Guru Tinus Sudah Merdeka?

Cerpen Guru Tinus Sudah Merdeka? Bagi guru Tinus harus bersikap? Tuhan menatapnya dari atas salib dan menyunggingkan senyum.

Bagaimana guru Tinus harus bersikap? Tuhan menatapnya dari atas salib dan menyunggingkan senyum.

*

Mengapa sudah separuh umur, guru Tinus masih saja menyandang status guru honorer? Padahal, kalau mau dibilang, guru Tinus telah lama berbakti kepada negara lewat cara sederhananya mendidik anak bangsa, dari yang tidak tahu membaca, menulis dan berhitung menjadi tahu.

Setiap kali guru Tinus menatap mata murid-muridnya, ia merasa melihat masa depan yang kian merapat erat ke punggungnya. Pada bilik kamar yang sedikit pengap, ia tumpahkan segala perasaan lewat sebatang lilin bernyala kepada Tuhan.

Ia berkisah tentang murid-murid yang ia jumpai di dalam kelas, di halaman sekolah, di pojok perpustakaan, di tiang bendera, juga pelataran ruang guru. Kepada seorang anak yang bersimpuh menangisi masa depannya di ruang kepala sekolah, sebabnya adalah orang tuanya belum membayar iuran sekolah.

Baca juga: Perempuan yang Menikahi Tubuhnya Sendiri

Maklum, musim mente tahun ini tidak memberikan hasil apa-apa, ditambah lagi intensitas curah hujan yang tinggi membuat bijinya menghitam-tak layak dijual. Perempuan berambut ikal pendek yang bersimpuh dengan kepala tertunduk dalam di depan wajah guru Tinus-telah diselamatkan olehnya semester yang lalu.

Guru Tinus berjalan perlahan keluar dari bilik kamar, terus ke dapur, merapikan tungku api yang mulai lapuk batunya.

"Makin susah saja," bicaranya pada dirinya sendiri.

"Harusnya aku sudah menjadi seorang aparatur sipil negara seperti Pak Ola. Mengapa nasib tak pernah berpihak?" tambahnya dengan berlinang air mata.

Guru Tinus mengerat sabut kelapa kering menggunakan giginya yang kokoh, menaruhnya di atas tungku dan mulai menyalakan api. Asap membubung tinggi memenuhi permukaan bilik kamar berbaur dengan gelombang perasaan yang tak kuasa ia arungi.

Baca juga: Puisi Apa yang Kautulis setelah Hari Ini? karya Armin Bell

"Bummmm!" pukulan keras sang istri mengenai benda-benda yang terletak di atas meja.

Satu per satu berserakan di atas lantai. Guru Tinus terperangah, diam seribu bahasa, disusul anaknya yang tunggal dan keras kepala itu membanting pintu.

"Ada apa? bisakah kita bicara baik-baik?" guru Tinus merendah.

"Ayah, kapan ayah jadi seorang Aparatur Sipil Negara? Bosan melihat ayah terus-terusan menjadi seorang guru honorer, patuh dan taat pada aturan sekolah. Sedangkan, banyak guru-guru Aparatur Sipil Negara yang lalai," kata-kata anaknya lebih tegas dan guru Tinus tampak merenung mendengarnya.

Kalau saja saat ini ia telah menjadi seorang ASN, ia ingin agar istri dan anaknya tahu satu hal bahwa uang akan mengubah segala hal terutama komitmen diri. Memang sejak awal, guru Tinus juga berambisi demikian dan ingin membawa serta anak dan istri pergi sejauh-jauhnya dari kampung-tempat ia mengajar.

Tapi, lambat laun semua pikiran itu berubah.

Langit mendung tipis menggantung, sebentar lagi hujan turun. Wajah istri turut kusam.

***

Baca juga: Petani dan Puing-Puing Langgar

Sepuluh kali berturut-turut guru Tinus mengikuti seleksi Pegawai Negeri Sipil. Biasanya, kalau jadwal ujian siang atau sore hari di Kota. Ia lebih dahulu bangun pagi, kira-kira jam lima. Merapalkan doa pada Tuhan yang tergantung di salib di bilik nan pengap itu.

"Tuhan, hari ini aku ikut ujian. Hasilnya tergantung kehendak-Mu."

Sesudah itu, ia mencedok air dengan timba pada sebuah sumur tua yang terletak persis di belakang sekolah. Anak dan istrinya masih lelap-lelapnya menikmati alas tidur yang terbuat dari kain nampak sobek pada pinggirnya.

