Kobro Siswo dan Proses Islamisasi di Borobudur


Kubro Siswo Kembali Meliuk-liuk di Maulid Nabi
Sumber gambar : alif(dot)id

Berbicara tenteng Islam di Borobudur, maka secara tidak langsung kita juga berbicara tentang Islam di Jawa, di mana proses Islamisasi di Borobudur dan di pulau Jawa pada umumnya tidak jauh berbeda yaitu sama-sama menggunakan sarana Tradisi dan kebudayaan lokal yang di dalamnya diisi dengan nilai-nilai Islam. Perlu diketahui bahwa Islam di Jawa terutama di pedalaman Islam lebih bercorak Agraris[1], yaitu bercorak sinkretis antara Hinduisme dan Islamisme[2].

Maka tak heran bila Islam di Jawa dan khususnya di Borobudur bisa dengan cepat di terima dan berkembang pesat pada masyarakat setempat. Karena islam masuk tidak dengan paksaan akan tetapi dengan apa yang sudah ada pada diri mereka yang kemudian disesuaikan pada diri mereka. Makalah ini akan membahas tentang tradisi kesenian dari masyarakat Borobudur yang kemudian dijadikan sebagai sarana Islamisasi di daerah ini. Ini sangat menarik karena sebagai mana kita tahu bahwa di daerah Borobudur terdapat sebuah candi terbesar dan juga merupakan pusat peribadatan Waisak, akan tetapi mayoritas penduduk asli dan bahkan bisa di dikatakan semua penduduk asli beragama Islam. Di sini pasti telah terjadi sebuah peralihan luar biasa dari Hindu ke Islam.


Proses Islamisasi di Jawa khususnya Magelang
Ketika Pada zaman wali songo menyebarkan agama Islam di pulau Jawa dan dengan menggunakan media atau sarana tradisi dan kebudayaan lokal yang diisi dengan nilai-nilai Islami. Wali yang menyebarkan Islam di Jawa Tengah adalah Sunan Kalijaga yang terkenal dengan penyebaran agama Islam menggunakan mediasi Wayang kulit dan berbagai tradisi di masyarakat setempat.

Khusus di Magelang yang menyebarkan agama Islam adalah sunan Geseng yaitu murid dari sunan Kalijaga, dan dapat dipastikan bahwa corak berdakwahnya tidak jauh berbeda dengan sunan Kalijga, yaitu menggunakan tradisi dan kebudayaan dari masyarakat setempat yang di dalamnya diisi dengan nilai-nilai ajaran Islam. Makam sunan Geseng terletak di antara perbatasan Grabag dan Salatiga.
Sejarah Kubro Siswo

Kesenian Kubrosiswo pada dasarnya sudah ada sebelum agama Islam masuk ke daerah Borobudur. Tentang kapan berdiri dan siapa yang mendirikan kesenian ini masih kurang jelas, hal ini dikarenakan kesenian ini merupakan tradisi kesenian turun menurun dari nenek moyang masyarakat Borobudur, tapi yang jelas tradisi kesenian ini berasal dari Borobudur.

Kubrosiswo merupakan kesenian tradisional berlatar belakang penyebaran Agama Islam di Pulau Jawa, khusunya Borobudur. Kata Kubrosiswo berasal dari bahasa Jawa yang terdiri dari dua kata, yaitu Kubro  yang berarti besar dan siswo yang berarti siswa atau murid, jadi kubrosiswo bisa diartikan sebagai murud-murid Tuhan yang diimplementasikan dalam pertunjukan yang selalu menjunjung kebesaran Tuhan. Kubro sisiwo merupakan singkatan dari Kesenian Ubahing Badan Lan Rogo (kesenian mengenai gerak badan dan jiwa), sarana untuk mengingatkan umat Islam dan manusia pada umumnya agar menyelaraskan kehidupan dunia dan akhirat.

Kesenian Kubrosiswo juga sering dikaitkan dengan Ki Garang Serang. Beliau merupakan seorang prajurit Pangeran Diponegoro yang berdakwah menyebarkan Agama Islam di daerah pegunungan menoreh. Dalam perjalanannya, beliau memasuki hutan lebat yang masih banyak di huni oleh binatang buas. Untuk memudahkan perjalanannya dalam berdakwah didaerah pegunungan menoreh, beliau membakar sebagian hutan yang digunakan sebagai jalan. Ketika hutan itu dibakar, terjadilah pertentangan antara Ki Garang Serang dengan sekelompok binatang buas. Tetapi karena kesaktiannya, maka para binatang buas dapat tunduk dan mengikuti perintah beliau. Dari pertarunagan inilah kemudian berinspirasi berbagai gerakan dari tradisi kesenian Kubrosiswo.

Selain menyebarkan Agama Islam, beliau juga berjuang mengusir penjajah. Tidak heran jika irama gerak dalam kubrosiswo bercirikan tarian prajurit yang ritmis dan padu dengan musik yang menggugah semangat. “roh” Kubro Siswo yang bersifat spiritual dan enerjik.

Pementasan Kubrosiswo

Kesenian Kubrosiswo ini pada  umumnya dipentaskan malam hari dengan durasi waktui kurang lebih 5 jam dan biasanya ditampilkan secara massal, dengan diiringi oleh lagu-lagu yang bercirikan lagu perjuangan dan qasidah, akan tetapi liriknya telah diubah sesuai misi Islam. Alat musik yang digunakan pada umumnya adalah bende, 3 buah dodok sejenis kendang,  dan jedor atau bedug, kecer atau kecrekan.  Bende berfungsi sebagai pelengkap musik, dodok atau kendang berfungsi sebagai menambah suasana,  bedug atau jedor berfungsi untuk mengiringi gerakan-gerakan dari para penari. Sedangkan cara Dandanan mereka seperti tentara pada jaman keraton, tapi dari pinggang ke bawah memakai dandanan ala pemain bola tak lupa ada “kapten” yang memakai peluit.

