Ilustrasi: Kompas/Heryunanto |
Bagi generasi milenial dan generasi Z, salah satu
pemaknaan hidup mendasar di era teknologi digital super canggih saat ini adalah
konektivitas di dunia maya dan privilese keterhubungan tanpa batas ruang dan
waktu yang tak lagi linear.
Hal ini berbeda dengan generasi sebelumnya yang memaknai
hidup dengan menjalin hubungan secara langsung, bertatap muka, mengandalkan
interaksi sosial, serta berpartisipasi dalam ranah komunitas. Interaksi
dilakukan atas dasar kontak personal yang intens dan bisa diraba-rasakan.
Dalam area kognitif, kontrol diri generasi milenial dan
generasi Z, secara metafora dan harfiah ada di genggaman, terkunci dalam daftar
kontak Whatsapp dan akun media sosial. Sementara bagi generasi sebelumnya,
nilai yang dijunjung tinggi berada dalam keluarga dan komunitas yang mereka
pijak sehingga sering tak tergenggam.
Baca juga: Bertumbuh dengan Merelakan
Perbedaan karakteristik ini pula yang memengaruhi level
kebahagiaan. Ukuran kebahagiaan generasi milenial dan generasi Z ada dalam
rangkaian rumus dan kode digital pada perangkat aplikasi rumit yang
menghasilkan likes dan engagement rate yang tinggi. Adapun generasi sebelum
mereka, algoritma hidup bahagia tecermin ketika mendapat pekerjaan yang
dicita-citakan, mampu membahagiakan orangtua, hidup sehat, punya rumah, dan
berkeluarga.
Bayangkan bila dua rangkaian variabel antargenerasi ini
dipertemukan dalam ruang komunitas yang hidup.
Dalam area kognitif, kontrol diri generasi milenial dan generasi Z, secara metafora dan harfiah ada di genggaman, terkunci dalam daftar kontak Whatsapp dan akun media sosial.
Baca juga Mengenal Gangguan Kecemasan Lebih Dekat
Runut skenario reaksi yang paling sederhana akan diawali
dengan tubrukan nilai dan dentuman emosi kecil sesaat. Berlanjut dengan
internalisasi dan mencoba menerima konsep masing-masing. Namun, bisa dipastikan
berakhir dengan satu skenario, yaitu konflik. Pasti konflik! Mengapa?
Penelitian Hess dkk dalam artikel riset yang
dipublikasikan di Journal of Population Aging tahun 2017 bisa menjelaskan hal
ini. Perbedaan nilai, pola pikir, dan pengalaman hidup antargenerasi menciptakan
konteks sosial yang karakteristiknya unik dan dimaknai berbeda oleh tiap pelaku
generasi.
Dalam artikel tersebut, dengan fokus kajian pada populasi
lanjut usia generasi baby-boomers, dijelaskan, ketertarikan utama mereka
terkait dengan semua yang berorientasi kebahagiaan keluarga, anak keturunannya,
dan jaminan kemapanan hidup secara finansial.
Baca juga: Kesadaran dan Ketaksadaran
Generasi milenial dan generasi Z secara kluster
psikologis sebenarnya memiliki perbedaan prinsip, tetapi keduanya memiliki
karakteristik unik dan kolektif dalam mendefinisikan ketertarikan sosial.
Hal itu dibentuk serta dipertajam oleh kehadiran
teknologi digital yang perkembangannya edan banget. Secara sosio-kultural, ini
dua kutub variabel yang menyerupai medan magnet positif dan negatif, berlawanan
dan saling dorong.
Menurut Brenna Skulley, generasi muda zaman ini, baik
generasi X, Y, Z, hingga generasi milenial yang kini merupakan demografi
terbesar di dunia, semuanya memiliki pendekatan yang sangat pragmatis terhadap
nilai hidup. Generasi muda sangat self-centric, berorientasi hasil (result),
serta memprioritaskan stabilitas dan pertumbuhan diri (personal growth).
Baca juga beragam CERPEN dan PUISI untuk menghibur dan memotivasi jiwa dan pikiranmu setelah seharian beraktivitas, bekerja, atau
Pendekatan nilai ini tidak serta-merta ditoleransi
generasi sebelumnya karena tools (perangkat) yang mengiringi perkembangan
antargenerasi sangat berbeda secara signifikan. Layar televisi dan telepon
rumah yang membentuk citra diri generasi ”tua” adalah benda primitif bagi
generasi hari ini yang berganti versi Iphone atau Android dalam hitungan bulan.
Dua rujukan ini sudah cukup untuk memperkuat potensi
reaksi konflik antargenerasi ketika bertemu dalam satu masa hidup, seperti
terjadi sekarang. Luaran konflik antargenerasi yang terjadi hari ini sangat
kompleks dan multidimensi.
Dalam kajian Age Concern in New Zealand (2019), kelompok
pakar mengidentifikasi konflik antargenerasi sebagai age-quake, cataclysm,
threat, burden, hingga grey tsunami dan sepakat bahwa hilirnya berdampak pada
kesehatan jiwa.
