Kumpulan Puisi Sudjiwo Tejo (Presiden Jancukers)

Kumpulan Puisi Sudjiwo Tejo Sang Presiden Jancukers


Dhandanggula Sidoasih

Permintaanku wahai kekasih

Selalu bersama-sama
Di ruang dan waktu
Tak berjarak meski cuma sehelai rambut
Kalau jauh dekat di hati
Kalau dekat berpandangan
Begitu sejatinya asmara
Seperti mimi dan mintuno
Ayo bersama melakukan panggilan sosial
Cinta kita berdua tak bermakna jika tak menjalarkan cinta pada sesama

 

Jika dengan Jancuk pun Tak Sanggup Aku Menjumpaimu

 

jika dengan jancuk pun tak sanggup aku menjumpaimu

dengan air mata mana lagi dapat kuketuk pintu hatimu

kau melengos dalam kajang lilin pertama

bulan berbunga di pucuk mahoni
ketika itu dalam pasang sepiku
rindu bertikai tak pernah jerih
terhempas gelombang atas huma
kau tergelincir berpasang tawa
di sungai ciwulan
kampung naga
tasikmalaya
banyak orang pacaran
seabreg orang menikah
tapi segelintir yang sempat mengalami cinta

kini apa yang dapat teranyam dari anjing menggonggong

alas pandan wangi adalah anyam-anyaman duka citamu
sebelum langit menggulung tikar
sebelum desau mengulum kekasihmu yang menggelayut di ranting hujan

abad berlalu

desirnya nyiur menghadang buih
deburnya kungung di bui bunyi
tanpa jeruji
tanpa kasasi
hatimu beringas melembah ngarai
berlarian tak tentu kiblat
lebih bergegas ketimbang gema

o, andai sombong diperbolehkan

sudah tentu akan kusombongkan agama bapakku
dan jika dengan jancuk pun tak sanggup aku menjumpaimu
dengan air mata mana lagi dapat kuketuk pintu hatimu

 

Sujiwo Tejo, 2011

Hujan Deras

Hujan deras dengan air mata

Butir butir tangisan di pipiku
Guntur menyambar dengan kilaunya
Berkilat kilat kilau di pipi

Kurasa keputusasaan manu...

Sia, sia, sia, sia sia
Butir-butir air mata
Bilas dengan bahak tawamu hahaha
Karna keputusasaan manu
Sia sia sia sia sia sia

Hujan deras dengan air mata

Butir-butir tangisan di pipi
Kucur air mata ke samudera
Berbuih berombak tertawaku

Bersorak-sorai

Berderai air di mata
Tersendu sendu
Bersenda gurau guraunya
Gusar dan tenteram
Samar-samar berbeda
Samar-samar samanya
Samar samanya
Telah kau saksikan, kekasih, tangis tawaku
Ibarat tuntas tiada berbeda

Lautan Tangis

Berlayarlah di laut laut keringat kami

Tertawalah di laut laut keringat kami
Berselancarlah di laut laut keringat kami
Berpesiarlah di laut laut keringat kami 

Bergerak bergerak, tetap bergerak

Menderap langkah, merapat barisan
Bergerak bergerak, tetap bergerak
Berat kita junjung, ringan kita jinjing
Bergerak bergerak, tetap bergerak
Berlumur keringat dan air mata

Berlayarlah di lautan air mata kami

Tertawalah di lautan air mata kami
Berselancarlah di lautan air mata kami
Berpesiarlah di lautan air mata kami

Bersabar bersabar kita sejak dulu

Amuk kita timbun, munjung bagai gunung
Bersabar bersabar kita sejak dulu
Amuk kita tunda, gunung tak meletus
Bersabar bersabar kita sejak dulu
Sejak dulu nahan sejuk bagai gunung

Pesta poralah di gunung kesabaran kami

Dansa dansilah di gunung kesabaran kami
Injak-injakkan kakimu di gunung kesabaran kami
Buang botol botol minummu di gunung kesabaran kami

Bersabar bersabar sampai habis sabar

Sabar jadi riak, riak jadi ombak
Bersabar bersabar sampai habis sabar
Gunungpun bergetar, laut bergelora
Bergelora gelora bergunung gunung ombak
Gulungan gelombang keringat tangisan kami

Hati-hati jangan kau terlena di laut tangis kami

Hati-hati jangan kau haha hi hi di laut keringat kami
Awas awas awas di gunung kesabaran kami
Mawas-mawas dirilah di gunung kesabaran kami

