Dhandanggula
Sidoasih
Permintaanku wahai kekasih
Selalu bersama-sama
Di ruang dan waktu
Tak berjarak meski cuma sehelai rambut
Kalau jauh dekat di hati
Kalau dekat berpandangan
Begitu sejatinya asmara
Seperti mimi dan mintuno
Ayo bersama melakukan panggilan sosial
Cinta kita berdua tak bermakna jika tak menjalarkan
cinta pada sesama
Jika dengan Jancuk
pun Tak Sanggup Aku Menjumpaimu
jika dengan jancuk pun tak sanggup aku menjumpaimu
dengan air mata mana lagi dapat kuketuk pintu hatimu
kau melengos dalam kajang lilin pertama
bulan berbunga di pucuk mahoni
ketika itu dalam pasang sepiku
rindu bertikai tak pernah jerih
terhempas gelombang atas huma
kau tergelincir berpasang tawa
di sungai ciwulan
kampung naga
tasikmalaya
banyak orang pacaran
seabreg orang menikah
tapi segelintir yang sempat mengalami cinta
kini apa yang dapat teranyam dari anjing menggonggong
alas pandan wangi adalah anyam-anyaman duka citamu
sebelum langit menggulung tikar
sebelum desau mengulum kekasihmu yang menggelayut di
ranting hujan
abad berlalu
desirnya nyiur menghadang buih
deburnya kungung di bui bunyi
tanpa jeruji
tanpa kasasi
hatimu beringas melembah ngarai
berlarian tak tentu kiblat
lebih bergegas ketimbang gema
o, andai sombong diperbolehkan
sudah tentu akan kusombongkan agama bapakku
dan jika dengan jancuk pun tak sanggup aku menjumpaimu
dengan air mata mana lagi dapat kuketuk pintu hatimu
Sujiwo Tejo, 2011
Hujan Deras
Hujan deras dengan air mata
Butir butir tangisan di pipiku
Guntur menyambar dengan kilaunya
Berkilat kilat kilau di pipi
Kurasa keputusasaan manu...
Sia, sia, sia, sia sia
Butir-butir air mata
Bilas dengan bahak tawamu hahaha
Karna keputusasaan manu
Sia sia sia sia sia sia
Hujan deras dengan air mata
Butir-butir tangisan di pipi
Kucur air mata ke samudera
Berbuih berombak tertawaku
Bersorak-sorai
Berderai air di mata
Tersendu sendu
Bersenda gurau guraunya
Gusar dan tenteram
Samar-samar berbeda
Samar-samar samanya
Samar samanya
Telah kau saksikan, kekasih, tangis tawaku
Ibarat tuntas tiada berbeda
Lautan Tangis
Berlayarlah di laut laut keringat kami
Tertawalah di laut laut keringat kami
Berselancarlah di laut laut keringat kami
Berpesiarlah di laut laut keringat kami
Bergerak bergerak, tetap bergerak
Menderap langkah, merapat barisan
Bergerak bergerak, tetap bergerak
Berat kita junjung, ringan kita jinjing
Bergerak bergerak, tetap bergerak
Berlumur keringat dan air mata
Berlayarlah di lautan air mata kami
Tertawalah di lautan air mata kami
Berselancarlah di lautan air mata kami
Berpesiarlah di lautan air mata kami
Bersabar bersabar kita sejak dulu
Amuk kita timbun, munjung bagai gunung
Bersabar bersabar kita sejak dulu
Amuk kita tunda, gunung tak meletus
Bersabar bersabar kita sejak dulu
Sejak dulu nahan sejuk bagai gunung
Pesta poralah di gunung kesabaran kami
Dansa dansilah di gunung kesabaran kami
Injak-injakkan kakimu di gunung kesabaran kami
Buang botol botol minummu di gunung kesabaran kami
Bersabar bersabar sampai habis sabar
Sabar jadi riak, riak jadi ombak
Bersabar bersabar sampai habis sabar
Gunungpun bergetar, laut bergelora
Bergelora gelora bergunung gunung ombak
Gulungan gelombang keringat tangisan kami
Hati-hati jangan kau terlena di laut tangis kami
Hati-hati jangan kau haha hi hi di laut keringat kami