Luaran konflik antargenerasi yang terjadi hari ini sangat kompleks dan multidimensi.
Baca juga beragam artikel Sudut Pandang dari berbagai tokoh berpengaruh, akademisi, dan para pemikir atau ahli
Benturan Nilai
Penelitian Lui Priscillia yang dipublikasikan di
Psychological Bulletin (2015) menegaskan, ketidakcocokan nilai budaya
(acculturation mismatch) antara dua atau lebih generasi yang berbeda hampir
pasti menciptakan konflik sosial budaya.
Benturan nilai antargenerasi yang berbeda karakter ini
berdampak langsung terhadap potensi gangguan kesehatan jiwa, yang ironisnya
merupakan hasil dari persinggungan alami antara perbedaan pandangan, nilai, dan
norma, secara terus- menerus, antara generasi muda dan generasi sebelumnya.
Nilai dan norma yang ditunjukkan generasi ”tua” dilihat
sebagai bentuk tradisionalisme dan konservatisme usang, sementara generasi yang
lebih muda cenderung liberal dan progresif. Akibatnya, mengakses dan membuat
konten Instagram dan Youtube berjam-jam setiap hari akan diartikan berbeda oleh
generasi masing-masing.
Sudut pandang berbeda inilah yang menimbulkan konflik
nilai yang secara biomedis dapat menyebabkan stres akibat diproduksinya hormon
kortisol. Hal itu terjadi karena perdebatan sengit tentang ngapain ngabisin
waktu di depan hand phone berjam-jam melawan konsep berpikir follower saya
adalah support system yang dapat diandalkan.
Baca juga artikel KEBAHASAAN agar dalam menulis dan berbicara makin jago.
Perdebatan itu diikuti dengan ketegangan, kesulitan
berkomunikasi, rasa saling tidak memahami, penolakan, dan perasaan tidak
diterima oleh generasi yang berbeda. Hal ini berlanjut dengan perilaku
kontra-psikologis, seperti menjauh, kesepian, hingga merasa cemas (anxiety),
depresi, dan bahkan kondisi lebih serius, yaitu self-harm, kemudian bunuh
diri!
Meskipun konflik nilai terjadi di antara dua generasi,
konsekuensi gangguan kesehatan jiwa sangat mungkin hanya terjadi pada generasi
yang lebih muda. Hal ini disebabkan mekanisme pertahanan emosional dan kejiwaan
generasi yang lebih muda belum sematang generasi sebelumnya. Bisa dibayangkan,
itulah kondisi yang sekarang terjadi secara luas, tidak hanya pada satu-dua
anak muda, tetapi pada jutaan anak muda Indonesia.
Studi Susenas 2018 menemukan satu dari dua orang
Indonesia usia muda dan produktif mengalami gejala gangguan kesehatan jiwa
ringan dan sedang. Sangat beralasan apabila UGM tahun 2020 mengeluarkan
pernyataan Indonesia darurat kesehatan mental.
Kalau hidupmu kurang motivasi, mudah lelah dan mletre, sila carger dengan baca kisah dari para SOSOK yang keren.
Hal ini diperkuat dengan studi kualitatif yang dilakukan
Kaukus Masyarakat Peduli Kesehatan Jiwa, Oktober 2023. Hasil studi menemukan
tingkat urgensi masalah kesehatan jiwa di Indonesia sangat tinggi,
multidimensi, dengan fokus prioritas intervensi yang juga sangat beragam.
Hasil studi menemukan tingkat urgensi masalah kesehatan jiwa di Indonesia sangat tinggi, multidimensi, dengan fokus prioritas intervensi yang juga sangat beragam.
Isu Prioritas
Penelitian studi eksploratif berbasis titik temu
antarsumbu dari Kaukus Masyarakat Peduli Kesehatan Jiwa menemukan, faktor
pendorong tingginya tingkat urgensi masalah kesehatan jiwa di Indonesia
didominasi tiga esensi kunci.
Ketiganya adalah: (1) adanya stigma yang luas dan masif
terhadap penderita gangguan kesehatan jiwa; (2) lingkungan spesifik terutama
pada tingkat keluarga, sekolah, dan tempat kerja yang sebagian besar tidak
ramah kesehatan jiwa; dan (3) fenomena self-diagnostic terutama terjadi di
kalangan remaja, anak sekolah, dan pekerja.
Penelitian ini menganalisis lebih jauh terkait isu
prioritas yang harus menjadi fokus intervensi, baik pencegahan maupun
penanganan spesifik.
Baca juga ragam artikel tentang BUDAYA
Terlihat bahwa masalah kesehatan jiwa di Indonesia begitu
kompleks hingga teridentifikasi 27 isu prioritas yang harus dibenahi secara
bersamaan untuk mencegah supaya dampak gangguan kesehatan jiwa tidak semakin
kronis.
