Dunia kesastraan mengenal prosa
(Inggris: prose) sebagai salah satu
genre sastra di samping genre-genre yang lain. Untuk mempertegas keberaadaan
genre sastra, ia sering dipertentangkan dengan genre yang lain, misalnya dengan
puisi, walau pertentangan itu sendiri hanya bersifat teoretis.
Atau paling tidak, orang berusaha
mencari perbedaean antara keduanya. Namun, perbedaean yang “ditemukan” tidak
mutlak karena ada hal-hal tertentu yang mencairkan perbedaan-perbedaan itu.
Dalam unsur bahasa, misalnya, ada
bahasa puisi yang mirip dengan bahasa prosa, di samping ada juga bahasa prosa
yang puitis seperti halnya bahasa puisi. Dari segi bentuk penulisan pun ada
puisi yang ditulis mirip prosa.
Baca juga: Tinjauan Sejarah Sastra
Namun, berhadapan dengan karya
sastra tertentu, mungkin prosa mungkin puisi, sering dengan mudah kita
mengenalinya sebagai prosa atau puisi hanya dengan melihat konvensi penulisnya.
[1]
Istilah prosa sebenarnya dapat
menyaran pada pengertian yang lebih luas. Ia dapat mencakup berbagai karya
tulis yang ditulis dalam bentuk prosa, bukan dalam bentuk puisi atau drama,
tiap baris dimulai dari margin kiri
penuh sampai margin kanan.
Prosa dalam pengertian ini tidak
hanya terbatas pada tulisan yang digolongkan sebagai karya sastra, melainkan
juga berbagai karya nonfiksi termasuk penulisan berita dalam surat kabar.
Baca juga: Pengertian Sastra Secara Umum dan Menurut Ahli
Secara teoretis karya fiksi dapat
dibedakan dengan karya nonfiksi, walau tentu saja pembedaan itu juga tidak
bersifat mutlak, baik yang menyangkut unsur kebahasaan maupun unsur isi
permasalahan yang dikemukakan, khususnya yang berkaitan dengan data-data
faktual, dunia realitas.
Dalam penulisan ini, istilah dan
pengertian prosa dibatasi pada prosa sebagai salah satu genre sastra.
Karya Imajinatif, Kreatif, dan Estetis
Proses dalam pengertian kesastraan
juga disebut fiksi (fiction), teks
naratif (narrative text) atau wacana
naratif (narrative discourse) (dalam
pendekatan strukturall dan semiotik).
Istilah fiksi dalam pengertian ini
berarti cerita rekaan (disingkat: cerkan) atau cerita khayalan. Hal itu
disebabkan fiksi merupakan karya naratif yang isinya tidak menyaran pada
kebenaran faktual, sesuatu yang benar-benar terjadi (Abrams, 1999, h.94).
Baca juga: Perkembangan Sastra di Indonesia
Karya fiksi, dengan demikian,
menunjukkan pada suatu karya yang menceritakan sesuatu yang bersifat rekaan,
khayalan, sesuatu yang tidak ada dan terjadi sungguh-sungguh sehingga tidak
perlu dicari kebenarannya pada dunia nyata.
Istilah fiksi sering dipergunakan
dalam pertentangan dengan realitas-sesuatu yang benar ada dan terjadi di dunia
nyata sehingga kebenarannya pun dapat dibuktikan dengan data empiris.
Ada tidaknya, atau dapat tidaknya
sesuatu yang dikemukakan dalam suatu karya ddibuktikan secara empiris inilah
antara lain yang membedakan karya fiksi dengan karya nonfiksi.
Tokoh, peristiwa, dan tempat yang
disebut-sebut dalam fiksi adalah tokoh, peristiwa, dan tempat yang bersifat
imajinatif, sedang pada karya nonfiksi bersifat faktual.
Artinya, sesuatu yang disebut dalam
teks nonfiksi harus dapat ditunjukkan data empiriknya, dan kalau ternyata tidak
dapat dibuktikan kebenarannya, itu berarti salah.
