AMANAT BAPAK

Amanat Bapak ilustrasi Hangga (Suara Merdeka)


"Ibu, sakit ya, Bu?"
Tiba-tiba saja ia sudah berada di depanku,
mengelus pipiku merah bekas tamparan sang bapak barusan.

 

Mungkin terbangun gara-gara dentam daun pintu yang dibanting bapaknya. Malam ini pastilah bapaknya tak pulang lagi. Ia mengambil tisu dari kotak di meja makan. "Bibir Ibu berdarah ...," katanya pelan sambil mengelap sudut bibirku.

“Adit…, Adit tidur lagi ya, Nak. Besok kan Adit harus sekolah. Jangan sampai terlambat, ”kataku. Kuusap Ditingkatkan.

"Ibu tidak tidur?"

Alih-alih kembali ke kamar, ia malah duduk di sampingku, menyenderkan kepala ke pundakku. Kukecup rambutnya. Bau samar stroberi dari sampo anak-anak masih terasa. “Ibu masih harus mengerjakan pesanan. Dapatkan lagi. Kau tidurlah. Ya Nak? ” Kupeluk dan kuusap pundaknya.

"Mengapa Bapak sering memukul Ibu?" tanyanya sembari menatapku. Demi melihat telanjang, air mataku urung jatuh. Aku tak mau menambah luka lagi. Aku yakin sembuh setiap kali melihat perawatan sang ayah. Dan, aku tak ingin ia melihat air mataku. Aku berdiri, akhirnya menuju kamarnya.

"Ibu ...."

"Ya, Nak?"

“Bukankah mengalahkan tidak baik, Bu? Tapi kenapa Bapak sering patah Ibu? ”

“Jika kaurasa itu tidak baik, jangan lakukan, Nak. Selain untuk perempuan. Kamu laki-laki, sudah disetujui ”Kubetulkan selimutnya.

"Tapi Bapak tidak melindungi Ibu."

“Kau tidurlah, besok kita bicara lagi. Kau sudah besar, lagi lagi SMP, tahu mana yang bisa kaucontoh atau tidak kan? ”

Ia mengangguk. Kumatikan lampu sebelum meninggalkan kamarnya.

Hiruk-pikuk pasar sudah terasa, meski masih dini hari. Aku pindah pindah ke tempat biasa menyetorkan jajanan.

"Mbak, yang kemarin masih tersisa lima biji," kata penjual makanan sambil mengangsurkan plastik berisi returan getuk dan uang 190.000.

" La mbok dibuang aja kalau masih tersisa, mbah, atau diberikan ke orang sekiranya masih bagus," kataku sambil menata getuk di wadah yang sudah dia sediakan.

“ Ya gak penak ta, aku melihat sisa tapi barang gakada. Eh, Mbak, bisakah bikin getuk tampahan gak? Ada yang pesan pakai tampah, mau buat prasmanan sunatan,” sambungnya.

Aku menghitung ulang getuk-getuk dalam kemasan mika kecil sebelum menjawab. "Bisa, Mbah. Mau yang harga 250.000 atau 300.000? ” jawabku.

“ Tampah cilik wae . Nanti kalau jadi pesen aku SMS kamu ya? ”

“ Nggih, Mbah. Pareng riyin. Matur nuwun , ”jawabku.

Kustater motor matikku, diantarkan tuas gas menuju ke penjual singkong langganan. Kuharap masih punya singkong jinten. Jenis singkong ini sangat bagus untuk bahan baku getik bikin. Dapatkan lebih dari satu jenis singkong dan lainnya saja getuknya lebih enak dan pulen.

Sesampai di rumah, kulihat Adit sudah rapi. Ia memang mandiri, meski hanya anak wayang. Aku juga tak pernah terpikir untuk memberikan adik perempuan itu tidak kesepian. Keadaan ekonomi keluarga belum stabil. Lagipula aku tak mau ada bayi lagi di rahimku.

“Adit sarapan dulu ya, Nak. Ibu sudah beli bubur ayam kesukaanmu. ” Kubuka plastik kresek dan dikeluarkan bubur dalam kemasan sterofoam. Seperti biasa kuambil dulu plastiknya untuk kusimpan bersama plastik bubur hari-hari sebelumnya. Siapa tahu suatu saat nanti aku butuh banyak plastik. Lagipula aku tak mau pakai banyak barang sekali pakai. Kemajuan zaman dan teknologi tidak bisa diimbangi dengan pelaksanaan pembunuhan. Budaya buru-buru menuntut semua hal harus instan. Lalu segala sesuatu yang pernah digunakan menjadi solusi. Memperbaiki, sampah yang tidak bisa terurai membebani bumi. Aku tersenyum malu; Aku juga salah seorang penyumbang sampah tak terurai di bumi.

Alih-alih membawa kotak makan atau termos untuk membeli bubur ayam sarapan Adit, aku hanya membeli sterofoam dan mentransfernya bersama sampah sisa dapur. Mungkin sakit ini aku harus membeli kotak makan sebelum menjemput Adit pulang sekolah.

Untuk ini, area makam seperti biasa. Hanya beberapa warga permukiman sekitar makam sesekali melintas. Sinar matahari sudah tak terik. Semilir angin membelai kamboja, merontokkan beberapa daun dan bunga.

Aku bersimpuh di salah satu kijing makam keramik berwarna hijau tua dengan tulisan nama bapakku di nisan. Kuelus menulis nama yang ditulis di nisan itu, sebelum kuletakkan beberapa tangkai bunga di bawahnya.