Usai mandi, guru Tinus pergi menemui kepala sekolah meminta restu. Embun pagi melekat di kaca setengah retak, jalanan penuh debu ia lewati dengan sukacita tatkala telapak kakinya melepuh pada bebatuan nan tajam dan terbakar bara matahari.

Potongan celana berwarna biru tua dari bahan kain murah, juga baju yang sedikit kumal, membungkus tubuhnya. Di tengah jalan perutnya terasa lapar, tak seorang pun yang mengenalnya. Ia menyandarkan tubuhnya, sampai tengkuknya terbenam di toko kecil. Akhirnya ia memutuskan untuk menemui kenalan, yang adalah mantan anak muridnya.

Baca juga: Menyusu Ibu Karya Dian Supangat 

Sayangnya, rumah itu terletak jauh di atas bukit. Ia tergopoh-gopoh mendaki dengan kepala setengah tengadah pada langit, agar nafasnya lebih leluasa. Begitu guru Tinus sampai di pintu rumah, seorang mantan anak muridnya itu berlari membopong tubuhnya.

"Guru, jangan pingsan," kata Maria sambil membaringkan tubuh guru Tinus di sofa.

Maria membayangkan seandainya dulu guru Tinus tak mengajarnya di sekolah, tak mendidiknya saat ia melakukan kesalahan, tentu saja saat ini, ketika guru Tinus pingsan, ia sama sekali tidak peduli bahkan menutup pintu dengan keras.

Guru Tinus segera sadar lalu terbangun.

"Guru, kakimu melepuh," Maria menunjuk-nunjuk ke arah kaki guru Tinus. Untungnya, Maria selalu menyediakan obat dan sepasang sandal di bawah tempat tidurnya.

Segera diobatinya dan mengambil makanan lalu menyuruh guru Tinus makan. Matahari condong ke barat, guru Tinus melanjutkan perjalanannya.

Sesampainya ia di kota, tepatnya di lokasi ujian ia mengganti pakaian dan masuk ke dalam ruangan.

Baca juga: Cerpen Guru Honorer Karya Muhammad Abdul Hadi

Apa yang akan diisi guru Tinus, guru kampung itu? Nyatanya, setiap hari ia hanya berhadapan dengan siswa, guru, tenaga pendidik tanpa berhadapan dengan komputer atau laptop atau sarana yang berurusan langsung dengan jaringan internet. Pada layar komputer bertuliskan: ”Silakan login nama dan password Anda!”

Bola matanya mengitari sekeliling, wajahnya pucat paci, keringat berdesak-desakan keluar menimbun pada mouse, sebagiannya mengalir pelan di atas meja.

Dalam hati kecilnya ia berdoa; ”Tuhan, ini sudah kali yang kesekian. Tapi mengapa aku terlalu takut menekan huruf-huruf pada komputer?”

"Ah, sial. Benar-benar guru gatek alias gagal teknologi," guru Tinus berang pada dirinya sendiri.

Tanpa malu-malu, ia mengacungkan tangan lalu menanyakan kepada petugas penjaga ruangan.

Ia dituntun untuk menyelesaikan soal sebanyak seratus nomor dengan durasi waktu seratus dua puluh menit, bonus waktu dua puluh menit.

Beres selesaikan soal, sebagaimana biasa guru Tinus menanggalkan alas kaki, menyimpannya dalam tas lalu pulang ke kampung.

Baca juga: Lelaki yang Menderita Bila Dipuji Karya Ahmad Tohari

***

"Lapor, Pak. Aku sudah mengikuti ujian tes PNS," guru Tinus menghadap langsung di ruang kepala sekolah.

"Bagaimana soalnya guru Tinus?" Kepala sekolah bertanya ingin tahu sambil melemparkan senyum kecil.

"Soalnya mudah. Yang sulit itu cara me-login komputer agar bisa mengerjakan soal," jawab guru Tinus apa adanya.

Guru Tinus segera membalikkan tubuh dan pergi dari hadapan Kepala sekolah.

Hati kecilnya berperang! Kalau tetap menjadi guru honorer seperti ini, istri dan anakku makan apa? Apakah aku bisa menyekolahan anakku? Ia kembali masuk ke ruang Kepala sekolah.

"Pak Kepala, aku pinjam uang lima ratus ribu. Apakah Bapak bersedia? Begitu dapat uang aku ganti," kata guru Tinus dengan suara memelas.

