Makna Becik Ketitik Ala Ketara

Ungkapan becik ketitik ala ketara atau “kebaikan akan ketahuan, keburukan akan tampak” sangat populer dalam kehidupan masyarakat Jawa.

Arti per kata dari ungkapan becik ketitik ala ketara,  yaitu becik artinya kebaikan, ketitik artinya ketahuan, ala artinya jelek, dan ketara artinya terlihat atau tampak. Ungkapan becik ketitik ala ketara atau “kebaikan akan ketahuan, keburukan akan tampak” sangat populer dalam kehidupan masyarakat Jawa.

Hal ini membuktikan bahwa nilai-nilai yang terkandung di dalamnya diantut dan diyakini berfungsi dan memberi manfaat bagi kehidupan masyarakat Jawa. Ungkapan ini lazim dipakai sebagai peredan konflik sosial, apa pun sumber kasusnya.

Dalam suatu kasus atau konflik, tidak selamanya dapat diungkapkan bukti-bukti yang mengandung diperolehnya kebenaran. Bahkan, ada kalanya seseorang yang terlibat dalam konflik tidak bersedia menyatakan peristiwa atau hal yang sebenarnya, hal yang sesuai dengan kenyataan.

Baca juga Anak Molah Bapak Kepradah

Di samping itu, dalam konteks penyelesaian suatu konflik, sangat mungkin ada satu pihak yang kecewa atas sikap pihak lawan. Dalam kondisi seperti ini, seseorang sebenarnya cenderung menyelesaikan konflik tanpa harus memperpanjang. Permasalahan.

Namun, masing-masing pihak sering tetap bersikukuh dengan pendiriannya dan saling mengaku pihaknya yang benar dan pihak lawan yang salah. Dalam kondisi rebut bener (berebut kebenaran) antara poihak tersebut,orang Jawa menerimanya dengan keyakinan becik ketitik ala ketara. 

Pada umumnya, pihak yang berani mengucapkan becik ketitik ala ketara yaitu seorang yang meyakini bahwa dirinya tidak melakukan kesalahan. Dengan demikian, becik ketitik ala ketara digunakan sebagai alternatif penyelesaian permasalahan atau konflik jika penyelesaian normatif menemui jalan buntu atau mentok.

Baca juga Ana Catur Mungkur

Pertanyaan yang muncul adalah mengapa atau apa yang menjadi latar belakang sehingga orang Jawa meyakini kebenaran becik ketitik ala ketara itu? Budaya Jawa tidak dapat dilepaskan dengan sikap hidup orang Jawa, baik sikap hidup dalam kaitannya dengan kehidupan sosial (hubungan dengan orang lain) maupun sikap hidup dalma kaitannya dengan nilai religius atau ajaran ketuhanan.

Pertama, seperti dinyatakan di atas, seseorang akan bersikap “menerima” pemecahan konflik tanpa maksud memperpanjang persoalan terutama jika konflik itu melibatkan orang-orang yang sebelumnya memiliki hubungan baik. Namun, sebenarnya “penerimaan” itu bersifat tentatif atau sementara karena dirinya tetap menghendaki kebenaran atau kesalahan itu akan terungkap (walau tanpa melalui proses hukum normatif).

Kedua, penerimaan dengan meyakini becik ketitik ala ketara tidak terpisah dari pandangan hidup Jawa yang sangat kental dengan nilai religius. Orang Jawa meyakini bahwa Gusti ora sare (Tuhan tidak tidur) dan karenanya Tuhan melihat segala pikiran dan tindakan semua orang.

Baca juga Ajining Dhiri Ana Lathi, Ajining Raga Ana Busana

Orang Jawa sangat yakin bahwa Tuhan akan memberikan keadilan yang seadil-adilnya terhadap kesalahan umatnya. Dengan demikian, (penerimaan) fase pertama masih bersifat sementara. Mengapa dikatakan demikian? 

Disebut penerimaan fase pertama atau sementara karena orang Jawa masih mengharapkan kesalahan dan kebaikan itu akan terbukti dan Tuhan yang memberikan bukti-bukti itu walaupun tidak harus melalui proses normatif. Lalu apa bentuk dari bukti-bukti tersebut?