Awas awas awas di gunung kesabaran kami
Mawas-mawas dirilah di gunung kesabaran kami
Catatan pengakuan: Lautan Tangis saya tulis tahun
2006. Ketika itu saya takut akan terjadi revolusi sosial. Namun jika revolusi
itu tak bisa dibendung, biarlah lagu ini membuat revolusi menjadi kontemplatif
dan mungkin tanpa kebencian. Revolusi berbasis cinta…
Pada Sebuah
Ranjang
Kekasihku, jangan bersedih
Tidurlah dan bermimpi
Ke negeri
Ke hamparan
Kehampaan kasih
Ke hamparan kehampaan
Kehangatan tawa canda
Lahan per lahan perlahan lahan
Menghampar hampa kasih
Usai impianmu rangkai cerita
T’lah kau jumpai tawa canda
Dan biar kelak
Anak-anakmu kan percaya
Perca perca cerita tentang tawa canda
Dan biar kelak
Anak anakmu kan percaya
Bualanmu
Jangan kau bersedih
Cinta Tanpa Tanda
Telah ku tandakan semesta cintaku
kau tandaskan cinta tanpa tanda
Kuhasratkan isyarat sahaja
kau isyaratkan pintaku terlampau
terlampau berprasyarat cintaku
Kau isyaratkan cinta tanpa tanda
Berulang berbulan berwewinduan (kurindu)
Kupejam kutajamkan asah rasa (kubaca tanda)
Mata kubutakan terawangku hanya dengan rasa (kubaca
tanda)
Kuping hidung lidah rabaanku pun telah kuenyahkan
(kubaca tanda)
Tipu daya panca indrapun telah tuntas kusingkirkan
(kubaca tanda)
Kutandai kurasai semesta yang tak kasat mata
Katamu kumasih jadi budak pancaindra yang membuatku
terkecoh
Aku Lala Padamu
Nyaris usai suratku padamu
Surat musik dan nafasku
Kusampaikan via angin gunung
Kuangankan angin belum sirna
Suatu saat angin kan sampai
Sangat sepoi mengusap tangismu
Saat ini nafasku sampai
Suratan nafas [surat nafasku)
Nada nada
Lala lala
Kata kata
Dengar saja
Cuma sebagai suara saja
Bukankan tak ada
Nyata tak ada
Memang tak ada
Memang tak ada
Kata untuk kangen yang paling kangen
Pusat kangen Inti kangen
Aku lala
Sangat lala
Padamu
Syair Dunia Maya
- Menjelujur jalan
+ Nan tak kunjung tiba
- Jiwa dan sekujur
+ Kuyup berkeringat
- Sembari berbaring
+ Keringkan keringat
- Berangin-angin
+ Kuteringat anganku
Teringat dulu beban hayatku
Duh kini ringan tanpa badan
Ku terangkat ke awan-awan
- Kan ke angan angan
+ Saatku berangkat
Tiada kan kembali
Kembali kami mendunia
Di dunia
Tiada kan kami kan kembali ke dunia
Ya ke dunia
Tiada kan kembali, tiada kan kembali
Ya ke dunia
Tiada kan kembali, tiada kan kembali
Tiada lagi, tiada lagi
Gugusan gundah gunduk duka gulitaku
duh duh duh
- Kan ke angan angan
+ Saatku berangkat
Panakawan dan Saya
Gemerincing
Jingkat jingkat kakiku gemerincing
Bergemerincing genta
Gementa di kakiku
Gempita di hatiku
Ketika kuhentak-hentak kakiku bergenta
Tepat depan tempat tinggalku
Tempat tinggalku dulu bersama saudara
Mengembara
Mengumbar umur mengembara
Mengobar rasa
Mengaburkan rindu
Mengobarkan rindu
Duhai kini kurindu
Duka lara duka di rantau ganti bergenta
Tepat depan tempat tinggalku
Tempat tinggalku dulu bersama saudara
Gugur Bisma
(Pada kancah Baratayuda
Pada kancah perang besarmu hari ini
Bisma, jiwa besar pada sekeping kaca
Setiap saat Engkau berkaca... GUGUR)
Kang pungkasan pitungkase kang masmu
Kandaku kang pegat pegat tan biso runtut
Kanthi muncrate getih pating deleweran
Dadaku kang kejet kejet tan biso muwus *)
Usai usiamu kasihku t’lah usai
T’lah usai senang
T’lah tuntas perang
Usai semesta rasa
Semesta duka lara
Usai sudah suka duka
