Tinjauan Sejarah Sastra
Kepulauan Nusantara yang terletak di antara dua benua dan di antara dua samudra, yaitu Benua Asia dan Australia serta di antara Samudra Hindia (yang sekrang disebut Samudra Indonesia) dan Lautan Teduh, dihuni oleh beratus-ratus suku bangsa yang masing-masing mempunyai sejarah, kebudayaan, adat-istiadat, dan bahasa sendiri-sendiri.
Pada Abad silam di beberapa tempat
di kepulauan Nusantara berdiri kerarajaan-kerajaan besar, seperti Majapahit dan
Pajajaran (Jawa), Sriwijaya (Sumatra), serta Malaka dan Pasai (Semenanjung).
Pada abad yang silam kerajaan-kerajaan itu memiliki pengaruh yang cemerlang di
seluruh kepulauan Nusantara, bahkan sampai daratan Asia.
Namun, pada abad ke-16 dan 17 kerajaan-kerajaan itu satu demi satu menjadi daerah jajahan bangsa Eropa yang pada mulanya datang untuk mencari rempah-rempah, seperti Portugis, Inggris, Spanyol, dan Belanda. Filipina jatuh ke tangan orang Spanyol. Semenanjung Malaka akhir abad ke-17 jatuh ke tangan orang Inggris.
Sedangkan kepulauan yang kemudian menjadi wilayah Republik
Indonesia jatuh pula ke tangan orang Belanda. Beberapa kerajaan yang masih
berdaulat, setapak demi setapak ditakhlukan orang Belanda. Dan pada awal abad
ke-20 dengan berakhirnya Perang Aceh, seluruh kepulauan Nusantara semuanya
menjadi daerah taklukan Kerajaan Belanda.
Perbedaan bangsa yang menjajah menimbulkan perbedaan-perbedaan
pula dalam pertumbuhan kebudyaan, cita-cita politik dan pola pikir suku-suku
bangsa yang ada di wilayah Nusantara. Meskipun demikian, penduduk
wilayah-wilayah yang terangkum dalam jajahan suatu bangsa penjajah merasakan
nasib dan penderitaan yang sama, sehingga perhubungan antara penduduk daerah
yang semula disebut "Nederlandsch Indie" (Hindia Belanda) semakin
erat.
Perasaan tak puas karena menjadi hamba di tanah air sendiri, menyebabkan timbulnya perlawanan berupa pemberontakan bersenjata di berbagai daerah. Memang mula-mula perlawanan-perlawanan itu bersifat sporadis, terpecah-pecah dan merupakan perlawanan suatu suku bangsa melawan orang asing.
Namun saat itu yang dianggap orang "asing" itu bukan hanya kulit
putih, melainkan juga semua suku bangsa lain yang berasal dari Nusantara
juga. Hal itu memudahkan Belanda untuk mengadu domba dan politik devide et
impera efektif sekali untuk melumpuhkan perlawanan orang bumi putra terhadap
penjajahan Belanda.
Pada awal abad ke-20 mulailah para pemimpin dan pejuang kemerdekaan kita sadar akan kelemahan dirinya dan akan kekuatan lawannya. Maka berasal dari perasaan senasib sepenanggungan karena sama-sama hidup di bawah cengkeraman penjajah yang satu, tumbuhlah kesadaran nasional. Api nasionalisme itu menghilangkan perbedaan-perbedaan yang disebabkan oleh karena perbedaan sejarah, lingkungan kebudayaan, bahasa, adat-istiadat, temperamen dan watak. Dalam menghadapi musuh bersama yang satu, yang diperhitungkan bukan perbedaan di antara suku-suku bangsa itu, melainkan persamaan-persamaannya. Kesadaran itulah yang kemudian pada tahun 1928 dirumuskan dalam sebuah sumpah bersama yang sekarang kita kenal sebagai Sumpah Pemuda, yang mengaku:
Kami putera dan puteri Indonesia
mengaku bertumpah darah yang satu,
Tanah Indonesia.
Kami putera dan puteri Indonesia,
mengaku berbangsa yang satu,
Bangsa Indonesia.
Kami putera dan puteri Indonesia
menjunjung bahasa persatuan,
Bahasa Indonesia.
Kalau dicermati, tampak dengan jelas yang dimaksudkan dengan
"Indonesia" oleh sumpah itu melingkupi seluruh wilayah yang pada masa
itu dikenal sebagai Nederlandsch Indie, yaitu wilayah Hindia yang dijajah oleh
Belanda.
Politik Belanda dalam menjajah sangat keras. Mereka melakukan
segala cara dan paksa untuk mengangkut kekayaan daerah jajahannya. Baru pada
awal abad ke-20, poltik Belanda agak lunak, yaitu sebagai reaksi terhadap
politik cultuurstelsel (tanam paksa) yang telah sangat merusak kehidupan kaum
bumi putra. Dan sebagai gantinya dianutlah politik etis atau etische politiek.
Politik etis dalam kenyataannya tidaklah mengurangi ketamakan penjajah dalam mengeksploitasi daerah jajahannya, tetapi sebagai "balas jasa" mereka mulai memperhatikan nasib anak negeri. Kemungkinan untuk bersekolah, untuk mendapatkan pendidikan, untuk maju bagi orang-orang bumi putra mulai agak leluasa.
Sebagai reaksi terhadap perkembangan itu, para
pemimpin nasional Indonesia seperti HOS Tjokroaminoto, H. Agus Salim, Abdul
Muis, Tan Malaka, Semaun kian giat memperjuangkan agar bahasa Melayu menjadi
bahasa nasional. Terutama Soekarno telah membuat bahasa Melayu menjadi bahasa
Indonesia yang hidup, lincah, lentuk, dan populer.
Post a Comment