Sejarah, Cerita, dan Fiksi | Aprinus Salam

Cerita berbeda dengan fiksi. Kalau cerita lebih sebagai narasi subjektif, penekanan pengertian fiksi adalah sesuatu yang murni imajinasi.

Ilustasi: Bagus/JawaPos

Dua orang teman bertengkar serius gara-gara awalnya ngobrol soal sejarah. Bermula berdiskusi tentang masa-masa kejayaan Sriwijaya dan Majapahit hingga Mataram. Kemudian diskusi mengarah pada para tokoh dan pahlawannya. Tanpa diduga muncul nama Ranggalawe dan Arya Penangsang.

Pada momen itulah pertengkaran dimulai. Ternyata teman satu berpihak pada Ranggalawe dan Arya Penangsang, teman yang lain dalam posisi berbeda. Mengapa itu bisa terjadi?

Saya mencoba mempersoalkan apa itu sejarah, cerita, dan fiksi, dan bagaimana tiga hal tersebut menjadi penting atau tidak dalam kehidupan sehari-hari. Setiap masyarakat memiliki sejarah, cerita, dan fiksi masing-masing sehingga tiga hal tersebut bisa dimaknai secara berbeda sesuai dengan konteks lokalitasnya.

Baca juga Apakah Sastra? Beberapa Masalah Peristilahan

Sejarah adalah peristiwa yang pernah terjadi, yang coba diceritakan ulang, dan sebagian diupayakan dicatat dalam perspektif tertentu. Tidak ada peristiwa masa lalu yang bisa dicatat secara utuh dan lengkap. Artinya, pemahaman sejarah adalah sesuatu dan sebuah konstruksi versi tertentu. Terdapat relasi-relasi kuasa di dalamnya.

Dalam pencatatan sejarah, di dalamnya ada cerita (narasi subjektif). Sebagai narasi subjektif, mungkin ada fiksi (imajinasi subjektif) di dalamnya. Kandungan cerita itu bukan soal salah atau benar, akurat atau tidak, tapi soal sudut pandang dan kepentingan. Kemudian, ada teori dan metodologi tertentu dalam mencatat. 

Teori dan metodologi itu yang mencoba meminimalkan fiksi. Catatan tersebutlah yang menjadi tulisan sejarah. Sebagai tulisan sejarah, tetap saja ada cerita (narasi subjektif) di dalamnya dengan fiksi yang sudah diminimalkan.

Baca artikel serupa di Serba-Serbi Sastra

Cerita berbeda dengan fiksi. Kalau cerita lebih sebagai narasi subjektif, penekanan pengertian fiksi adalah sesuatu yang murni imajinasi (tentu tetap ada narasi). Fiksi secara imajinatif hanya mengacu pada dirinya sendiri. Dalam fiksi akan ada cerita (narasi), tetapi cerita dalam fiksi tidak lagi berkaitan dengan sejarah. Cerita (jika ada kandungan terkait fakta sejarah) dalam fiksi berhenti sebagai cerita.

Cerita tidak bisa menghindari fiksi. Dengan demikian, cerita berdiri antara sejarah dan fiksi. Tulisan (catatan) sejarah berusaha ”membakukan” peristiwa masa lalu dalam perspektif tertentu. Akan tetapi, sejarah hanya bisa meminimalkan fiksi, sejarah tidak bisa menghindar dari cerita subjektif seseorang (termasuk cerita rakyat, mitos, legenda, folklor, dan sebagainya). Dalam bahasa Inggris, kata itu menjadi history, bukan hifiction. Artinya, pengertian sejarah menempel dengan story (cerita), bukan fiksi (fiction).

Sebaliknya, dalam cerita tidak bisa menghindari fiksi. Dalam fiksi akan ada cerita. Akibatnya, fiksi murni belum tentu suatu cerita. Karena fiksi hanya mengacu pada dirinya sendiri yang belum tentu sebagai cerita. Fiksi sangat bebas, tetapi mengacu pada dirinya sendiri. Fiksi menjadi penting karena ada kandungan cerita di dalamnya, yang dinarasikan secara imajinatif-subjektif.

