Makna Rila Lamun Ketaman, Ora Getun Lamun Kelangan | Mutiara Budaya leluhur Jawa

 

Secara harfiah, makna dari setiap kata dalam falsafah hidup tersebut yaitu rila (ikhlas), lamun (jika), ketaman (terkena), ora (tidak), getun (menyesal), lamun (jika), kelangan (kehilangan). Secara utuh ungkapan tersebut bermakna ikhlas ketika tertimpa musibah, tidak menyesal ketika kehilangan.

Sesungguhnya ungkapan bernada nasihat tersebut sangat dekat dengan sikap hidup orang Jawa yang mengakui dan memahami bahwa dalam hidup pasti mengalami owah gingsir atau selalu berubah, begja lan cilaka iku sandhangane wong urip atau bahagia dan celaka itu sebagian pakaiannya orang hidup, Gusti ora bakal sare atau Tuhan tidak akan tidur, dan karenanya harus bersikap sumarah marang kersaning sing gawe urip atau berserah diri dan pasrah terhadap kehendah yang membuat hidup atau Tuhan.

Sikap hidup itu sebagai karakteristik orang Jawa dan diwariskan kepada anak-anaknya atau generasi penerus, merupakan cerminan sikap religius yang sangat kental. Akan tetapi, dewasa ini banyak anak muda yang kurang atau tidak memahami wewarah atau nasihat tersebut karena makin jarang mendengar nasihat semacam itu. 

Dahulu para orangtua sering menasihatkan hal itu kepada anak-anaknya, saudara-saudaranya, tetangganya agar selalu ikhlas menerima segala kejadian yang menimpa dirinya, khususnya kejadian yang tidak menyenangkan atau musibah.

Orangtua di masa lalu selalu berpesan atau berwasiat agar diri menjadi orang yang memiliki sifat narima (ikhlas) dalam menghadapi atau hidup di tengah kejadian yang tidak menyenangkan. Pesan atau wasiat tersebut yakni Rila Lamun Ketaman, Ora Getun Lamun Kelangan. 

Sikap ikhlas itu lahir dari kesadaran bahwa segala yang ada pada manusia, misalnya anak, istri, harta, kenikmatan, kesehatan, kebahagiaan, kepandaian, dan semuanya itu adalah titipan dari Tuhan. Sebagai titipan atau gadhuhan (pinjama) maka kita harus ikhlas apabila titipan atau gadhuhan tersebut diminta kembali oleh yang memiliki dengan cara-Nya.

Sebagai orang yang berpikir berdasarkan pemikiran dan gaya hidup Jawa, tentunya kita dapat menerima sewaktu diri kita tertimpa musibah atau kehilangan harta. Musibah dan kehilangan itu harus diartikan secara luas dan mendalam. Pengertian Ketaman (tertimpa musibah) atau kelangan (kehilangan) tidak hanya menyangkut hal yang bersifat materiil, melainkan juga hal-hal yang bersifat non-materiil. 

Apabila ditanya, pasti di dalam hidup seseorang selalu berharap tidak mengalami musibah yang dapat menimbulkan penderitaan atau kesedihan diri, keluarga apalagi masyarakat. Akan tetapi, suatu ketika Tuhan bisa berkehendak lain, yakni menguji kesabaran atau keteguhan iman diri kita melalui musibah yang ditimpakan, baik kepada diri kita sendiri, keluarga, sahabat, saudara, ataupun bangsa. 

Banyak anggota masyarakat tertimpa musibah yang tentunya tidak diinginkan, seperti tanah longsor yang merenggut harta dan jiwa, bencana banjir yang melumat sawah, rumah, dan sumber penghidupan, wabah penyakit yang meminta korban jiwa, penindasan yang tiba-tiba menimpa keluarga, dan sebagainya. Sebaik-baiknya sikap kita adalah berserah diri dan bersyukur kepada Tuhan.