Kacakan kacau wajahmu berkaca
Di mataku yang
Mataku berkaca kaca
Kalau t’lah lelah dan kau terlampau
Berkilauan luka
Kupangku kau kan kupangku
Catatan : *)
Yang terakhir pesan kakanda, kekasih
Pesan yang patah patah
tak bisa tuntut
Dengan Darah yang muncrat dan leleh di sekujur badan
Dadaku tersengal sengal
tak bisa lagi berkata-kata
Anyam Anyaman
Nyaman II
nyaman nyaman duka citaku
Sulam sulaman sulaman duka
Suka dukaku, duka citaku
Tisik tisikan tisiskan kasih
kasihan duka, duka citaku *)
Semesta semesranya
S’raya bertabur sapa
S’raya bertabur suka
Serayakan nestapa
Kadang dangkal kadang janggal
Jengkal jengkal jelajah kaki
kaki kami kakikan
Dekat degup detak denyut
Debar desir jantungku
Ketika tak ketika tak
Kata kata tak kita ketikkan
Tak kita titikkan
Kata kata ketakutan
Oh Rama Oh Sinta
Kisah terjadi, Kekasih
Di peraduan malam syahdu
Di peraduan raja dan permaisuri
Berdua bicara binatang di tengah belantara
Sang permaisuri, Kekasih
Terpesona kijang kencana
Kijangnya loncat loncat
Meloncat tak kembali
Tak mau diburu pendekar cintanya
Kijang menjauh, Oh Juwita
Jauh jengkal jangkauan raja
Sang raja pergi tinggalkan permaisuri
Berburu binatang dan pantang kembali
Sampai nanti
Sampailah senja, Oh Juwita
Matahari di peraduan
Di peraduan basah mata Sang Dewi
Menanti tibanya pendekar cintanya
Bulan pun tahun, berganti
Tiada kabar tentang Sang Raja
Tiada tertahan pemaisuri menyusul
Menyusuri riuh gemuruh kali di belantara
Sang permaisuri, Kekasih
Tersesat berjumpa pemuda
Yang kekasihnya mati
Tinggalkan kekasihnya
Tertancap panah pendekar cintanya
Stasiun Tuaku
Rembulan di atas stasiun tua
Di sudut kota kutanya kapan tiba
Saat lampu lampunya padam
Menjadi cuma siluet
Peluit kereta datang
Mungkin mengangkut kenanganku
Dari jauh kucari cari
Di antara turun penumpang
Bulan teranglah lebih terang
Malam itu
Agar aku s’makin terang
Menerawang
Kenanganku
Di antara manusia manusia
Pada Suatu Ketika
Orang orang bertanya kapan angkara murka berakhir
Diantara kau dan aku
Tersebar daun daun kara
Bersabarlah untuk sementara waktu
Suatu ketika, dinda
Pada suatu ketika
Doaku semoga
Semakin berkurang korban jiwa raga
Pengakhir angkara murka
Pada suatu ketika
Catatan pengakuan: Lagu ini basic nadanya terinspirasi
dari nada-nada Banyuwangi, Jawa Timur, kawasan yg dekat kehidupan saya di masa
kanak-kanak.Pengaruh Cina dan Jepang Kuno sangat kuat di kawasan itu.Lirik saya
rampungkan dekat2 dengan lengsernya Presiden Soeharto 1998.Warna revolusi,
warna amarah sosial, saya redam ke dalam melodi yang sebisa mungkin menahan
marah.Video klipnya dinyatakan terbaik di Indonesia 1998, garapan Riri Riza –
Mira Lesmana.Setahun kemudian jadi Most Wanted MTV Asia.
Cinta Tanpa Tanda
Telah ku tandakan semesta cintaku
kau tandaskan cinta tanpa tanda
ku hasratkan isyarat sahaja
kau isyaratkan pintaku terlampau
terlampau berprasyarat cintaku
kau isyaratkan cinta tanpa tanda
berulang berbulan berwewinduan,, kurindu...
kupejam kutajamkan asah rasa,, kubaca tanda...
mata kubutakan terawangku hanya dengan rasa,, kubaca
tanda...
kuping hidung lidah rabaanku pun telah kuenyahkan,,
kubaca tanda...
tipu daya panca indrapun telah tuntas kusingkirkan,,
kubaca tanda...
kutandai kurasai semesta yang tak kasat mata
katamu, kumasih menjadi budak pancaindra,
yang membuatku terkecoh.