Makna 'Eling Nalika Lara Lapa' [Mutiara Budaya Leluhur Jawa]

 



Ungkapan eling nalika lara lapa (ingat semasa susah) merupakan ungkapan bernada nasihat. Dalam pandangan Jawa, tidak ada keberhasilan yang datang secara tiba-tiba, melainkan melalui perjuangan atau pengorbanan, atau yang sering disebut sebagai waktu perjuangan (dalam istilah Jawa disebut lara lapa). 

Dalam mencapai cita-cita atau keinginan, seorang bisa melakukan perjuangan secara fisik (seperti bekerja keras yang didasari dengan kesungguhan dalam mencapai cita-cita) dan juga secara psikis untuk batin (seperti mengurangi makan dan tidur sebagai sarana mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Pengasih). 

Ungkapkan ini sekaligus sebagai simbol keyakinan orang Jawa bahwa semua yang ada di dunia ini mengalami perubahan (dalam istilah Jawa disebut owah gingsir). Dari keyakinan tersebut, seorang diharapkan tidak terlalu hanyut dalam penderitaan ketika mengalami nasib yang kurang menyenangkan. Sebaliknya, seseorang juga jangan terhanyut dalam luapan kegembiraan tatkala mengalami peristiwa yang dipandang menyenangkan.

Ungkapan ajal alali nalika lara lapa erat pula kaitannya dengan upaya meredam nafsu-nafsu keserakahan ketika memiliki kekuasaan/kekuatan setelah melewati proses perjuangan sebelumnya. 

Dengan nasihat itu diharapkan seseorang dapat mengendalikan dirinya untuk tetap bertindak dalam jalur yang 'semestinya' (dalam koridor aturan dan nilai-nilai kebijakan) dan tidak terjebak atau terhindar dari dorongan nafsu yang mengarahkan seseorang menjadi berwatak sapa sira sapa Ingsun (siapa kamu dan siapa saya), sebentuk pribadi yang kumawasa (sok berkuasa atau sok berkemampuan). 

Predikat sira (kamu) sebagai cermin dari pihak yang berbeda pada posisi sebagai client atau bawahan, dan predikat ingsun (saya) sebagai cermin dari pribadi patront atau penguasa.

Di samping itu, ungkapan aja lali nalika lara lapa (jangan lupa sewaktu hidup menderita) erat kaitannya dengan nilai-nilai kebersamaan dan kesetiakawanan. Ungkapan ini sering muncul pada situasi perjuangan kolektif untuk tujuan bersama, seperti perjuangan dalam mencapai kemerdekaan bangsa, dan sebagainya. 

Dalam masa perjuangan atau sewaktu menderita, rasa kebersamaan, dan seia-sekata (senasib-seperjuangan demi tujuan) itu sangat kuat karena diikat oleh tujuan sentral yang akan dicapainya. Akan tetapi, setelah perjuangan selesai dan berhasil, nasib pihak-pihak yang turut berjuang atau menderita tidaklah sama. 

Ada sebagian yang bernasib baik dengan memperoleh kedudukan dan imbalan jasa yang sangat baik. Bahkan, tidak sedikit dari mereka itu  menduduki posisi strategis yang menentukan kebijakan dan kepentingan banyak pihak. 

Kenyataan membuktikan bahwa para mantan pejuang kemerdekaan mendapat kedudukan sebagai penyelenggara pemerintahan. Akan tetapi, tidak sedikit di antara teman-teman seperjuangan mereka tetap hidup kekurangan dan tidak mendapat imbalan jasa atas perjuangan mereka. 

Tatkala para penentu kebijakan yang berasa dari mantan pejuang tersebut melupakan kawan-kawan seperjuangan yang masih menderita, maka sikap atau tindakannya itu disebut sebagai lali nalika lara lapa.

Dalam kehidupan keluarga pun ungkapan aja lali nalika lara lapa memiliki peran signifikan. Banyak pasangan suami-istri yang semula dengan sabar dan tekun berjuang menegakkan kehidupan rumah tangga, menjadi berantakan akibat tindakan salah satu diantara keduanya. 

