Periodisasi Sastra di Indonesia
Menurut Ajib Rosidi Periodisasi sastra adalah pembabakan waktu terhadap perkembangan sastra yang ditandai dengan ciri-ciri tertentu. Berikut yakni periodis sastra menurut Ajib Rosidi, yaitu:
Masa Kelahiran
Periode sastra awal tahun 1933
Periodisasi ini sering disebut juga zaman balai pustaka. Padamasa ini prosa (roman, novel, cerita pendek dan drama) dan puisi mulai menggantikan kedudukan syair, pantun, gurindam dan hikayat dalam khazanah sastra di Indonesia pada masa ini. Balai Pustaka didirikan untuk mencegah pengaruh buruk dari bacaan cabul dan liar yang dihasilkan oleh sastra Melayu Rendah yang banyak menyoroti kehidupan pernyaian (cabul) dan dianggap memiliki misi politis (liar). Balai Pustaka menerbitkan karya dalam tiga bahasa yaitu bahasa Melayu-Tinggi, bahasa Jawa dan bahasa Sunda; dan dalam jumlah terbatas dalam bahasa Bali, bahasa Batak dan bahasa Madura.
Periode 1933 – 1942
Periodisasi
ini merupakan karya sastra Indonesia setelah zaman balai pustaka. Masa ini ada
dua kelompok sastrawan Pujangga baru yaitu :
- Kelompok “Seni untuk Seni” yang dimotori oleh Sanusi Pane dan Tengku Amir Hamzah.
- Kelompok “Seni untuk Pembangunan Masyarakat” yang dimotori oleh Sutan Takdir Alisjahbana, Armijn Pane dan Rustam Effendi.
Periode 1942 – 1945
Pengalaman hidup dan gejolak sosial-politik-budaya telah mewarnai karya sastrawan Angkatan '45. Karya sastra angkatan ini lebih realistik dibanding karya Angkatan Pujangga baru yang romantik-idealistik. Karya-karya sastra pada angkatan ini banyak bercerita tentang perjuangan merebut kemerdekaan seperti halnya puisi-puisi Chairil Anwar. Sastrawan angkatan '45 memiliki konsep seni yang diberi judul "Surat Kepercayaan Gelanggang". Konsep ini menyatakan bahwa para sastrawan angkatan '45 ingin bebas berkarya sesuai alam kemerdekaan dan hati nurani. Selain Tiga Manguak Takdir, pada periode ini cerpen Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma dan Atheis dianggap sebagai karya pembaharuan prosa Indonesia.
Masa Perkembangan
Periode 1945 – 1953
Angkatan
50 ini sendiri ditandai oleh terbitnya majalah sastra kisah asuhan H.B.Jassin.
angkatan ini didominasi oleh cerita pendek. Pada angkatan ini muncul gerakan
komunis dikalangan sastrawan, yang bergabung dalam lembaga kebudayaan rakyat
(lekra) yang berkonsep sastra realisme-sosialis. Muncul perpecahan dan polemik
yang berkepanjangan dikalangan sastrawan.
Nama
angkatan 50 itu sendiri dikemukakan pertama kali oleh Rendra beserta kawan
kawan dari jogja pada akhir 1953. Nama ini diberikan bagi sastrawan yang mulai
menulis pada tahun 50 –an. Ajip rosidi menulis naskah yang berjudul “sumbangan
terbaru sastrawan indonesia kepada kesusastraan Indonesia.
Periode 1953 – 1960
Istilah
angkatan ‘66 yang dikemukakan oleh H.B. Jassin melalui antologinya mendapat
beberapa tanggapan dari berbagai pihak pengarang, diantaranya adalah Ajib
Rosidi. Ajib menganggap bahwa penamaan dan pengajuan tesis mengenai angkatan
‘66 itu kurang dapat dipertanggungjawabkan. H.B. Jasssin sendiri berpendapat
bahwa angkatan ‘66 ini sejalan dengan tumbuhnya aksi-aksi sosial politik di
awal angkatan ‘66 yang dipelopori oleh KAMMI/KAPPI untuk memperjuangkan
Tritura. H.B. Jassin merumuskan bahwa sastra angkatan ‘66 adalah sastra yang
diwarnai oleh protes dan perjuangan menegakkan keadilan berdasarkan
kemanusiaan. Berdasarkan teori tersebut H.B. Jassin berpendapat bahwa tahun
1966 merupakan tahun lahirnya suatu generasi dan konsep baru dalam sastra yang
kemudian disebutnya dengan nama angkatan ‘66.
Ajib
Rosidi melihat bahwa teori Jassin tidak konsisten, terutama dalam menunjukkan
sastrawan-sastrawan yang dianggap mewakili angkatan ‘66. A.A. Navis contohnya
ia disebutkan sebagai pengarang angkatan ‘66, namun sastrawan ini muncul sejak
tahun 1950-an. Hal ini sebagai dasar Ajib Rosidi dalam menanggapi pendapat H.B.
Jassin. Ia tidak melihat teori Jassin ini dapat diterapkan untuk menyebut
lahirnya angkatan ‘66. Masyarakat sastra pada umumnya sudah terlanjur menerima
pernyataan H.B. Jassin sehingga dalam ilmu sastra pun terdapat penamaan angkatan
‘66.
Pada
saat menjelang tahun 1970-an sastra perotes sudah tidak bergema lagi seperti
awal tahun 1960-1966. Sastra protes tersebut tercermin pada kumpulan sajak
Taufik Ismail, yaitu: Tirani dan Benteng. Awal tahun 70-an mulai berkembang
sastra populer dan bermunculan majalah hiburan, majalah wanita, majalah
profesi. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa gema angkatan ‘66
tidak dimulai pada tahun 1966 tetapi pada tahun 1966 justru angkatan ‘66 mulai
berakhir.
Post a Comment