Makna Aja Meteni Alaning Liyan

Ungkapan aja mateni alaning liyan berisi nasihat yang berorientasi pada upaya untuk menciptakan kehidupan yang harmonis dalam pergaulan sosial.

Ungkapan aja mateni alaning liyan berisi nasihat yang berorientasi pada upaya untuk menciptakan kehidupan yang harmonis dalam pergaulan sosial. Pendek kata, agar terjadi situasi hidup bermasyarakat yang saling percaya, menghormati, dan menghargai demi terciptanya lingkungan sosial-kemasyarakatan yang harmonis.

Kata metani dalam ungkapan tersebut terbentuk dari kata dasar bahasa Jawa petan artinya cari kutu rambut dan metani berarti mencari kutu rambut. Petan berubah menjadi metani sebagai bentuk aktif yayng berarti mencari kutu rambut. 

Kata alaning artinya jeleknya terbentuk dari kata ala (jelek) dan mendapat akhiran -ning. Kata liyan (lain, pihak lain) berasal dari kata dasar liya yang mendapat akhiran -an lain, sehingga berarti lain atau orang lain.

Baca juga beragam artikel BUDAYA biar makin memahami dan mencintai budaya bangsamu.

Kutu rambut merupakan hewan yang sangat kecil, sudah pasti hewan tersebut sulit didapatkan. Orang yang mencari kutu rambut memberi gambaran mencari sesuatu yang kecil di tengah-tengah rambut.

Namun, pekerjaan yang sulit itu pun tetap dilakukan karena tujuan akhirnya memang menemukan atau menangkap kutu rambut tersebut. Ungkapan ini merupakan nasihat orang Jawa berupa perumpamaan.

Kata metani dalam konteks ini memiliki arti “mencari-cari”, mencari sesuatu yang seharusnya tidak perlu dicari, atau mencari sesuatu yang sulit dicari. 

Kutu rambut merupakan lambang kesalahan orang lain. Oleh sebab itu, perumpamaan tersebut berarti “jangan mencari-cari kesalahan orang lain”.

Orang yang mencari-cari kesalahan orang lain itu memiliki berbagai tujuan. Misalnya, pertama, untuk menyebarkan fitnah atas seseorang agar orang yang difitnah menjadi buruk nama baiknya. 

Baca juga beragam artikel yang membahas makna dari FALSAFAH-FALSAFAH JAWA

Kedua, sebagai bentuk pelampiasan rasa tidak percaya diri karena kalah dalam persaingan hidup (kalah pandai, kalah kaya, kalah terhormat dalam masyarakat, dan sebagainya. Jadi, upaya mencari-cari kesalahan itu didasarkan pada rasa iri hati atas keberhasilan dan kebaikan orang lain.

Maksud lainnya, ketiga, yakni untuk menutupi kelemahan diri sendiri dengan jalan menjelek-jelekkan orang lain dengan harapan nama baik dirinya sendiri akan terangkat.

Orang tua kita dulu pastilah memiliki latar belakang pemikiran yang arif dan bijak dalam memberikan nasihat tersebut. nasihat itu diarahkan untuk tetap menjaga hubungan bermasyarakat yang harmonis dan rukun.

Baca juga Eling Nalika Lara Lapa

Tindakan mencari kesalahan orang lain jelas tidak disukai oleh pihak yang dicela. Jika tidak terkendali, tindakan mencari-cari kesalahan orang lain akan berkembang menjadi fitnah. Suatu fitnah akan dapat menjurus pada tindakan yang lebih jauh merugikan, misalnya pertengkaran, perselisihan, atau bahkan pembunuhan.

Dalam konteks ini, sangatlah benar kata-kata bijak yang mengatakan bahwa fitnah itu lebih kejam atau lebih jahat daripada pembunuhan.

Tindakan mencari-cari kesalahan orang lain itu, jika tidak terkendali akan menimbulkan fitnah yang berantai. Orang yang suka mencari-cari kesalahan orang lain biasanya akan mengatakan kesalahan atau keburukan tersebut kepada orang yang lainnya (entah mengatakan kepada istrinya, anaknya, atau tetangganya, atau yang lainnya).

Dari sinilah hal buruk tersebut menyebar dan berkembang menjadi fitnah dan selanjutnya terciptalah fitnah berantai. Jika hal demikian yang terjadi, pastilah orang yang difitnah itu jatuh nama baiknya.

Baca juga Makna Aja Cedhak Kebo Gupak

Hal itulah yang dikehendaki oleh orang yang mencari-cari kesalahan orang lain. Ia baru merasa berhasil jika ampu mempengaruhi semua orang untuk membenci orang yang dikatakan bersalah tadi.

Pada tahap ini, terjadinya pertengkaran tinggal menunggu waktu saja. Pada umumnya, jka dilakukan klarifikasi, pihak-pihak yang berada pada rantai fitnah akan menghindar dengan saling tuduh satu sama lain.

Misalnya, si F mendengar dari E, si E mendengar dari D, si D mengatakan diberitahu oleh si C, si C menyatakan dikabari oleh si B, dan si B menunjuk si A sebagai asal fitnah. Akibatnya, keretakan hubungan bukan hanya terjadi antara orang tang difitnah itu dengan si A, melainkan melingkupi pula antara pihak-pihak dalam rantai fitnah (antara A dengan B, C, D, E, F; B dengan C, D, E, F; begitu seterusnya).

Baca juga Makna Adigang, Adigung, Adiguna

Dalam masyarakat Jawa, orang yang memiliki “kesenangan” mencari-cari kesalahan orang lain disebut sebagai tumbuk cucukan, artinya orang yang senang mengatakan keburukan orang lain. Dalam ungkapan lainnya, perilaku ini disebut sebagai seneng adul-adul.

Berdasarkan hal itu, seseorang perlu menghindarkan diri dari tindakan mencari kesalahan orang lain. Alangkah baiknya jika kita berpikir positif terhadap orang lain, dengan keyakinan bahwa setiap orang memiliki sisi baik, dan hal baik ini jauh lebih  bermanfaat bagi diri kita.

Tak ada seorang pun yang sama sempurna, setiap orang memiliki kelebihan dan tidak terhidar dari kekurangan.

Baca juga Makna Rila Lamun Ketaman, Ora Getun Lamun Kelangan

Sikap arif ini -tidak menari keburukan orang lain- menjadi mediium untuk mawas diri bahawa diri kita sendiri juga penuh dengan kekurangan. Mengapa harus mencari-cari kesalahan orang lain? Tidak ada orang yang senang jika kesalahannya disebarluaskan kepada orang lain, termasuk diri kita sendiri. 

Dalam konteks ini, perlu pula menyimak salah satu nasihat lainnya, yang berbunyi yen ora gelem dijiwit ya aja njiwit (jika tidak mau dicubit, ya jangan mencubit. Jika tidak mau difitnah, maka janganlah kita memfitnah orang lain.

Baca juga Eling Nalika Lara Lapa

*Disarikan dari Sumber Mutiara Budaya Jawa: Pardi Suratno, Edi Setiyanto, Warih Jatirahayu.

Ruang Literasi dan Edukasi

Post a Comment

© Untaian Abjad. All rights reserved. Developed by Jago Desain