Penyebab umumnya, setelah kehidupan keluarga mapan (tercukupi secara materi), satu diantara keduanya (kemungkinan pihak istri atau suami) berbuat ulah sehingga menyebabkan salah satu dari keduanya menderita (seperti pihak suami/istri melakukan perselingkuhan, menyia-nyiakan suami/istri, dan sebagainya). Tindakan yang tidak semestinya tersebut disebut sebgaai sikap lali nalika lara lapa.

Ungkapan aja lali nalika lara lapa memberikan arahan dan nasihat agar seseorang tidak melupakan jasa baik orang lain. Semua orang harus bersikap dan berupaya untuk dapat mbales kabecikan (membalas kebaikan) terhadap orang lain. Setiap orang perlu memiliki keyakinan bahwa keberhasilan (kekayaan materi, kedudukan atau jabatan, dan sebagainya) tidak mungkin diraih tanpa peran atau bantuan pihak lain. Oleh sebab itu, sikap yang bijaksana adalah seseorang tidak lupa diri setelah berhasil tercapai keinginannya. 

Pendek kata, seseorang harus dapat bersikap tepa slira yang dilandasi oleh sikap menghargai jasa orang lain. Dengan demikian ungkapan aja lali nalika lara lapa cocok pula diterapkan dalam kehidupan rumah tangga, politik, sosial, dan sebagainya, sebagai ungkapan guna mengendalikan diri seseorang agar tidak terjebak pada sikap lali purwa daksina (lupa diri pada asal mula) atau melupakan jasa orang lain yang telah andil dalam mencapai kesuksesan dirinya. 

Dalam era kehidupan yang serba canggih dan banyak terbuka peluang bagi seseorang untuk mencapai 'kemajuan' dalam bidang ekonomi maupun status sosial (jabatan dan sebagainya), ungkapan aja lali nalika lara lapa justru sangat relevan. Dewasa ini banyak 'orang kaya baru' yang semula berasal dari kehidupan masyarakat/keluarga miskin. Jika tidak mampu mengendalikan diri, 'orang kaya baru' cenderung lupa diri - lupa keluarga, lupa terhadap perjuangan orangtua dan keluarganya, lupa terhadap sumbang masyarakat sekitarnya yang telah mengantarkannya mencapai 'kemajuan' tersebut. 

Akibatnya, 'orang kaya baru' tersebut kemudian berubah menjadi sosok yang egois atau individualis.

Sesuai dengan kondisi jaman saat ini dan kecenderungan masa yang akan datang, nasihat aja lali nalika lara lapa menjadi hal penting untuk 'diwariskan' kepada generasi muda agar mereka dapat tumbuh sebagai sosok yang mampu menghargai pihak lain dan tidak melupakan peran orang lain (keluarga, masyarakat, kelompok, kawan, dan sebagainya) yang mendorong dan mengantarkannya agar dapat mencapai keinginan. 

Adanya banyak hujatan terhadap partai politik (setelah menjadi pemimpin-pemimpin dalam lembaga negara sebagai DPR, MPR, DPRD, Presiden, Gubernur, Bupati) yang dinilai mengingkari janji-janjinya sewaktu kampanye karena tidak memperhatikan kehidupan orang banyak dan mementingkan dirinya sendiri (untuk menumpuk kekayaan dengan cara negatif, mengamankan jabatan dari pesaingnya, dan sebagainya) merupakan gambaran sikap aja lali nalika lara lapa (lupa terhadap masa menderita atau masa perjuangan). 

Pada masa menderita atau perjuangan dalam mencapai keinginannya ia meminta bantuan masyarakat untuk mencoblos partainya, tetapi setelah mendapatkan 'tempat yang enak' mereka melupakan kehidupan masyarakat atau bangsa yang telah memilihnya atau memberikan kepercayaan kepadanya. Dengan demikian sikap lali nalika lara lapa cenderung melahirkan pribadi yang hanya mengeksploitasi orang lain demi tujuan pribadi atau kelompoknya. 

Sikap seperti itu dapat menyakitkan perasaan masyarakat sehingga mereka kehilangan kepercayaannya kepada orang-orang yang lali (lupa) terhadap janji-janjinya, lali terhadap nilai perjuangan, lali terhadap perjuangan dan jabatan yang sebenarnya hanya sebatas amanah dan titipan belaka. 

Sumber saduran Mutiara Budaya Jawa; Pardi Suratno, Edi Setiyanto, Warih Jatirahayu.