Pergerakan Kooperasi pada Masa Moderat

Masa radikal Pergerakan Nasional mulai berakhir sejak 1930. Kemunduran itu bukan disebabkan kurang radikalnya pemimpin-pemimpin Indonesia dalam perjuangannya, melainkan karena sebab-sebab di luar kekuasaan mereka.

Pertama, krisis ekonomi dunia yang juga melanda Indonesia mempengaruhi ekonomi Hindia Belanda yang justru menjadi ujuan utama penjajahan. Kedua, kaarena tindakan penjajahan pemerintah makin keras terhadap partai politik, lebih-lebih tindakan Gubernur Jendral de Jonge yang sangat konservatif dan reaksioner.

Secara nyata memang partai tidak dilarang atau dimatikan sama sekali, tetapi gerak-gerik mereka sangat dibatasi. Mula-mula dikeluarkan peraturan larangan berkumpul. Apalah arti partai jika tidak dapat mengumpulkan anggotanya.

Baca juga ragam artikel SEJARAH biar tidak melupakan Jas Merah. 

Kemudian karena sekolah swasta nasional dapat melahirkan bibit-bibit nasionalis yang berbahaya, pemerintah menilai sekolah-sekolah itu sebagai sekolah liar. Untuk memberantasnya dikeluarkan Ordonasi Sekolah Liar, yang melarang kelanjutan sekolah tersebut.

Di samping itu anggota-anggota polisi rahasia memata-matai setiap gerak-gerik tokoh pergerakan dan mereka bebas melakukan penggeledahan dan penangkapan terhadap sesuatu atau seseorang yang dicurigainya.

Kadang-kadang sikap polisi itu sudah sangat berlebihan. Jelaslah bahwa kebijaksanaan politik kolonial yang sangat menindas itu menyebabkan partai-partai politik kehilangan kontak dengan rakyat, lebih-lebih waktu media komunikasi massa banyak yang diberangus.

Waktu itulah diputuskan untuk mengganti taktik perjuangan yang radikal menjadi non-kooperatif dengan taktik yang moderat dan kooperatif.

Baca juga beragam artikel Sudut Pandang dari berbagai tokoh berpengaruh, akademisi, dan para pemikir atau ahli.

Dalam situasi demikian muncullah beberapa partai yang kemudian cukup mempunyai pengaruh di dalam masyarakat. Pertama-tama muncul pada 1935 Partai Indonesia Raya (Parindra) yang merupakan gabungan dari Boedi Oetomo dan Persatuan Bangsa Indonesia (PBI). Tujuannya jelas, akni untuk Indonesia Raya.

Taktik perjuangannya walaupun tidak dinyatakan secara tegas lebih condong ke arah kooperatif, dengan demiikian Parindra mempunyai wakil di dalam dewan-dewan perwakilan.

Guna mencapai tujuan Indonesia Raya, Parindra berusaha untuk menjalankan aksi-aksi politik. Juga diusahakan meningkatkan kesejahteraan hidup rakyat dalam bidang ekonomi dan sosial dengan mendirikan rukun tan, bank, serikat sekerja pelayaran, menganjurkan rakyat untuk memakai hasil produksi sendiri (dalam negeri) dan sebagainya.

Baca juga CERPEN dan PUISI untuk menghibur dan memotivasi jiwa dan pikiranmu setelah seharian lelah beraktivitas, bekerja, atau belajar. 

Tokoh Parindra yang paling terkenal usaha-usahanya membela kepentingan rakyat di dewan rakyat (Volksraad) adalah Moh. Husni Thamrin. Beberapa tokoh lainnya adalah R. Sukardjo Wiropranoto, R. Pandji Suroso, Wurjaningrat, dan Mr. Susanto Tirtoprodjo. Dalam perkembangan selanjutnya beberapa partai kecil bergabung ke dalam Parindra.

Setelah Parindra, muncul Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) pada April 1937. Pemimpin partai ini umumnya adalah bekas pemimpin Partindo yang dibubarkan pada 1937. Para pemimpinnya yang utama adalah Mr. Amir Sjarifuddin, Mr. Muh. Yamin, Mr. Sartono, Dr. A.K. Gani, dan lain-lain. 

Taktik perjuangannya juga tidak dinyatakan dengan tegas tergantung kepada keadaan, tetapi condong pada kooperatif.

Baca juga artikel serupa di SINAU KEWARGANEGARAAN

Di samping kedua partai tersebut, PNI-Baru dan Partai Sarikat Islam Indonesia (PSII) walaupun tidak menonjol, tetapi masih mempunyai pengaruh dalam masyarakat. Hanya saja PSII dalam tahun-tahun terakhir penjajahan Belanda sering kali mengalami perpecahan.

Pada tahun-tahun terakhir penjajahan Belanda, karena adanya bahasa fasisme Jepang, Pergerakan Nasional Indonesia mengulurkan tangan kepada pemerintah kolonial untuk menawarkan kerja sama dalam menghadapi ancaman bahaya meletusnya Perang Pasifik.

Namun, uluran tangan itu tidak mendapat sambutan yang layak dari pemerintah, bahkan sebaliknya pemerintah curiga terhadap sikap tersebut. Tindakan keras tetap dijalankan, bahkan pada akhir 1940 Hindia Belanda dapat dikatakan sudah menjadi negara-polisi.

Oleh karena itu, tidak heran kesempatan pada akhir penjajahan Jepang dimanfaatkan oleh pemimpin-pemimpin Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.

Baca juga Ki Hajar Dewantara: Lebih Baik Tak Punya Apa-Apa tapi Senang Hati daripada Bergelimang Harta namun Tak Bahagia

*Disarikan dari berbagai sumber yang kredibel dan dari buku Sejarah Nasional Indonesia terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 1981.

Ruang Literasi dan Edukasi

Post a Comment

© Untaian Abjad. All rights reserved. Developed by Jago Desain