Baca juga beragam CERPEN atau PUISI 

Sebagai misal, peristiwa tentang duel antara Arya Penangsang dan Sutawijaya; mana yang sejarah, cerita, dan fiksi. Yang sejarah adalah ada peristiwa duel (pada masa itu, entah siapa pun) dan itu bisa dibuktikan walaupun secara minimalis berdasar beberapa bukti yang tersedia. 

Yang cerita adalah narasi-narasi subjektif tertentu berdasar sudut pandang yang berbeda, termasuk cerita-cerita rakyat yang berkembang. Tetapi, seperti hal di atas, dalam cerita ada fiksinya. Dalam hal itu, yang fiksi adalah hal-hal yang secara internal tidak ada acuannya kecuali hal-hal di dalam narasi itu sendiri.

Sebagai misal, ”Arya Penangsang adalah seorang sakti.” Arya Penangsang adalah sejarahnya. Sakti adalah ceritanya, secara sejarah masih bisa dilacak walaupun tidak perlu sesuai dengan kenyataan.

Akan tetapi, jika ”Arya Penangsang adalah seorang sakti yang tidak ada tandingannya.” Pernyataan ”yang tidak ada tandingannya” adalah fiksi karena tidak bisa diacu kecuali dalam pernyataan ceritanya itu sendiri.

Baca juga Macam Cerita Rakyat: Pengertian, Ciri-Ciri, Fungsi, dan Contohnya

Berbeda lagi dengan pernyataan ”Arya Penangsang itu pembohong.” Sejarah bisa dipersoalkan dan digugat jika pernyataan dalam tendensi tulisan sejarah menyampaikan sesuatu yang tidak benar dalam koridor sejarahnya. Tetapi, cerita dalam sejarah bukan sejarah.

Hal itu perspektif, perspektif tidak bisa digugat. Cerita masih bisa digugat terkait kandungan sejarahnya, bukan perspektifnya. Apalagi jika cerita dalam kandungan sejarah ada fiksinya. Fiksi tidak bisa digugat karena fiksi tidak mengacu ke sejarah.

Hal yang jadi masalah adalah implikasinya. Sejarah dan cerita, karena dalam beberapa hal memberikan kandungan rasional dan empiris, membuka peluang menjadi wacana. Dalam hal ini, pernyataan-pernyataan yang memiliki ”kandungan ideologis”.

Sesuatu yang ideologis kemudian ”menjadi keyakinan”, semacam terhegemoni kalau meminjam konsep Gramsci. Jika masuk ke tataran tersebut, hal ini menjadi lebih sensitif dan ”berbahaya”.

Baca juga beragam artikel BUDAYA biar makin memahami dan mencintai budaya bangsamu.

Kasus pertengkaran teman di atas menjadi sangat sensitif ketika ada pernyataan ”Arya Penangsang itu pembohong.” Padahal, sebenarnya itu sejarah yang diceritakan dalam perspektif tertentu. Namun, pernyataan ”pembohong” itu menyangkut salah benar yang bersifat penilaian dan ideologis. 

Bagi pendukung Penangsang, itu menyangkut pencemaran nama baik dan bisa jadi semacam penistaan atau penghinaan terhadap karakter seseorang. Apalagi seorang tokoh sejarah yang ikut menentukan kemunculan kerajaan besar Mataram yang hingga hari ini masih hadir di tengah masyarakat Jawa.

Berbeda dengan pernyataan Arya Penangsang yang sakti tanpa tanding. Walaupun pernyataan tersebut lebay, tetapi tidak cukup ideologis dan tidak bisa dipersoalkan. Namun, bagaimana jika pernyataannya ”Arya Penangsang itu pembohong walaupun ia seorang yang sakti tanpa tanding.” Apakah yang fiksi bisa membatalkan atau menetralisasi yang ideologis? Nah, penjelasannya membutuhkan pembicaraan tersendiri. (*)

Baca juga beragam artikel yang membahas makna dari FALSAFAH-FALSAFAH JAWA

Ditulis oleh Aprinus Salam, Kaprodi Magister Sastra FIB UGM.

Ruang Literasi dan Edukasi

إرسال تعليق

© Untaian Abjad. All rights reserved. Developed by Jago Desain