Baca juga: Periodisasi Sastra Indonesia
Sebagai sebuah karya imajinatif,
fiksi menawarkan berbagai permasalahan manusia dan kemanusiaan, hidup dan
kehidupan. Pengarang menghayati berbagai permasalahan tersebut dengan penuh
kesungguhan yang kemudian diungkapkannya kembali melalui sarana fiksi sesuai
dengan pandangannya.
Oleh karena itu, fiksi menurut
Altenbernd dan Lewis (1966, h.14), dapat diartikan sebagai “proses naratif yang
bersifat imajinatif, namun biasanya masuk akal dan mengandung kebenaran yang
mendramatisasikan hubungan-hubungan antarmanusia.
Pengarang mengemukakan hal itu
berdasarkan pengalaman dan pengamatannya terhadap kehidupan.
Namun, hal itu dilakukan secara
selektif dan dibentuk sesuai dengan tujuannya yang sekaligus memasukkan unsur
hiburan dan penerangan terhadap pengalaman kehidupan manusia.”
Baca juga: Fungsi Sastra dalam Kehidupan Masyarakat
Penyeleksian pengalaman kehidupan
yang akan diceritakan tersebut, tentu saja, bersifat subjektif.
Fiksi menceritakan berbagai masalah
kehidupan manusia dalam interaksinya dengan lingkungan dan sesama, interaksinya
dengan diri sendiri, serta interaksinya dengan Tuhan.
Fiksi merupakan hasil dialog,
kontemplasi, dan reaksi pengarang terhadap lingkungan dan kehidupan.
Walau berupa hasil kerja imajinatif,
khayalan, tidak benar jika fiksi dianggap sebagai hasil kerja lamunan belaka,
melainkan penghayatan dan perenungan secara intens, perenungan terhadap hidup
dan kehidupan, perenungan yang dilakukan dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab.
Fiksi merupakan karya imajinatif
yang dilandasi kesadaran dan tanggung jawab dari segi kreativitas sebagai karya
seni.
Baca juga: Unsur Pembangun Novel Anak Semua Bangsa Karya Pramoedya Ananta Toer
Fiksi menawarkan “model-model”
kehidupan sebagaimana yang diidealkan oleh pengarang sekaligus menunjukkan
sosoknya sebagai karya seni yang berunsur estetik dominan.
Imajinasi (imagination) sebenarnya menunjuk pada pengertian creative thinking, “berpikir kreatif”,
berpikir untuk menciptakan (baca: menghasilkan) sesuatu.
Dengan berimajinasi, seseorang aktif
berpikir memahami, mengritisi, menganalisis, menyintesis, dan mengevaluasi
untuk menghasilkan pemikiran, karya, atau produk baru.
“Produk” dan “produk baru” dalam dunia kesastraan menunjuk pada pengertian karya sastra, teks-teks kesastraan, yang dapat meliputi berbagai genre.
Berbagai teks tersebut dihasilkan
lewat kerja berkreasi, berekreasi lewat imajinasi, maka “produk” yang
dihasilkan disebut sebgaai karya kreatif.
Berbagai macam karya seni yang lain
yang “penciptaannya” dilakukan lewat eksplorasi kreativitas imajinasi juga
dapat disebut sebagai karya kreatif.
Artinya, mereka dihasilkan lewat
kerja yang menekankan unsur kreativitas-imajinatif.
Baca juga: Definisi dan Pengertian Apresiasi Sastra Menurut Ahli
Sebenarnya, hal itu tidak hanya
mencakup karya atau produk yang terkait dengan karya seni (baca: seni sastra,
fiksi), melainkan dapat berupa apa saja termasuk berbagai karya yang benar-benar
mengeksplorasi kemampuan intelektual.
Karya sastra juga tidak mungkin
tercipta jika para penulis tidak mempunyai kekuatan intelektual yang baik. Para
insinyur arsitektur tidak mungkin mencipta bangunan hebat, kuat, sekaligus
artistik jika tidak mempunyai kekuatan imajinatif yang tinggi.