Selain memadukan antara tari-tarian dan lagu serta musik tradisional, terdapat juga atraksi-atraksi yang menakjubkan. Diantaranya mengupas kelapa dengan gigi, naik tangga yang anak tangganya terdiri dari beberapa berang (istilah jawa bendho). Atraksi- atraksi ini di maksudkan untuk menarik minat masa agar mereka masuk Islam.

Puncak acara dari tradisi kesenian Kubrosiswo ini ialah ada beberapa dari penarinya yang kesurupan (ndadi, trance) atau kemasukan roh. Adegan kesurupan ini merupakan penggambaran peperangan  Ki Ageng Serang dengan binatang –binatang buas perbukitan Menoreh, hanya saja binatang-binatang itu digantikan oleh pemain kubrosiswo yang berbaju singa atau kerbau (kewanan). Seiring lecutan pecut dan bau kemenyan maka, menarilah binatang-binatang tersebut. Mereka akan unjuk kesurupannya dengan cara yang macam- macam. pemain yang kesurupan ada kecenderungan untuk mendekati jedor atau alat musik lain yang ramai dibunyikan saat itu.

Di akhir acara pawang akan memaksa para binatang untuk mendekati sebuah gentong, yang ternyata berguna untuk melepas roh asing yang menempel pada tubuh si penari. Ketika tubuh si penari berhasil dipaksa mendekati gentong dan doa pun di panjatkan, maka ia akan terkulai lemas. Tujuan dari atraksi punak ini , yaitu ndadi  adalah sesuai degan tradisi yang berkembang di masyarakat Borobudur saat itu yang sangat mempercayai klenikan atau hal-hal yang berbau dengan mistis.

Logika yang berkembag yaitu bagaimana mungkin seorang manusia (Ki Ageng Serang) mampu mengalahkan binatang-binatag buas yang menghadangnya kalau  Ki Ageng Serang ini tidak memiliki kekuatan yang sangat luar biasa. Maka dengan demikian masyarakat pada saat itu akan lebih cenderung mengikuti dan ingin menjadi seperti ki Ageng Serang yang sagat sakti. Dengan demikian mereka akan masuk dan memeluk agama Islam.

Ketika semua penari berhasil disembuhkan maka selesailah acara tersebut. Dalam lagu yang dinyanyikan itu, terdapat beberapa pesan-pesan dakwah. Pesan yang diharapkan mampu mempengaruhi segi kognitif para penontonnya, terutama dalam hal pengetahuan keagamaan.

Salah satu contoh syair lagu dalam Kubro Siswo adalah :

Kito Poro Menungso
(Kita Semua Manusia)
Kito poro menungso ayo podo ngaji
(Kita semua manusia ayo mengaji)
Islam ingkang sampurno pepadanging bumi
(Islam agama yang sempurna, memberi cahaya bagi bumi)
Ayo konco-ayo konco ojo podo lali
(Ayo kawan-ayo kawan jangan sampai lupa)
Lali mundhak ciloko mlebu njroning geni
(Lupa membuatmu celaka, masuk dalam api)
Yo iku aran neroko bebenduning Gusti
(Yaitu neraka tempat pembalasan Tuhan)

Sedikit Kesimpulan
Pada dasarnya kesenian Kubrosiswo ini memang sudah ada sebelum Ki Ageng Serang, akan tetapi Ki Ageng Serang lah yang kemudian menyisipkan nilai-nilai ajaran Islam di dalam kesenian Kubrosiswo ini. Beliau juga menambahkan sebuah ilustrasi tentang perjalanannya yang kemudian beliau bertemu dengan sekawanan binatang buas di pegunungan menoreh dan terjadi perselisihan yang kemudian karena kesaktian beliau hewan-hewan buas tersebut dapat di taklukkan. Ilustrasi ini di tunjukan untuk menarik perhatian masyarakat agar mereka memeluk Islam.

Seiring dengan berkembangnya tradisi kesenian Kunrosiswo ini maka muncul berbagai pengklaiman bahwa Kubrosiswo berasal dari daerah kecamatan Mendut, akan tetapi pada hal ini tidak dapat di buktikan secara ilmiah. Karena kesenian Kubrosiswo yang berasal dari mendut ini berdirinya sekitar tahun 1960 sedangkan  Ki Ageng Serang yang memasukkan unsur-unsur ajaran Islam hidup pada masa pangeran Diponegoro.

Mugkin yang mengklaim bahwa kubrosiswo dari mendut itu bukanlah awal mula pembentukan tradisi Kubrosiswo yang menjadi budaya di Borobudur atau pada umumnya Magelang, akan tetapi i mungkin itu hanya mentradisikan Kubrosiswo di kecamatan Mendut yang diresmikan pada sekitar tahun 1960-an.


Daftar Pustaka
Huda, Nur, Islam Nusantara: sejarah Sosial Intelektual Islam Di Indonesia, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2013
[1] Nor Huda , Islam Nusantara: Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia, Yogyakarta: Ar-ruzz Media, 2013, hal. 69
[2] Ibid., hal. 70
Artikel ini disusun oleh : Khoirul Rokhman Program Studi Akhlak dan Tasawuf Sekolah Tinggi Agama Islam Sunan Pandanaran Yogyakarta 2014