Biasanya masyarakat Jawa meyakini bahwa Tuhan akan membalas kesalahan seseorang dengan kejadian yang menyedihkan yang ditimpakan pada pelaku kesalahan, seperti sakit yang berkepanjangan, kehilangan harta benda, kegelisahan, kehilangan kehormatan, dipermalukan secara umum, dicabut derajat atau amanah yang diberikan kepadanya, dan sebagainya yang menimpa diri atau keluarganya.

Baca juga beragam artikel BUDAYA biar makin memahami dan mencintai budaya bangsamu.

Bentuk-bentuk penderitaan itu dipandang sebagai bukti bahwa si A yang salah. Dan seseorang yang terlibat konflik itu dipandang sebagai pihak yang benar jika setelah perselisihan tidak mengalami nasib buruk atau tertimpa musibah.

Satu hal yang perlu dicermati adalah perlunya kesadaran bahwa keburukan itu tidak selamanya tampak atau diketahui semasa hidupnya, melainkan juga setelah hidup di akhirat, bahkan pada hari pengadilan dari Tuhannya.

Dengan demikian, yang terpenting adalah menjadikan ungkapan becik ketitik ala ketara sebagai kendali moral bagi siapapun agar dirinya terhindar dari perilaku jahat atau keburukan, jangan sampai seseorang memiliki niat dan perbuatan ala (buruk).

Baca juga beragam artikel yang membahas makna dari FALSAFAH-FALSAFAH JAWA

Mengapa? Karena keburukan itu akan kembali pada dirinya sendiri (maupun keluarganya), entah kembalinya itu diterima ketika hidup di dunia ataupun nanti di akhirat.

Jadi, sebaik-baiknya sikap kita adalah menempatkan ungkapan becik ketitik ala ketara ini sebagai ajaran guna mengendalikan hati, pikiran, dan tindakan agar jauh dari laku ala (tindakan buruk), bukan menempatkan becik ketitik ala ketara ini sebagai bentuk pernyataan vonis atas kesalahan orang lain.

Dalam kehiduapan orang Jawa zaman dahulu, pembenaran atas perilaku bagi orang yang meninggal dilukiskan dari keadaan kuburannya. Zaman dahulu, ketika seseorang yang meninggal, kuburannya lebih banyak berupa gundukan tanah. Setelah hseribu hari dari saat meninggalnya, di atas kuburan orang tersebut baru dipasang batu nisan.

Baca juga Makna Aja Rumangsa Bisa, Nanging Bisaa Rumangsa

Jika tidak lama setelah sebelum seribu hari penguburannya, tanah kuburan itu berlubang atau ambles, masyarakat menilai bahwa ketika hidupnya orang itu memiliki perilaku yang buruk.

Oleh sebab itu, sikap yang arif ialah menghindari perilaku buruk agar tidak tercemar nama baiknya, baik di dunia atau setelah di alam kubur. Sebagaiknya, seseorang menyadari bahwa becik (baik) akan ketahuan dan ala (jelek) akan tampak.

Tidak ada pilihan lain kecuali berperilaku becik dan menghindarkan diri dari perilaku ala sekalipun tindakan ala itu tidak diketahui oleh orang lain dan tidak dapat dibuktikan oleh orang lain.

Baca juga Aja Seneng Metani Alaning Liyan

Namun, seseorang perlu menyadari bahwa Gusti ora sare(Tuhan tidak tidur) sehingga keburukan itu akan tampak sesuai dengan kehendak Tuhan. Sebaliknya, kebaikan itu akan diketahui oleh orang lain (dengan tujuan negatif) atau oleh pelaku sendiri.

Akhirnya, sikap hidup becik ketitik ala ketara itu sebaiknya dijadikan motivasi bagi seseorang untuk selalu berbuat dalam rel kebenaran sesuai dengan keyakinan bahwa sapa nandur bakal ngundhuh (siapa menanam akan memetik serta Gusti ora sare (Tuhan tidak tidur) sehingga tidak akan salah dalam “mengadili” seseorang.

Baca juga beragam CERPEN atau PUISI

*Disarikan dari berbagai sumber kredibel dan dari sumber Mutiara Budaya Jawa: Pardi Suratno, Edi Setiyanto, Warih Jatirahayu.

Ruang Literasi dan Edukasi

Post a Comment

© Untaian Abjad. All rights reserved. Developed by Jago Desain