Semua yang baru, indah, atau hebat
mengagumkan di dunia ini mesti tercipta lewat kerja dengan kekuatan imajinatif
yang hebat pula. Jadi, unsur dan kekuatan imajinatif dan kreativitas pada
hakikatnya merupakan prasyarat untuk dapat “menciptakan” sesuatu yang bernilai
tinggi.
Baca juga: Sastra Jawa Klasik
Bagaimanapun, karya fiksi merupakan
sebuah cerita, dan karenanya terkandung juga di dalamnya tujuan memberikan
hiburan kepada pembaca di samping adanya tujuan estetik.
Membaca sebuah karya fiksi berarti
menikmati cerita, menghibur diri untuk memperoleh kepuasan batin, dan sekaligus
memperoleh pengalaman kehidupan.
Namun, betapapun saratnya pengalaman
dan permasalahan kehidupan yang ditawarkan, sebuah karya fiksi haruslah tetap
merupakan cerita yang menarik, tetap merupakan bangun struktur yang koheren,
dan tetap mempunyai tujuan estetik (Wellek & Warren, 1989, h.212).
Daya tari cerita inilah yang
pertama-tama akan memotivasi orang untuk membacanya. Hal itu disebabkan pada
dasarnya, setiap orang senang cerita, apalagi yang sensasional, baik yang
diperoleh dengan cara melihat atau mendengarkan.
Baca juga: Religiositas Puisi Sutardji Colzoum Bachri
Melalui sarana cerita itu pembaca
secara tidak langsung dapat belajar, merasakan dan menghayati berbagai
permasalahan kehidupan yang secara sengaja ditawarkan pengarang.
Hal itu disebabkan cerita fiksi
tersebut akan mendorong pembaca untuk ikut merenungkan masalah hidup dan
kehidupan.
Oleh karena itu, cerita, fiksi, atau
kesastraan pada umumnya, sering dianggap dapat membuat manusia menjadi lebih
arif, atau dapat dikatakan sebagai “memanusiakan manusia”.
Fiksi pertama-tama menyaran pada
prosa naratif, yang dalam hal ini adalah novel dan cerpen, bahkan kemudian
sering dianggap bersinonim dengan novel (Abrams, 1999, h.94).
Novel sebagai sebuah karya fiksi
menawarkan sebuah dunia, dunia yang berisi model yang diidealkan, dunia
imajinatif, yang dibangun melalui berbagai unsur intrinsiknya seperti
periwtiwa, plot, tokoh (dan penokohan), latar, sudut pandang, dan lain-lain
yang kesemuanya juga bersifat imajinatif.
Kesemuanya itu walau bersifat
noneksistensial, karena dengan sengaja dikreasikan oleh pengaranag, dibuat
mirip, diimitasikan dan atau dianalogikan dengagan kehidupan dunia nyata
lengkap dengan peristiwa-peristiwa dan latar aktualnya –sehingga tampak seperti
sungguh ada dan terjadi- terlihat berjalan dengan sistem koherensinya sendiri.
Kebenaran dalam karya fiksi, dengan
demikian, tidak harus sama (dan berarti) dan memang tdak perlu disamakan (dan
diartikan) dengan kebenaran yang berlaku di dunia nyata.
Hal itu disebabkan dunia fiksi yang
imajinatif dan dunia nyata yang faktual masing-masing memiliki sistem-hukumnya
sendiri.
Baca juga CERPEN dan PUISI untuk menghibur dan memotivasi jiwa dan pikiranmu setelah seharian lelah beraktivitas, bekerja, atau belajar.
Disarikan dari:
Teori Pengkajian Fiksi Karya Burhan Nurgiantoro (2013), diterbitkan Gadjah mada University Press,
Yogyakarta.
[1] Perbedaan antara prosa dan puisi, misalnya dibicarakan oleh Slamet Mulyono dalam Peristiwa Bahasa dan Peristiwa Sastra (1956), H.B. Jassin dalam Tifa Penyair dan Daerahnya (1960) juga Aoh Kartahadimaja dalam Seni Mengarang (1978), dan Rahmat Djoko Pradopo dalam Pengkajian Puisi (2012).