Atas kebesaran hati Kepala sekolah, guru Tinus dipinjamkan uang senilai lima ratus ribu rupiah.

Baca juga: Kangen Bapak karya Ema Afriyani

Uang itu ia putar untuk pembayaran awal pembelian anak babi untuk dipelihara. Banyak untungnya! Selain itu, pekerjaan sampingan lainnya seperti mengumpulkan kayu bakar untuk dijual di pasar. Jadwal mobil masuk ke kampung tiga minggu sekali, jadi ia manfaatkan waktu itu sebijak mungkin.

Tak urung, ia meminta lahan pada orang kampung untuk digarap sekadar menanam ubi, pisang dan sisanya ia tanam padi. Ini ia lakukan untuk menghemat pengeluaran.

Malam harinya, ia siapkan keturak untuk menangkap ikan, mencari siput laut, gurita, cumi-cumi serta agar-agar laut. Rupanya ia guru dengan segudang talenta tanpa harus menadah perut pada pemerintah yang tak tahu ujung pohonnya.

Menunggu honor daerah, tidak mungkin! Yang mungkin, hanya honor komite sebulan tiga ratus ribu rupiah. Itu pun kalau orang tua lancar membayar iuran sekolah Istri dan anaknya itu baru menyadari kehadiran sosok ayah seperti guru Tinus-seorang guru honorer yang menjelma menjadi tiang kokoh, tempat mereka membentang harapan menuju rumah tangga yang sempurna.

Baca juga: Ayah Menitipkan Pisau di Rahim Ibu karya Jimat Kalimasadha

Keduanya tak mengeluarkan sepatah kata pun.

Sudah pukul 17.00. Sepi di luar rumah. Hanya terdengar dentang lonceng gereja. Gemuruh dari dalam hati guru Tinus. Ia langkahkan kaki melewati lorong sempit dan langsung menuju gereja.

Malam itu ada pemilihan pengurus gereja, guru Tinus turut serta ambil bagian.

Buat beberapa saat ia merasa tak tahu apa yang akan dikatakannya semacam tak siap menerima tugas yang teramat berat itu. Lagi, mengapa mesti guru Tinus yang menjadi pengurus inti gereja?

Dan ia tidak menyesal sama sekali memikul beban itu.

***

Baca juga: Belasungkawa Media Sosial

Suasana di sekolah semakin hiruk-pikuk setelah beredarnya informasi bahwa seluruh tenaga honorer akan diberhentikan layaknya tenaga honorer di instansi pemerintahan. Miris.

Guru Tinus menggeleng-gelengkan kepala. Sebuah isyarat yang tidak sia-sia. Guru Tinus merasa gamang kalau-kalau di umur yang semakin menua itu, ia akan kehilangan pekerjaan sama sekali.

Ia berpikir, masih baik tidak menjadi seorang ASN. Tidak menjadi seorang guru? Mau jadi apa anak-anak negeri ini?

Di dalam gereja, guru Tinus duduk berhadapan dengan meja altar. Ia berdoa, sekiranya informasi yang baru didengarnya itu tak benar. Ya, tak benar-benar jadi!

Baca juga: Amanat Bapak

"Tuhan, tantangan apalagi yang harus kuhadapi? Salib ini terlampau berat. Kami hanya perantau."

Bahkan Tuhan Yesus pun ketika di jalan salib yang berat dengan tenaga yang masih tersisa, ia jatuh tersungkur tiga kali.

"Haruskah aku, seorang guru honorer, guru kampung sanggup memikul salib?"

Tampaknya guru Tinus mulai terbawa suasana. Entahlah. Bagaimana guru Tinus harus bersikap, Tuhan menatapnya dari atas salib dan menyunggingkan senyum.


Keterangan:
Keturak: alat untuk menangkap ikan (dalam bahasa Lamaholot Flores Timur)

Beatrix Polen Aran, guru kampung di SMP Negeri 3 Tanjung Bunga. Ujung timur Kabupaten Flores Timur, NTT. Aktif menulis di media lokal dan nasional. Bergiat di Nara Teater

Cerpen ini pertama kali terbit di Kompas Digital pada 10 September 2023 dan dieditori oleh Dwi As Setianingsih

Ruang Literasi dan Edukasi

Post a Comment

© Untaian Abjad. All rights reserved. Developed by Jago Desain