Mengenal Fenomena Fatherless dan Pentingnya Peran Figur Ayah Bagi Anak, Baik Secara Fisik Maupun Psikologis

Ayah tidak hanya berperan mencari nafkah dan pemenuhan finansial, tetapi keterlibatan ayah juga berperan penting dalam perkembangan psikologis anak.

BADAN Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), menyatakan maraknya fenomena fatherless sangat memengaruhi ketahanan keluarga Indonesia. Fatherless merupakan kondisi di mana terjadi sosok ayah kurang hadir, baik secara fisik atau psikologis dalam sebuah keluarga (Dwinanda, 2023).

Indonesia berada pada peringkat ketiga dunia dalam kategori fatherless country (Fajarrini & Umam, 2023). Tidak semua anak dapat merasakan kehadiran seorang ayah apabila sebuah negara tersebut dikatakan masuk dalam kategori fatherless (Fajarrini & Umam, 2023). 

Fatherless adalah ketidakterlibatan peran dan figur ayah dalam kehidupan seorang anak, baik secara fisik atau psikologis dalam kehidupan sehari-hari.

Baca juga Mengenal Lebih Dekat AA Navis: Sastrawan, Kritikus Budaya, dan Politikus Indonesia

Seorang anak dapat dikategorikan masuk dalam kondisi keluarga fatherless, ketika ia tidak memiliki sosok ayah, atau tidak memiliki hubungan dengan ayahnya yang dikarenakan kondisi perceraian, kematian, maupun permasalahan dalam pernikahan. Kondisi ini dapat terjadi mengakibatkan anak kehilangan figur ayah dalam diri anak secara utuh akibat ketiadaan peran ayah dalam pengasuhan (Fajarrini & Umam, 2023).

Sama seperti seorang Ibu, Ayah juga memiliki peran yang penting dalam suatu hubungan keluarga. Kepribadian anak yang baik merupakan cerminan dari keberhasilan pengasuhan dan didikan yang dilakukan oleh orang tuanya. Jika diibaratkan keluarga sebagai perusahaan, maka posisi ayah adalah posisi dari pemimpin perusahaan (Fajarrini & Nasrul, 2023). 

Ayah berperan sebagai pemimpin, penjaga, pembimbing, mendidik, dan melindungi keluarganya, sehingga kehadirannya sangat berpengaruh dalam kehidupan anak-anaknya dan akan memberikan kesan bagi anak hingga anak tersebut tumbuh dewasa. 

Baca juga Rohana Kudus, Pejuang (Pendidikan) Perempuan dari Tanah Minang

Menteri Sosial Republik Indonesia periode 2014-2018, Khofifah Indar Parawansa, menyatakan jika Indonesia menduduki posisi nomor 3 di dunia sebagai negara dengan tingkat kasus fatherless tertinggi (Fajarrini & Nasrul, 2023). 

Fenomena yang terjadi di Indonesia ini merupakan dampak dari ketidakkehadiran sosok seorang ayah bagi anak-anaknya dalam kehidupan berkeluarga.

Hal ini dapat dipicu beberapa faktor seperti perceraian, permasalahan pada pernikahan orang tua, kematian, masalah kesehatan, ataupun akibat dari profesi yang dijalankan oleh sosok ayah dalam keluarga. Pemberian label fatherless bukan semerta-merta karena tidak memiliki ayah, namun hal tersebut karena ketidakhadiran peran ayah dalam sebuah keluarga (Fajarrini & Nasrul, 2023).

Baca juga 15 Pahlawan Wanita di Indonesia

Ayah tidak hanya berperan untuk mencari nafkah dan pemenuhan finansial, tetapi keterlibatan ayah juga berperan penting dalam perkembangan psikologis anak dan kehidupan sehari-sehari seorang anak. (Nisa, Ayah berperan dalam perkembangan kognitif, emosi, kesejahteraan psikologis, sosial dan kesehatan fisik pada anak (Puspitarini, & Zahrohti, 2022). 

Pada segi perkembangan kognitif, ayah seharusnya memberikan dukungan akademik sehingga berdampak positif dalam motivasi prestasi akademik. Pada segi perkembangan emosi dan kesejahteraan psikologis, seorang ayah seharusnya memberikan kehangatan yang membantu meminimalisir masalah perilaku yang terjadi pada anak. 

Pada segi perkembangan sosial, anak yang memiliki kelekatan dengan ayahnya akan meminimalisir konflik dengan teman sebaya. Pada segi kesehatan fisik, anak yang tidak tinggal seatap dengan ayahnya mayoritas mengalami masalah kesehatan (Puspitarini, & Zahrohti, 2022).

Baca juga beragam artikel Sudut Pandang dari berbagai tokoh berpengaruh, akademisi, dan para pemikir atau ahli

Masyarakat di Indonesia, kebanyakan menitikberatkan tanggung jawab dalam proses pengasuhan dan perkembangan anak hanya kepada ibunya saja. Padahal baik, ayah maupun ibu memiliki tanggung jawab yang sama untuk terlibat dalam proses pengasuhan dan perkembangan anak. 

