Penulis Tua karya Haryo Pamungkas
![]() |
Sumber Gambar : Haryo Pamungkas |
Tidak ada yang lebih menarik
dari orang berumur 80 tahun sepertiku selain merenung dan mengenang. Sudah tak
ada gairah untuk masa depan, tak ada ambisi, semua yang kudapat sampai saat ini
terasa sudah cukup. Sisa bekal kesiapan untuk dunia selanjutnya. Dan menunggu.
Seperti antre dalam loket pembayaran.
Kenang-kenangan masa lalu
mirip potongan puzzle yang mulai terbentuk satu per satu ketika merenung.
Kenangan sewaktu muda bersama almarhumah istriku, atau soal lika-liku kehidupan
yang pernah kujalani.
Barangkali inilah fase
paling menarik dalam hidup: mengenang masa lalu. Setelah semua hal buruk dan
baik datang silih berganti sebagai bumbu perjalanan usia. Inilah fase itu,
ketika diam-diam aku tertawa membayangkan permainan masa kecil yang begitu menyenangkan
bersama sahabat-sahabat kecil yang entah di mana sekarang. Atau terkadang,
ketika melihat cucuku Alenia, aku membayangkan, apakah anak kecil sekarang
masih merasakan betapa menyenangkannya bermain di sungai yang jernih. atau
memanjat pohon kelapa setelah riang bermain sepakbola di tanah lapang? Sedikit
banyak kuamati anak-anak kecil—khususnya yang tumbuh di kota—sekarang lebih
senang bermain gadget. Aku membayangkan betapa tidak serunya ketika nanti
mereka sudah seusiaku, hal apa yang bisa dikenang? Jika hidup hanya dihabiskan
di depan layar kotak yang bisa memuat segalanya?
“Kakek, kakek…” lamunanku buyar ketika
mendengar suara manis dari cucuku. Alenia.
“Iya sayang?”
“Coba lihat, tadi Alenia
disuruh menggambar di kelas. Ini gambar buat kakek.” Dengan senangnya gadis
kecil yang giginya masih belum genap itu menyerahkan selembar kertas yang
berisi gambar padaku.
“Mana? Coba kakek lihat.”
“Ini gambar Alenia?
Bagusya…”
Gadis kecil itu hanya
meringis, tersipu malu. Ah, satu lagi hal menarik untuk orang berumur 80 tahun
sepertiku: melihat senyum manis yang tergambar dalam wa jah cucuku, Alenia.
Sebenarnya aku membatin.
Gambar itu, tidak seperti gambar yang dibikin anak kecil dulu. Dua gunung
kembar, di tengahnya ada matahari yang siap tenggelam, dan di langit, gambar
buruing sederhana mengepak sayap beserta sawah dengan gambaran padi mirip huruf
V. Itulah gambar yang selalu dibikin anak kecil dulu. Ah, barangkali zaman
sudah berbeda…
“Kenapa Alenia menggambar
gedung-gedung ini?” tanyaku penasaran.
“Alenia coba menggambar kota
dan gedung, Kek. Ini kota Alenia,” masih dengan meringis Alenia menjawab
pertanyaanku.
Mungkin benar juga, untuk
anak kecil seusianya, barangkali ia menggambar apa yang sering ia lihat. Tumbuh
di antara banyak gedung-gedung tlnggi dan jalanan macet, maka begitulah yang ia
tuangkan dalam gambar.
“Alenia pernah lihat sawah
atau sungai?”
“Pernah dong,” katanya, “Di
dekat sekolah Alenia ada sungai. Tapi sungainya bau. Alenia nggak suka sungai.
Sawah juga pernah.”
“Di mana sayang?”
Ia menghambur ke dalam
kamarnya dan mengambil telepon genggam yang diberikan sebagai hadiah ulang
tahun lalu.
“Di sini, Kek. Kakek juga
mau lihat sawah? Dari sini bisa lihat sawah dan banyak lagi,” ia berka ta
sambil menatap telepon genggam di tangannya.
Aku tersenyum, menghela
napas, dan membatin. Barangkali inilah zaman di mana kenangan tak akan
terbentuk dengan baik nantinya. Ketika semua hal hanya diketahui dari segenggam
kotak kecll. Maya. Berikut bersama semua kenangan yang terbentuk. Tidak nyata
seluruhnya…
***
Waktu beranjak, kenangan
terus terbentuk, usiaku kini telah menembus 83 tahun. Cukup tua untuk ukuran
manusia. Dan tentunya, sudah banyak pula kejadian-kejadian yang kulihat.
