Apakah Sastra? Beberapa Masalah Peristilahan

Sampai sekarang belum seorang pun berhasil memberi jawaban yang jelas atas pertanyaan utama dan paling hakiki, yaitu “Apakah Sastra?”

Ilmu sastra menunjukkan keistimewaan, barangkali juga keanehan yang mungkin tidak dapat kita lihat pada banyak cabang ilmu pengetahuan lain, yaitu bahwa objek utama penelitiannya tidak tentu, malahan tidak karuan. Sampai sekarang belum ada seorang pun yang berhasil memberi jawaban yang jelas atas pertannyaan pertama dan paling hakiki, yang mau tak mau harus diajukan oleh ilmu sastra: Apakah sastra?

Sudah tentu cukup banyak usaha yang dilakukan sepanjang masa untuk memberi batasan yang tegas atas pertanyaan itu, dari berbagai pihak dan dengan pendekatan yang berbeda-beda. Namun, batasan mana pun yang pernah diberikan oleh ilmu ternyata diserang, ditentang, disangsikan, atau terbukti tak kesampaian karena hanya menekankan satu atau beberapa aspek saja, atau ternayata hanya berlaku untuk sastra tertentu.

Atau sebaliknya, adakalanya batasan ternyata terlalu luas dan longgar, sehingga melingkupi banyak hal yang jelas bukan sastra. Masalahnya, secara intuisi kita semua sedikit banyaknya tahu gejala apakah yang hendak disebut sastra, tetapi begitu kita coba membatasinya, gejala itu luput lagi dari tangkapan kita.

Baca artikel serupa di Serba-Serbi Sastra

Memang sering kali secara umum dapat dikatakan bahwa definisi sebuah gejala dapat kita dekati dari namanya. Sudah tentu definisi semacam itu biasanya tidak sempurna, harus diperhalus atau diperketat kalau gejala tersebut mau dibicarakan secara ilmiah.

Meskipun begitu manfaat tinjauan dari segi pemakaian bahasa sehari-hari sebagai titik tolak sering kali cukup baik. Dalam bahasa-bahasa Barat, gejala yang ingin kita perikan dan batasi disebut literature (Inggris), Literatur (Jerman), Litterature (Prancis), semuanya berasal dari bahasa Latin Litteratura.

Litteratura sebetulnya diciptakan sebagai terjemahan dari kata Yunani grammatika; litteratura, dan grammatika masing-masing berdasarkan kata littera dan gramma yang berarti huruf (tulisan, letter). Menurut asalanya, litteratura dipakai untuk kata bahasa dan puisi; dalam bahasa Perancis masih dipakai kata lettre. Belanda geletterd artinya orang yang berperadaban dengan kemahiran khusus di bidang sastraInggris  man of letters (Curtius, 1973:42; lih. Juga Escarpit 1962).

Baca juga beragam CERPEN atau PUISI 

Litteature  dan seterusnya umumnya dalam bahasa Barat modern yakni segala sesuatuyang tertulis, pemakaian bahasa dalam bentuk tertulis. Dalam bahasa Jerman, yang selalu sangat aktif mencari kata Jerman asli untuk konsep asing, dipakai dua kata Jerman asli, yaitu Schrifftung, yang meliputi segala sesuatu yang tertulis, sedangkan Dichtung biasanya terbatas pada tulisan yang tidak langsung berkaitan dengan kenyataan, jadi yang bersifat rekaan dan secara implisit atau pun eksplisit diangp mempunyai nilai estetik.

Untuk yang terakhir dalam bahasa Belanda dipakai letterkunde, terjemahan harfiah dari litteratura:sastra. Di samping letterkunde dalam bahasa Belanda ada juga literatuur; kata dan pengertian ini antara lain juga meliputi kepustakaan, acuan pada makalah atau buku ilmiah, sama dengan literaturJerman; dalam bahasa Perancis ada kalanya estetik; beles-lettres, juga dipakai dalam bahasa Inggris, sebagai kata pinjaman; demikian pula dalam bahasa belanda bellettrie, dalam bentuk yang disesuaikan.

Sebagai bahan perbandingan, kata sastra dalam bahasa INdonesia berasal dari bahasa Sansekerta; akar kata hs-, dalam kata kerja turunan berarti “mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk atau instruksi”. Akhiran -tra biasanya menunjukkan alat, sarana. Maka dari itu sastra dapat berarti “alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku instruksi atau pengajaran”; misalnya, sulpasastra, buku arsitektur; kamasastra, buku petunjuk mengenai seni bercinta.

Baca juga Macam Cerita Rakyat: Pengertian, Ciri-Ciri, Fungsi, dan Contohnya

Awalan su- berati “baik, indah” sehingga susastra dapat dibandingkan dengan belles-lettres. Kata susastra tampaknya tidak terdapat dalam bahasa Sasnsekerta dan Jawa Kuno (Gonda 1952; Zoetmulder 1982), jadi susastra adalah ciptaan Jawa dan/atau Melayu yang kemudian timbul.

Sebuah kata lain yang diamil dari bahasa Sasnsekerta ialah kata pustaka, yang berarti “buku” dalam arti yang luas. Arti ini juga biasa dalam bahasa Jawa Kuno dan Jawa Baru, namun dalam Melayu kalasik pustaka atau pestaka menjadi semacam buku pegangan, buku atau naskah ilmu sihir, mantra dan sebagainya (bandingkan pula dengan kata Batas pustaha, dengan arti yang sama.