Ngewa (2019) mengemukakan bahwa pada hakikatnya kemampuan ayah juga dapat sama dengan ibu dalam mengenali dan merespon kebutuhan anak-anaknya. Hilangnya salah satu dari peran orang tua akan berdampak pada permasalahan psikologis anak. 

Fenomena yang terjadi saat ini adalah banyaknya kasus perceraian atau meninggal dunia yang menyebabkan anak harus kehilangan peran ayah. Ashari (2017) mengemukakan bahwa fenomena ini disebut sebagai fatherless, father absence, father loss, atau father hunger.

Baca juga ragam artikel BUDAYA biar makin mencintai keberagaman yang ada di negeri kita tercinta, Indonesia.

Fenomena fatherless saat ini sedang terjadi di Indonesia bahkan di seluruh penjuru dunia. Komisi Perlindungan Anak Indonesia mengemukakan, keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak di Indonesia masih rendah, dimana kualitas dan kuantitas waktu ayah dalam berkomunikasi dengan anak rata-rata hanya sejam perharinya (Asy’ari & Ariyanto, 2019). 

Fatherless merupakan fenomena ketika ayah tidak bertanggung jawab untuk memenuhi kewajiban dan perannya sebagai sosok ayah. Fatherless diartikan sebagai ketidakhadiran peran ayah dalam perkembangan anak baik secara fisik maupun secara psikis (Wandansari, Nur, & Siswanti, 2021). 

Fatherless bukan hanya tentang tidak adanya figur ayah dalam keluarga, tetapi juga tentang peran ayah yang tidak berfungsi dengan optimal dalam kehidupan sehari-sehari seorang anak (Nurhayani, 2020).

Baca juga: Septinus George Saa; Kisah Sang Jenius dari Tanah Papua

Fatherless adalah pengalaman secara emosional yang didalamnya terdapat pikiran dan perasaan tentang kekurangan kedekatan atau kasih sayang dari ayah karena ketidakterlibatan secara fisik, emosional, dan psikologis dalam tahapan perkembangan anak. 

Kondisi fatherless tentu bukanlah kondisi yang diinginkan dalam pola pengasuhan. Hasil penelitian menyebutkan bahwa ketiadaan ayah dalam mengasuh anak, akan mengurangi dampak yang tidak baik dari perkembangan remaja seperti halnya dalam kenakalan remaja dan penggunaan minuman keras (Alfasma et al., 2023).

Fatherless dapat diartikan juga sebagai anak yang ayahnya tidak hadir secara maksimal dalam proses tumbuh dan kembangnya, sehingga secara psikologis ayah tidak berperan dengan seharusnya dikarenakan suatu permasalahan tertentu yang terjadi di dalam lingkup internal keluarga. 

Baca juga: Widji Thukul, dari Penjual Koran Hingga Menjadi Aktivis dan Sastrawan

Fenomena ini disebabkan oleh adanya pengaruh budaya terhadap paradigma pengasuhan dan stereotip, yang berpandangan laki-laki tidak seharusnya merawat dan terlibat langsung ke dalam proses pengasuhan anaknya (Fajarrini & Nasrul, 2023). 

Proses mengasuh dan merawat anak kerap kali dikaitkan dengan sosok ibu, sehingga tanggung jawab dalam mengasuh dan mendidik anak-anak dianggap sebagai hanyalah tugas ibu semata. Sementara, ayah sebagai pemimpin keluarga dianggap hanya bertugas untuk mencari nafkah dan memenuhi kebutuhan keluarga. 

Masyarakat belum menyadari akan pentingnya keseimbangan antara peran ibu dan ayah dalam pengasuhan terhadap anak-anaknya, sehingga anak-anak sering kali kehilangan figur ayah dalam dirinya secara utuh (Fajarrini & Nasrul, 2023).

Baca juga beragam FEATURE atau SOSOK INSPIRATIF lainnya

Fatherless disebabkan oleh beberapa hal yang menyebabkan individu kehilangan peran ayah baik secara fisik maupun secara psikis. Smith mengemukakan bahwa individu dikatakan berada dalam kondisi fatherless apabila dia tidak memiliki ayah yang disebabkan karena kematian, tidak memiliki hubungan dekat dengan ayah karena perceraian, dan permasalahan keluarga yang menyebabkan pisah tempat tinggal (Sundari & Herdajani, 2013). 

Soge, dkk. (2016) mengemukakan bahwa fatherless juga disebabkan oleh kurangnya waktu bersama antara ayah dan anak, serta kurangnya kerjasama antara ayah dan ibu dalam proses pengasuhan.

Ayah yang kurang berperan secara fungsi dalam kehidupan anak-anaknya, baik sebagai ayah atau kepala keluarga, akan membawa dampak yang buruk bagi anak. 

