara Sakalabhuwanatustikarana Sarwaniwaryawirya Parakrama Digjayottungga
Dewa.
Baca juga Kobro Siswo dan Proses Islamisasi di Borobudur
Pada masa itu lencara kerajaan
berbentuk tengkorak bertaring yang disebut Cadrakapala. Pada masa
pemerintahannya inilah terdapat seorang empu, yakni Empu Dharmaja yang
menggubah kitab Smaradahana, sebuah kakawin alegoris mengenai perciptaan,
yang isinya sebuah pujian bahwa sang raja adalah titisan Dewa Kama.
Ibu kota kerajaannya bernama Daha
(na), yang notabene keindahannya
dikagumi seluruh dunia.
Permaisuri raja ini terkenal
kecantikannya, bernama Sri Kirana dari Jenggala –dalam cerita Panji yang masih
populer hingga sekarang, terkenal dengan sebutan Candra Kirana –karena notabenee pada masa ini dimulailah
penulisan cerita Panji.
Setelah Kameswara adalah Jayabhaya (1130-1160), bergelar Sri
Maharaja Sri Dharmmeswara Madhusudanawataranindita Suhartsingha Parakrama
Digjayotunggadewa.
Lencana kerajaannya bernama
Narasingha. Nama Jayabaya inilah yang kemudian dikenal sebagai penisbatan
berbagi serat ramalan tersebut.
Baca juga Sejarah Gamelan
Salah satu poin penting mengapa
Jayabaya namanya sangat dikenal hingga kini -meskipun tak ada satu prasasti pun
yang dikeluarkan oleh Raja Jayabaya- karena namanya dikekalkan dalam kitab Mahabarata- sebuah kakawin
yang digubah oleh Empu Sedah (1157) dan diselesaikan oleh Empu Panuluh.
Empu Panuluh sendiri juga terkenal
menggubah kakawin Hariwangsa dan
Gatotkacasraya.
Artinya, meski dalam catatan faktasejarah Jayabaya hampir-hampir tidak meninggalkan prasasti, sebagaimana
Airlanga atau bahkan setelahnya, semisal Girindrawardana Raja majapahit yang
memerintah pada abad ke-15, pengekalan nama dalam Mahabarata inilah yang menjadi kunci kepopuleran Jayabaya –yang menjelma
dalam beberapa serat ramalan (jangka) hingga saat ini.
Dalam cerita-cerita semi-historis
mengenai penggambaran Ajisaka di atas, Raffles juga menyinggung nama “Jawa”
yang konon namanya berasal dari nama tanaman “jawa-wut” (jewaeut), yang notabene dahulu merupakan makanan pokok
penduduk Jawa. Disamping asal mula aksara Jawa.
“Di tempat ini ia menemukan tumbuhan berbiji bernama “jawa-wut”,
di mana pada saat itu menjadi makanan pokok bagi para penghuni Jawa, dan dari
penemuannya itu dia mengubah nama negeri itu dari Nusa Kendang menjadi Nusa Jawa.
Dalam penelusurannya terhadap pulau itu, dia kemdian
menemukan mayat dari dua orang raksasa, yang masing-masing memegang sehelai
daun dengan tulisan di atasnya, di mana salah satunya tertulis dalam bahasa
purwo (kuno) dan yang lain dengan karakter tulisan "Siamese”.
Kemudian ia menggabungkan tulisan-tulisan itu, kemudian
membentuk aksara Jawa yang terdiri dari dua puluh aksara.”
Baca juga Serat Wedhatama dan Serat Tripama
Sekali lagi, kita mungkin tidak
harus meyakini akan kisah ini. Hanya saja kisah-kisah massif ini menarik
mengingat sumber lain yang bisa menjadi rujukan yang pas dan dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Satu misal bahwa sangat kurang masuk
akal bahwa nama tumbuhan “jewawut” dinisbatkan sebagai nama Pulau Jawa, hanya
dengan mengasumsikan bahwa tanaman itu dahulunya merupakan makanan pokok
penghuni Jawa.
Alasan bahwa juwawut sebagai makanan
pokok penghuni Jawa, hemat kami juga kurang masuk akal, mengingat bahwa biji
juwaut amat sangat kecil-kecil, sehingga amat sulit untuk diolah menjadi
makanan.
Satu kenyataan bahwa di Jawa sampai
sekarang masih ditemukan tanaman juwawut, tetapi kenyataannya juwawut tidak
banyak diolah menjadi sumber makanan. Apalagi menjadi makanan pokok.
Apalagi bahwa budi daya padi notabene sudah jauh berkembang di Jawa
pada masa-masa sebelum itu, sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya,
sehingga tidak masuk akal jika menyatakan bahwa juwawut sebagai makanan pokok
penghuni Jawa masa itu.
Baca juga Sastra Jawa Klasik
Mengenai asal nama Jawa sendiri R.
Ng.. Ranggawarsita dalam Serat Paramayoga –meskinotabene juga merujuk pada kisah perjalanan Ajisaka (Kaum Brahmin)
di tanah Jawa –bahwa “jawa” notabene
berasal dari kata “dawa” yang berarti
“panjang” atau pulau yang sangat panjang.
Mengingat bahwa pada masa itu antara
Pulau Jawa dan Sumatra masih menjadi satu kesatuan. Bahkan dimungkinkan Jawa
masih menyatu dengan Pulau Bali serta Nusa Tenggara Barat.
Jadi, pulau ini memang sangat
panjang, membentang dari Sabang sampai Kepulauan Nusa Tenggara Barat.
Dengan pertimbangan lain, bahwa
dalam ejaan lama, ketika orang menulis “jawa” harus disertai dengan huruf “D”,
yaitu “Djawa”. Namun, alasan-alasan ini juga kurang masuk akal.
Hanya saja kenyataan pun bahwa sejak
saat ini -sepengetahuan penulis- belum
ada satu buku pun yang membahas mengenai asal—usul nama Jawa, selain dari
khazanah kisah-kisah massif tersebut.
Baca juga Sejarah dan Filosofi Blangkon
Disarikan dari:
Mata Air Peradaban Dua Millenium
Wonosobo karya H. A. Kholiq Arif & Otto Sukanto CR, diterbitkan oleh LKiS
Yogyakarta pada 2010.
History of Java karya
Thomas Stamford Raffles, diterbitkan oleh Narasi di Yogyakarta pada 2008.
Sejarah Umat Manusia karya Arnold Toynbee, diterbitkan oleh Pustaka Pelajar di Yogyakarta pada
2004.