Oleh sebab itu, orang Jawa mengajarkan agar kita selalu bersyukur dan tidak lupa diri sewaktu menerima kebahagiaan. Orang Jawa menasihatkan kepada keluarga atau masyarakat dengan kalimat aja gumuyu lamun nampa kabagyan (jangan tertawa (artinya lupa diri) sewaktu mendapatkan kebahagiaan). 

Pada saat menerima kebaikan atau kebahagiaan kita sepatutnya bersyukur kepada Tuhan sebagai ungkapan terima kasih atas nikmat yang telah dilimpahkan. Kebahagiaan itu hendaknya sebagai pendorong untuk berbuat baik kepada orang lain. 

Pada saat tertimpa musibah, kita dianjurkan untuk tetap tabah sambil berserah diri kepada Tuhan dengan terus berikhtiar dan memohon pertolongan agar musibah tersebut sesegera berakhir dan Tuhan memberi jalan yang terbaik. Sikap seperti itu, seseorang akan mampu berdiri dalam kontrol diri yang tetap prima, tidak mudah terombang-ambingkan oleh keadaan yang menyulitkan dan tidak berputus asa. Kita diharapkan memiliki jiwa sumeleh (berserah diri secara ikhlas pada kehendak Tuhan).

Misalnya, sebagai pegawai, baik di instansi pemerintahan maupun swasta, diri tidk boleh lupa apalagi melupa sewaktu mendapat kepercayaan menduduki suatu jabatan tertentu. Diri tidak boleh memanfaatkan jabatan untuk memperkaya diri sendiri dan mencelakakan orang lain, terlebih negara. setiap orang yang menduduki jabatan perlu menyadari bahwa jabatan yang kini sedang diembannya hanyalah titipan dari masyarakat atau titipan dari Tuhan.

Kesadaran tersebut sangat baik, karena akan mendorong diri untuk bersikap hati-hati demi menjaga amanah jabatan yang bermanfaat untuk dirinya, bagi karyawannya atau bawahannya, bagi masyarakat, dan bagi bangsa dan negaranya. Dengan demikian, diri tidak akan lupa diri dan menyalahgunakan jabatan, tidak memiliki sifat aji mumpung (memanfaatkan kekuasaan mumpung berkuasa) untuk memperkaya diri.

Sebaliknya, ketika jabatan tersebut ditarik kembali oleh pemberi jebatan dan amanah, seseorang dapat menerima kejadian tersebut dengan jiwa besar. Bahkan, kehilangan jabatan yang tidak wajar sekali pun, diri harus berusaha menerima dengan rila lan legawa (ikhlas dan berserah diri).

Pada era sekarang ini, banyak kejadian yang menyebabkan seseorang mudah putus asa serta menyesali diri ketika kehilangan sesuatu. Kita dapat membayangkan betapa menderitanya sejumlah pedagang yang mengalami musibah kebakaran yang melanda pusat perbelanjaan atau pasar. Sebagai orang yang beriman, diri diharapkan mampu menerima kehilangan harta dengan ikhlas, ora getun (tidak menyesal).

Sikap pasrah lan sumarah pada orang Jawa itu dapat memunculkan sikap hidup yang tidak mudah putus asa, ora nggumun (tidak heran), ora kagetan (tidk mudah terkejut) menyaksikan berbagai peristiwa dalam hidup. Baik persitiwa tersebut berupa peristiwa baik ataupun kurang baik. 

Diri harus belajar hidup rila ketaman (ikhlas tertimpa musibah) dan  ora getun lamun kelangan (tidak menyesal ketika kehilangan). Biasanya kita sering merasa syok ketika menerima musibah yang datang tiba-tiba. Akan tetapi, jika diterima dengan sikap pasrah, semua itu telah ginaris (ditakdirkan) oleh Tuhan, telah direncanakan oleh Tuhan, hanya kita  tidak mampu mengetahui kapan waktunya akan tiba. 

Semua ada dalam rencana Tuhan, semua peristiwa tidak ada yang kebetulan dan terjadi mendadak, semua telah direncanakan, dan sebagai manusia atau seorang hamba harus mampu menerimanya dengan penuh kelapangan.