Baca juga Menghidupkan Aksara Jawa dalam Imajinasi Anak-Anak

Dampak buruk ini dikatakan oleh Castetter yaitu diantaranya adalah anak mengalami pubertas yang lebih cepat dibanding anak seusianya, menurunnya nilai akademik pada lembaga pendidikan formal, memiliki harga diri dan self esteem yang cenderung lebih rendah karena mengalami penolakan, berdampak pada kesehatan mental dan lebih membatasi diri dalam menjalin hubungan dengan lawan jenis, dan permasalahan ekonomi, karena tidak adanya peran ayah sebagai pemenuh kebutuhan ekonomi keluarga (Putri & Kusmiati, 2022). 

Sedangkan Sundari dan Herdajani mengatakan jika kondisi fatherless dapat berdampak terhadap rasa marah, rasa malu, serta rendahnya harga diri seorang anak karena merasa berbeda dengan kawan sebayanya yang memiliki pengalaman dan kedekatan dengan ayah mereka. 

Fatherless juga menyebabkan seorang individu rentan mengalami kecemburuan, kedukaan, kesepian, perasaan kehilangan yang sangat besar, rendahnya inisiatif, rendahnya kontrol diri, keberanian mengambil resiko, dan kecenderungan neurotik terutama pada anak perempuan (Putri & Kusmiati, 2022).

Baca juga Media 'Flashcard' dalam Pembelajaran Bahasa Inggris untuk Anak Berkebutuhan Khusus di SD Inklusi | Mezia Kemala Sari

Keterlibatan peran ayah sangat berpengaruh pada dampak perkembangan individu. Salsabila, Junaidin, & Hakim (2020) mengemukakan, dampak dari ketidakhadiran peran ayah dalam perkembangan individu diantaranya perasaan marah, malu, kesepian, kecemburuan, kedukaan dan kehilangan mendalam, rendahnya harga diri serta rendahnya kontrol diri. 

Aini (2019) menemukan bahwa ketiadaan sosok ayah berkorelasi dengan penurunan kontrol diri pada remaja. Berdasarkan temuan penelitian sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak berperan penting dalam pembentukan kontrol diri remaja. Kontrol diri membantu individu dalam berpikir dan mengelola perlaku yang akan ditampilkan.

Situmorang, Pratiwi & Agung (2018) mengemukakan bahwa kontrol diri merupakan kemampuan individu untuk mengatur emosi dari dalam, agar dapat mengambil keputusan yang berhasil sejalan dengan standar ideal, nilai moral, dan harapan masyarakat. 

Baca juga Mewaspadai Konten Kotor Content Creator

Kontrol diri dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Hidayat (2018) menemukan bahwa memiliki hubungan yang baik dengan ayah lebih membantu dalam pembentukan kontrol diri remaja, yang tentunya akan sangat memiliki peranan besar saat mereka dewasa kelak.

Aroma dan Suminar (2012) mengemukakan bahwa kontrol diri merupakan salah satu tugas perkembangan yang harus terpenuhi saat masa remaja ,yaitu individu harus mampu menahan diri dan mengatur dirinya dari dorongan untuk melakukan hal-hal yang melanggar. 

Chita, David & Pali (2015) mengemukakan bahwa remaja dengan kontrol diri yang tidak memadai mengalami kesulitan menentukan akibat dari perilaku mereka. Remaja dengan kontrol diri yang kuat cenderung berperilaku tepat di semua situasi Tugas pada perkembangan remaja, yaitu remaja sudah mampu memahami konsekuensi dari perilaku yang muncul sehingga dapat mengendalikan dirinya dengan tepat. 

Putro (2017) mengemukakan bahwa pada masa remaja individu tidak lagi bergantung pada kontrol orang tua, karena tugas perkembangan remaja yang harus terpenuhi adalah membentuk dan mengembangkan kontrol diri.

Baca juga beragam artikel KEBAHASAAN biar keterampilan bahasamu makin jago. 

Berdasarkan penelitian Rabella & Ayuningtays (2023), ditemukan hal yang sangat menarik terkait dengan fenomena fatherless ini, yaitu adanya pengaruh ketidakhadiran ayah akan mempengaruhi anak perempuan yang sedang mengalami fase remaja. 

Oleh karena itu, peran seorang ayah dalam sebuah hubungan akan memengaruhi cara mereka melihat dan memilih pasangan hidup dimasa depan. 

Pengaruh pada lingkungan sosial kehidupannya juga seperti teman maupun budaya yang memiliki banyak dampak pemahaman remaja perempuan untuk mencari pasangan kehidupan dan hal paling penting bagi perempuan, adalah kesadaran dan pemilihan sehat untuk melihat serta memilih calon pasangan hidup yang sehat secara emosional dan psikologis, hal ini akan memberikan dampak baik yang bagi perempuan yang merasakan ketidakhadiran ayah dalam hidupnya.

Baca juga beragam TIPS belajar, pembelajaran, dan dunia keseharian.

Ditulis oleh Dr. Fitria Ayuningtyas, Prodi S2 Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta

*Artikel ini pertama kali terbit di Jawa Pos rubrik Opini edisi 17 Februari 2024

Ruang Literasi dan Edukasi

Post a Comment

© Untaian Abjad. All rights reserved. Developed by Jago Desain