Namun, kemudian dalam bahasa INdonesia pustaka dipakai lagi dalam arti “buku”, misalnya dalam nama Balai Pustaka; kemudian antara sastra dan pustaka (kepustakaan) berkembanglah pembedaan pengertian yang sama seperti dalam bahasa Belanda letterkunde (sastra indah) dan literatuur (bacaan ilmiah; sudah tentu literatuur Belanda masih tetap melingkupi sastra, misalnya literatuur-geschiedenissama dengan sejarah sastra).

Baca juga 6 Cerita Rakyat Terkenal dari Jawa Barat

Dalam bahasa Cina perkembangan semantik agak kompleks: kata uang dekat dengan sastra, literatureadalah kata wen, yang menurut asalnya berati “ikatan, tenun”, kemudian “pola, susunan, struktur” dan dari situ berkembang arti yang agak dekat dengan sastra (bandingkan juga kata text yang etimologinya juga berkaitan dengan kata textile, dalam bahasa Latin: “tenun, pola”, dan lainnya) (Liu, 1975: Introductions; Plaks, 1977).

Tampaknya dalam bahasa Arab tidak ada sebuah kata yang artinya bertepatan dengan sastra; kata yang paling dekat barangkali adab. Dalam arti sempit adab berarti beeles-lettres atau susastra, tetapi sekaligus pula berarti kebudayaan, siviliasi, atau dengan kata Arab lain tamaddun.

Di samping itu ada berbagai kata yang menunnjukkan bentuk sastra tertentu, seperti kasidah, dan sudah tentu syi’r yang berarti puisi, Imelayu syair (Teeuw, 1966; Naguib al-Attas, 1968). Namun, sastra sebagai konsep yang khas tidak diberi istilah yang umum dalam kebudayaan Arab; hal itu pasti berkaitan dengan pendirian orang Arab mengenai sastra.

Baca juga beragam artikel BUDAYA biar makin memahami dan mencintai budaya bangsamu.

Pemakaian kata literature untuk segala sesuatu yang berbentuk tulisan dapat bertahan lama di Eropa oleh karena pembedaan bahan tulisan yang bernilai estetik dari tulisan lain baru muali menjadi umum pada abad ke-18; hal ini berhubungan dengan belum terpisahnya fungsi estetik dari fungsi-fungsi lain sebelum abad ke-18.

Pemakaian literature dalam arti yang sebegitu luas ada pula akibatnya untuk penelitian sastra bangsa-bangsa Timur oleh sarjana Barat. Sebab umumnya literature untuk bahasa-bahasa Timur dipakai juga dalam arti bahan tertulis, lepas dari pokok dan isi bahan semacam itu.

Jadi, buku pegangan yang terkenal mengenai sastra Sanskrit karangan Winternitz, Geschicgte der Indischen Literatur, atau Brocklemanm Geschichte der Arabischen Literatur, selain merupakan sejarah sastra dalam arti yang terbatas, membicarakan pula tulisan mengenai ilmu tata bahasa, kedokteran, ilmu falak, ilmu pasti, dan lain-lain.

Baca juga beragam artikel yang membahas makna dari FALSAFAH-FALSAFAH JAWA

Sudah tentu hal itu juga diakibatkan oleh karena yang dapat membaca dan meneliti bahan tulisan ini di dunia Barat hanya para orientalis yang biasanya, selain mempunyai latar belakang filologi, menaruh minat pula terhadap kebudayaan dalamarti yang seluas-luasnya. Kemampuan bahasa dan filologi mereka menjadi jembatan pembuka jalan ke bidang-bidang ilmu pengetahuan Timur secara umum dan luas.

Hal yang sama terjadi di bidang sastra Indonesia. Kedua buku yang paling beribawa mengenai sastra Melayu dan Jawa, masing-masing karangan Winstedt, yaitu History of Classical  Malay Literature dan Pigeaudyaitu Literature of Java, meliputi tulisan Melayu dan Jawa dalam arti yang luas, jadi lingkupnya jauh lebih luas daripada hanya belles-lettres.

Baca juga: Makna Rila Lamun Ketaman, Ora Getun Lamun Kelangan

Winstedt misalnya membicarakan juga tulisan di bidang teologi Islam, mengenai hukum dan undang-undang, dan karangan sejarah, sedangkan buku Pigeaud berfungsi menyediakan kerangka untuk katalog naskah dalam bahasa Jawa yang memang meliputi segala macam tulisan, tidak hanya bersifat sastra dalam arti yang sempit.

Di samping serta di belakang alasan formal dan praktis terselubung masalah yang lebih asasi, yakni bagaimana membedakan sastra dalam arti terbatas (Dichtung, Jerman)) dan tulisan dalam arti yang luas? Apakah ada alasan yang jelas dan kuat untuk mengatakan bahwa Sejarah Melayu adalah buku sejarah dan bukan sastra, demikian pula karangan Nuruddin ar-Raniri, Babad Tanah Jawi, Serat Wedatama, dan lain-lain? 

Baca juga Makna Ajining Dhiri Ana Lathi, Ajining Raga Ana Busana

*Disarikan dari berbagai sumber literatur yang kredibel dan dari buku Sastra dan Ilmu Sastra karya A. Teeuw yang diterbitkan pada 2015 (cetakan kelima) oleh Dunia Pustaka Jaya, Bandung.

Ruang Literasi dan Edukasi

Post a Comment

© Untaian Abjad. All rights reserved. Developed by Jago Desain