Catatan pengakuan: Lautan Tangis saya tulis tahun 2006. Ketika itu saya takut akan terjadi revolusi sosial. Namun jika revolusi itu tak bisa dibendung, biarlah lagu ini membuat revolusi menjadi kontemplatif dan mungkin tanpa kebencian. Revolusi berbasis cinta…


Pada Sebuah Ranjang

Kekasihku, jangan bersedih

Tidurlah dan bermimpi
Ke negeri
Ke hamparan
Kehampaan kasih

Ke hamparan kehampaan

Kehangatan tawa canda
Lahan per lahan perlahan lahan
Menghampar hampa kasih

Usai impianmu rangkai cerita

T’lah kau jumpai tawa canda
Dan biar kelak
Anak-anakmu kan percaya
Perca perca cerita tentang tawa canda
Dan biar kelak
Anak anakmu kan percaya
Bualanmu
Jangan kau bersedih

 

Cinta Tanpa Tanda

Telah ku tandakan semesta cintaku

kau tandaskan cinta tanpa tanda
Kuhasratkan isyarat sahaja
kau isyaratkan pintaku terlampau
terlampau berprasyarat cintaku
Kau isyaratkan cinta tanpa tanda

Berulang berbulan berwewinduan (kurindu)

Kupejam kutajamkan asah rasa (kubaca tanda)
Mata kubutakan terawangku hanya dengan rasa (kubaca tanda)
Kuping hidung lidah rabaanku pun telah kuenyahkan (kubaca tanda)
Tipu daya panca indrapun telah tuntas kusingkirkan (kubaca tanda)
Kutandai kurasai semesta yang tak kasat mata
Katamu kumasih jadi budak pancaindra yang membuatku terkecoh

 

 

Aku Lala Padamu

Nyaris usai suratku padamu

Surat musik dan nafasku
Kusampaikan via angin gunung
Kuangankan angin belum sirna
Suatu saat angin kan sampai
Sangat sepoi mengusap tangismu
Saat ini nafasku sampai

Suratan nafas [surat nafasku)

Nada nada
Lala lala
Kata kata
Dengar saja
Cuma sebagai suara saja

Bukankan tak ada

Nyata tak ada
Memang tak ada
Memang tak ada
Kata untuk kangen yang paling kangen
Pusat kangen Inti kangen
Aku lala
Sangat lala
Padamu

 

Syair Dunia Maya

 

- Menjelujur jalan

+ Nan tak kunjung tiba
- Jiwa dan sekujur
+ Kuyup berkeringat
- Sembari berbaring
+ Keringkan keringat
- Berangin-angin
+ Kuteringat anganku

Teringat dulu beban hayatku

Duh kini ringan tanpa badan
Ku terangkat ke awan-awan

- Kan ke angan angan

+ Saatku berangkat

Tiada kan kembali

Kembali kami mendunia
Di dunia
Tiada kan kami kan kembali ke dunia
Ya ke dunia
Tiada kan kembali, tiada kan kembali
Ya ke dunia
Tiada kan kembali, tiada kan kembali
Tiada lagi, tiada lagi
Gugusan gundah gunduk duka gulitaku
duh duh duh

- Kan ke angan angan

+ Saatku berangkat

 

Panakawan dan Saya

Gemerincing

Jingkat jingkat kakiku gemerincing
Bergemerincing genta
Gementa di kakiku
Gempita di hatiku
Ketika kuhentak-hentak kakiku bergenta
Tepat depan tempat tinggalku
Tempat tinggalku dulu bersama saudara

Mengembara

Mengumbar umur mengembara
Mengobar rasa
Mengaburkan rindu
Mengobarkan rindu
Duhai kini kurindu
Duka lara duka di rantau ganti bergenta
Tepat depan tempat tinggalku
Tempat tinggalku dulu bersama saudara

 

Gugur Bisma

(Pada kancah Baratayuda

Pada kancah perang besarmu hari ini
Bisma, jiwa besar pada sekeping kaca
Setiap saat Engkau berkaca... GUGUR)

Kang pungkasan pitungkase kang masmu

Kandaku kang pegat pegat tan biso runtut
Kanthi muncrate getih pating deleweran
Dadaku kang kejet kejet tan biso muwus *)

Usai usiamu kasihku t’lah usai

T’lah usai senang
T’lah tuntas perang
Usai semesta rasa
Semesta duka lara
Usai sudah suka duka
Kacakan kacau wajahmu berkaca
Di mataku yang
Mataku berkaca kaca
Kalau t’lah lelah dan kau terlampau
Berkilauan luka
Kupangku kau kan kupangku