Dari sekian banyak matriks isu prioritas dan esensi
masalah kesehatan jiwa ini, terselip beberapa komponen, seperti penggunaan
gawai tak terkontrol pada anak dan remaja, beban generasi sandwich, pencarian
jati diri, pengaruh medsos, serta problem emosi, perilaku dan kekerasan
berbasis keluarga.
Temuan kelompok faktorial ini secara langsung
mengoneksikan benturan nilai antargenerasi, yang terintegrasi dengan teknologi
digital dan medsos, terhadap isu prioritas kesehatan jiwa anak muda Indonesia.
Baca juga beragam TIPS biar hidupmu ngga gitu-gitu aja
Bahwa benar ada dampak negatif ketergantungan anak muda
terhadap teknologi digital, tetapi membatasi atau bahkan meniadakan interaksi
antarteknologi digital dan generasi milenial hingga generasi Z adalah suatu
kemustahilan. Bagaimanapun, segala sendi kehidupan telah terlampau tergantung
pada digitalisasi dari hulu hingga hilir.
Salah satu rekomendasi Kaukus adalah mengarusutamakan mitigasi berorientasi diskusi dan komunikasi antargenerasi. Hal ini perlu dilakukan untuk mencegah memberatnya dampak benturan nilai. Di sisi lain juga secara bijak melihat teknologi digital sebagai bagian dari sumber daya penting untuk memajukan peradaban.
Baca juga cerpen Guru Tinus Sudah Merdeka
Strategi Intergenerasional
Dalam penelitian meta-analisis skala besar tentang
kesehatan jiwa anak dan remaja selama pandemi Covid-19 yang dipublikasikan
European Child & Adolescent Psychiatry (2023), Kristin Wolf menegaskan
keberhasilan mitigasi kesehatan jiwa anak dan remaja ditentukan tiga pendekatan
utama.
Ketiga pendekatan itu berbasis attachment, mentalization,
dan emotion regulation. Satu aspek yang digarisbawahi adalah aspek membangun
komunikasi sosial yang tidak berprasangka (prejudice) dan mengutamakan luaran
yang membangun.
Orientasi strategi kesehatan mental sewajarnya harus
inklusif dan merangkul semua variabel kunci dan bukan malah mengeliminasinya.
Ini termasuk di dalamnya kebutuhan untuk komunikasi antargenerasi yang ramah
teknologi digital, terutama media sosial dan aplikasi berbasis kecerdasan
buatan (artificial intelligent) yang semakin menjamur saat ini.
Baca juga cerpen Perempuan yang Menikahi Tubuhnya Sendiri
Bagaimanapun, segala sendi kehidupan telah terlampau tergantung pada digitalisasi dari hulu hingga hilir.
Di Indonesia konsep ini seyogianya diselipkan di
kehidupan keluarga, sekolah, tempat kerja, dan komunitas yang berkembang secara
lokal, dan tidak diseragamkan secara nasional.
Ada satu contoh konkret bagaimana sekelompok anak muda
melalui karang taruna digital di Kediri mengembangkan model bercocok tanam
dengan memanfaatkan teknologi kecerdasan buatan dalam memilih benih jagung
sehingga bentuk produksi pipilan kering menjadi jauh lebih berkualitas dan
lebih lama masa simpannya.
Penjualannya pun tidak lagi secara konservatif, tetapi
memanfaatkan teknologi loka pasar di media sosial yang efektif, lebih memberi
profit, dan berkelanjutan.
Keberhasilan ini tercapai karena dilakukan dialog
antargenerasi yang mulus dan berproses. Perangkat teknologi digital tidak
dianggap sebagai musuh dalam interaksi antargenerasi. Dampak ikutannya adalah
penetapan kota Kediri sebagai salah satu kota paling bahagia di Indonesia pada
tahun 2023.
Baca juga cerpen Puisi Apa yang Kau Tulis setelah Hari Ini
Konflik dan benturan antarnilai tidak hanya terjadi di
masa kini, tetapi juga di masa lampau, dan terus akan terjadi di masa
mendatang. Peradaban manusia akan terus menguji produk antargenerasi dan yang
dapat bertahan adalah hasil dari kompromi intergenerasional yang diperoleh
lewat proses panjang dan tak selalu menyenangkan.
Bedanya, hari ini benturan antargenerasi dibebani pemain
baru, yaitu teknologi digital yang berproliferasi sangat cepat dan dahsyat yang
berdampak pada masalah kesehatan jiwa.
Dibutuhkan peran banyak pihak, tak hanya pemerintah, untuk memfasilitasi dan mendampingi dialog intergenerasional ini agar komunikasi terjaga dan tetap kondusif.
Ditulis oleh Ray W Basrowi, Peneliti Kedokteran Komunitas
dan Inisiator Kaukus Masyarakat Peduli Kesehatan Jiwa.
Artikel ini pertama kali terbit di kompas(dot)id rubrik opini edisi 14 November 2023.