Tiga tahun belakangan, aku
memosisikan diri lebih sebagai pengamat. Orang-orang. anak muda yang begitu
bergairah, ki sah-kisah romansa yang mulai bersemi di taman-taman, atau jalanan
yang sibuk sepanjang Jembatan Kembar. Kebiasaan baruku tiga tahun ini, setiap
sore, sebelum senja, aku mengunjungi tempat-lempat yang cocok untuk merenung
dan mengenang. Taman di dekat alun-alun, Jembatan Kembar yang menghadlrkan
senja menawan, dan desa-desa yang masih dibentangi sawah-sawah hijau beserta
petani-petani yang mulai sibuk selepas subuh. Ternyata di tempat lain, jauh
dari kota, masih ada harapan kenangan tumbuh dengan baik. Beberapa orang tak
terlalu bergairah dengan uang, dengan menumpuk kekayaan, saling teguh
kebenaran. Setidaknya, inilah tempat-tempat yang bakal membentuk kenangan
dengan baik nantinya.
“Kelak, apa cita-citamu?”
“Entahlah, aku masih belum
tahu pastinya. Tapi aku ingin jadi penulis, kau tahu? Menurutku penulis tumbuh
sekaligus membentuk kenangan.”
Dan itulah yang kukatakan
kepada almarhumah istriku, ketika kita belum menikah dulu. Di sebuah taman
dekat alun-alun yang dulunya ditumbuhi begitu banyak bunga-bunga harum yang
benar-benar menggairahkan. Tempat itu dulunya ramai oleh sepasang kekasih yang
mulai meracik romansa baru; seorang laki-laki yang membacakan sajak manis untuk
wanitanya; atau laki-laki yang memainkan blola dengan nada menyayat karena
kisahnya baru saja berakhir. Tapi sudah jarang kutemui yang seperti itu di
taman. Kecuali sepasang anak muda yang saling bercumbu, atau saling melontarkan
rayuan gombal yang memusingkan kepala.
Mungkin memang benar, waktu
terus tumbuh, kenangan terus terbentuk, dan zaman akan terus berubah. Bolehkah
aku merindukan kejadian-kejadian masa lalu yang lebih membuatku hidup sebagai
manusia?
Jalanan sepanjang Jembatan
Kembar macet, deru klakson keluar dari begitu banyak kendaraan yang mengekor
bak ular panjang. Umpatan, sumpah serapah keluar dari bibir-bibir yang putus
asa. Mereka adalah orang-orang sibuk yang bergegas pulang. Aku mengamati dari
tepi Jembatan Kembar sembari menunggu senja. Menunggu langit menghadirkan
panorama terbaik untuk merenungi semua perjalanan hidup. Dan tentu, sudah
jarang pula kutemui beberapa orang yang menunggu senja di sini sepertiku.
Mungkin sudah tak ada waktu. Padahal merenung adalah bagian terpenting dalam
hidup yang serba sebentar. Apalagi ketika senja datang. Percayalah, senja
memang dibikin untuk merenung. Dan, di tengah kegaduhan yang akhir-akhir ini
melanda, satu-satunya yang kurang hanyalah: kemauan untuk merenung. Intropeksi
diri.
“Kakek, kenapa setiap sore
selalu ke sini?” tanya cucuku, Alenia.
Aku memang sengaja
mengajaknya ke mari. Agar nantinya, kenangan dalam kepalanya tak hanya dipenuhi
oleh gemerlap kesibukan kota dan cahaya yang keluar dari telepon genggam.
“Supaya Alenia bisa gambar
langit yang indah, Sayang.”
Alenia duduk di sampingku,
menjuntai kaki dan mata kita hanya fokus pada satu titik di langit. Titik
terjauh, titik paling sendu, dan titik paling merah keemasan yang
ditunggu-tunggu. Titik itu adalah titik yang sama, ketika aku dan almarhumah
istriku memandangi langit setiap sore di tepi Jembatan Kembar ini.
“Wahh, langitnya bagus.
Alenia suka warna langitnya…”
Aku hanya tersenyum, sedikit
membatin, iya sayang, kelak tumbuhlah dengan kenangan terbaik sepanjang hidup
yang serba sebentar ini…
“Kamu mengajak Alenia?”
Suara itu…
“Kamu ingin Alenia tumbuh
sepertimu?”
Bayangan samar yang begitu
kukenali duduk di antara aku dan Alenia di tepi Jembatan Kembar. Ikut menjuntai
kaki dan menatap langit kemerah-merahan.
“Seperti yang kukatakan dulu
kepadamu. Setidaknya aku ingin Alenia tumbuh dan membentuk kenangan dengan
baik.”
Samar-samar kulihat wajah
bayangan itu tersenyum, membelai kepala Alenia diam-diam.
“Aku setuju kalau begitu.”
“Kakek, kakek bicara dengan
siapa?” tanya Alenia penasaran.
Aku membelai kepalanya, dan
hanya bisa tersenyum. Tepat ketika senja, di tepi Jembatan Kembar di kota
Jember hadirlah potret antara aku, almarhumah istriku, dan Alenia yang saling
berpelukan menatap senja di langit….
***
Post a Comment