Catatan : *)  Yang terakhir pesan kakanda, kekasih
Pesan yang patah patah
tak bisa tuntut
Dengan Darah yang muncrat dan leleh di sekujur badan
Dadaku tersengal sengal
tak bisa lagi berkata-kata

 

Anyam Anyaman Nyaman II

nyaman nyaman duka citaku

Sulam sulaman sulaman duka
Suka dukaku, duka citaku
Tisik tisikan tisiskan kasih
kasihan duka, duka citaku *)

Semesta semesranya

S’raya bertabur sapa
S’raya bertabur suka
Serayakan nestapa

Kadang dangkal kadang janggal

Jengkal jengkal jelajah kaki
kaki kami kakikan
Dekat degup detak denyut
Debar desir jantungku
Ketika tak ketika tak
Kata kata tak kita ketikkan
Tak kita titikkan
Kata kata ketakutan

 

Oh Rama Oh Sinta

Kisah terjadi, Kekasih

Di peraduan malam syahdu
Di peraduan raja dan permaisuri
Berdua bicara binatang di tengah belantara
Sang permaisuri, Kekasih
Terpesona kijang kencana
Kijangnya loncat loncat
Meloncat tak kembali
Tak mau diburu pendekar cintanya

Kijang menjauh, Oh Juwita

Jauh jengkal jangkauan raja
Sang raja pergi tinggalkan permaisuri
Berburu binatang dan pantang kembali
Sampai nanti
Sampailah senja, Oh Juwita
Matahari di peraduan
Di peraduan basah mata Sang Dewi
Menanti tibanya pendekar cintanya

Bulan pun tahun, berganti

Tiada kabar tentang Sang Raja
Tiada tertahan pemaisuri menyusul
Menyusuri riuh gemuruh kali di belantara
Sang permaisuri, Kekasih
Tersesat berjumpa pemuda
Yang kekasihnya mati
Tinggalkan kekasihnya
Tertancap panah pendekar cintanya

 

Stasiun Tuaku

Rembulan di atas stasiun tua

Di sudut kota kutanya kapan tiba
Saat lampu lampunya padam
Menjadi cuma siluet
Peluit kereta datang
Mungkin mengangkut kenanganku
Dari jauh kucari cari
Di antara turun penumpang

Bulan teranglah lebih terang

Malam itu
Agar aku s’makin terang
Menerawang
Kenanganku
Di antara manusia manusia

 

Pada Suatu Ketika

Orang orang bertanya kapan angkara murka berakhir

Diantara kau dan aku
Tersebar daun daun kara
Bersabarlah untuk sementara waktu
Suatu ketika, dinda
Pada suatu ketika

Doaku semoga

Semakin berkurang korban jiwa raga
Pengakhir angkara murka
Pada suatu ketika

 

Catatan pengakuan: Lagu ini basic nadanya terinspirasi dari nada-nada Banyuwangi, Jawa Timur, kawasan yg dekat kehidupan saya di masa kanak-kanak.Pengaruh Cina dan Jepang Kuno sangat kuat di kawasan itu.Lirik saya rampungkan dekat2 dengan lengsernya Presiden Soeharto 1998.Warna revolusi, warna amarah sosial, saya redam ke dalam melodi yang sebisa mungkin menahan marah.Video klipnya dinyatakan terbaik di Indonesia 1998, garapan Riri Riza – Mira Lesmana.Setahun kemudian jadi Most Wanted MTV Asia.

 

Cinta Tanpa Tanda

Telah ku tandakan semesta cintaku

kau tandaskan cinta tanpa tanda
ku hasratkan isyarat sahaja
kau isyaratkan pintaku terlampau
terlampau berprasyarat cintaku
kau isyaratkan cinta tanpa tanda

berulang berbulan berwewinduan,, kurindu...

kupejam kutajamkan asah rasa,, kubaca tanda...
mata kubutakan terawangku hanya dengan rasa,, kubaca tanda...
kuping hidung lidah rabaanku pun telah kuenyahkan,, kubaca tanda...
tipu daya panca indrapun telah tuntas kusingkirkan,, kubaca tanda...
kutandai kurasai semesta yang tak kasat mata
katamu, kumasih menjadi budak pancaindra,
yang membuatku terkecoh.
Ruang Literasi dan Edukasi

Post a Comment

© Untaian Abjad. All rights reserved. Developed by Jago Desain