"Bapak, apa kau tahu amanat yang kauberikan menyerahkan ini terlalu berat?" gumamku.

Bayangan acara selalu berkelebat setiap kali Bapak Bapak. Terbayang tangan Bapak yang lemah meletakkan telapak tangan mungilku dalam genggaman tangan Pakde Yo. Terbayang Ibu yang terisak pelan di samping tempat tidur berseprai putih di dalam ruangan terbuka obat. Terbayang pula Pakde Yo yang setiap minggu mampir ke rumah untuk memberi uang kepada Ibu setelah tubuh Bapak dimasukkan ke dalam liang lahat. Baru setelah lulus SMA, semuanya menjadi jelas bagiku. Bapak sebatangkara memulai usaha bersama Pakde Yo. Dan kompilasi sakit, ia menitipkan Ibu, aku, dan kedua abangku kepada Pakde Yo dan berbicara. Untuk mengikat persaudaraan, akhirnya mereka menikahkan aku dengan Aswin, anak satu-satunya Pakde Yo.

Aku menghela napas. Kuelus nisan hijau tua itu lagi.

Aswin tak sepenuhnya salah. Kesalahanku juga yang membuat Aswin akhirnya mengubah perangai. Beberapa bulan setelah perkawinan kami, aku tak mau mau Aswin dekati. Sementara itu setiap kali pertemuan keluarga, ada saja yang bertanya kenapa aku tak kunjung hamil. Mungkin Aswin kalut sampai pada suatu malam ia pulang ke rumah dan memaksaku untuk melayani di ranjang. Dan, malam-malam itu terus berlangsung hingga Adit lahir.

Aku tahu Aswinolusi. Untuk menikah denganku, ia harus meninggalkan kekasih yang sangat dia cintai. Namun saya juga tak bisa melepaskan diri berbagi tempat tidur dengan seseorang yang sudah kuanggap saudara kandung.

"Bapak, aku pulang dulu." Kukibaskan rokku dari debu. Kuelus sekali lagi nisan hijau itu sebelum aku melangkah pergi. Setiap Sabtu, Menginap di rumah Pakde Yo. Jadi aku bisa tahu Bapak.

Kuketuk pintu bertuliskan "Ruang Kepala Sekolah" sebelum memenangkan handel pintu. Di dalam, di dalam ruangan ini, Adit berdiri dengan kepala tertunduk. Seorang ibu dan anak perempuan duduk berhadapan dengan Ibu Kepala Sekolah.

Karena pesuruh sekolah mengantar surat itu tadi pagi, aku sudah tahu Adit membuat masalah lagi. Dan benar saja, Ibu Kepala Sekolah mengatakan Adit yang membantah sampai berdarah garagara anak itu menyobek buku anak perempuan yang sekarang ada di ruangan ini. Sekolah akan membantah jika sekali lagi ada laporan Adit berkelahi dengan peserta.

Kuparkir motor matikku di depan tukang siomai favorit Adit, memesan dua porsi siomai goreng dan mengundang dia duduk di bangku. Ia hanya diam sejak tadi. Mukanya menunduk.

"Adit, kenapa lagi, Nak?"

Kulihat seragam putihnya kotor. Satu kancing baju atas hilang dan sakunya robek.

"Ibu marah?" katanya pelan.

Aku tersenyum dan menggeleng.

“Ibu ingat buku gambar yang bersampul gambar kelinci?”

Aku mengangguk.

“Mita sangat suka kelinci. Jadi saya menerima buku itu disetujui. Tapi Danu juga mau. Danu membantahnya dari Mita. Bukunya sobek. Jadi Adit pukul Danu sampai jatuh. ”

Kuelus disetujui. “Besok Ibu belikan lagi yang sama gigih. Buat Danu juga. Nanti Adit terima kasih pada Danu dan bilang maaf ya? ”

Ia mengangguk pelan.

Kudengar pintu depan dibuka dengan kasar saat aku dipindahkan singkong yang telah dirilis ke ember plastik untuk kutumbuk. Adit yang sedang membantuku mengelap daun pisang terkejut. Wajahnya menampakkan kesulitan. Belum pernah mengatakan apa pun, Aswin sudah ada di depanku. Matanya merah. Bau alkohol tercium dari mulutnya. Kurasakan rambutku perih karena dia jambak. Selanjutnya yang kudengar adalah sumpah-serapah Aswin serta tangisan dan teriakan Adit seperti biasa jika melihat sang bapak memukuliku. Adit menangis meraung-raung dan berlari. Bedanya, kali ini ia tidak bersembunyi. Dia membalik berlari, lalu memelukku, sebelum membantah badan sang bapak. Namun apalah arti kepalan tangan Adit, selain menambah kemenangan Aswin?

Dengan marah Aswin mendorong tubuh kecil Adit. Mulutnya menceracaukan makian yang tak jelas. Refleks tanganku menyambar alu untuk menumbuk dan menghaluskan getuk. Kupukul kepala Aswin berkali-kali saat kulihat gerakan mengembalikan mengayun ke Arah Adit. Aswin tumbang dengan kepala berlumuran darah.

Jerit tangis Adit berhenti, mata membelalak, mulutnya ternganga. (28)

 

Semarang, 5 Maret 2020: 15.45

Cerpen MUGI ASTUTI, mantan buruh migran di Hong Kong, ibu dua orang anak, tinggal di Semarang. Dimuat di SUARA MERDEKA edisi 5 Juli 2020