Hari di Mana Aku Menjadi Tua Karya Ella Surya

Entah berapa malam kuhabiskan dengan kebimbangan. Jika seperti. Ini, rasanya aku kembali kepada masa remaja. Hari di Mana Aku Menjadi Tua - Ella Surya

Hujan menjemput mereka dalam kebisuan. Diantar oleh derap langkah sepatu-sepatu bersol tebal juga kendaraan beroda besar yang sibuk melompati genangan air.

Beberapa pasang mata terbuka lebar di antara celah jendela yang sempit. Kemudian melepas kepergian mereka dengan mata tertutup. Hanya tertinggal isak tertahan dari keluarga yang ditinggalkan sebab mulutnya disumpal keadaan.

Aku adalah salah satu dari mereka yang menerima kehormatan besar untuk dijemput pagi-pagi buta. Namun, sepertinya tidak ada orang lain yang mereka jemput pagi itu.Namun, tak sempat kujamu mereka dengan segelas teh hangat. Sungkan rasanya, tapi mau bagaimana lagi? Mereka diburu waktu untuk memburu orang-orang sepertiku.

Seusai diangkut dengan kendaraan dengan roda-roda besar, aku diturunkan di sebuah bangunan. Tak lama seorang pengasuh keluar dan membawa tanganku dalam gandengannya. Katanya agar aku tidak lari. Sebab kalau lari, nanti aku akan terluka.

Aku pun menurut.  

Ketika memasuki ruangan besar, aku menyadari bahwa bukan hanya aku yang dijemput pagi ini. Jika tidak salah hitungan, ada enam belas orang yang bersama-sama denganku. Lima perempuan, sebelas laki-laki. Beberapa di antaranya kukenal dari suatu organisasi. Namun, kami tidak sempat bertegur sapa maupun menanyakan kabar.

Jangankan bersuara, bernapas terlalu kencang saja kami terlalu sungkan. Jadi kami hanya diam. Sesekali bersuara jika diperlukan.

Baca juga CERPEN dan PUISI untuk menghibur dan memotivasi jiwa dan pikiranmu setelah seharian lelah beraktivitas, bekerja, atau berlajar.

Aku mulai menulis catatan ini pada bulan kesembilan setelah hari penjemputan. Persis sembilan bulan aku hanya diam dalam kandungan. Hari ini adalah hari kelahiranku di dunia yang baru. Telanjang, merah, dan menggenggam erat kekosongan. Di dunia ini aku diasuh bersama bayi-bayi lain, namun mereka bukan keenambelas saudaraku waktu itu. Ada kemungkinan mereka tidak mampu bertahan selama 9 bulan dalam kandungan. Gugur entah pada bulan yang keberapa.

Hari kedua, aku bukan lagi bayi. Tidak lagi telanjang dan menggenggam kekosongan.

Namun, masih saja merah seperti remaja yang tengah kasmaran. Mulai hari ini banyak benda yang kugenggam. Tanah, rumput, semak belukar, tapi tidak pernah barang sekali pun kugenggam jemari ibuku. Aku telah menjelma menjadi manusia dewasa dalam semalam dengan tuntunan tanah, rumput, semak belukar, juga bisikan memekakkan telinga.

”Bangun! Kau bukan lagi bayi hari ini!”, ”Kerja kalau mau makan!”, ”Memangnya kau ini anjing? Bergerak hanya jika diteriaki”, ”Siapa suruh istirahat? Memangnya kau pegawai pemerintah?”, dan lain sebagainya.

Baca juga Menonton Bapak Memancing di Laut Karya Dewanto Amin Sadono

Suatu ketika aku berangan menjadi anak remaja yang punya gelora. Kuputuskan hari itu akan menjadi hari remajaku. Pada bulan keempat belas setelah kelahiran jika tidak salah hitungan. Aku minggat bersama beberapa kawanku yang juga memutuskan menjadi seorang remaja di hari itu. Daliman, salah seorang kawan yang bersamaku malam itu. Ia lahir lebih dulu dariku dan di antara kami, hanya dirinya yang memiliki pengalaman menjadi remaja.

”Menjadi remaja itu harus kuat. Kuat melek, kuat napas, kuat gerak,” ujarnya sebelum kami minggat malam itu.

”Memang kalau tidak kuat kenapa?” tanyaku.

Menjadi remaja itu harus kuat. Kuat melek, kuat napas, kuat gerak.

”Nanti kau menjadi bayi. Mau?”

Semua kasak-kusuk diam seketika mendengar jawaban Daliman. Sejak saat itu kami bertekad menjadi remaja kuat.

Lima hari kami lalui dengan semangat tidak ingin menjadi bayi di keesokan hari. Walau berlari dengan kaki melayang dan mata tertutup. Kami tidak ingin merengek. Karena jika rengekan kami terdengar, bisa-bisa saat itu juga kami kembali menjadi bayi. Lagipula tidak ada remaja yang merengek.

Baca juga Giri Tohlangkir Karya Ni Wayan Wijayanti

Sepanjang jalan hanya terdengar suara Daliman yang mengingatkan kami untuk terus bergerak. Sedang aku dan yang lain hanya diam. Kami terlalu takut membuka mulut.

Jujur saja, kupikir perjalanan remaja ini akan mengasyikkan dan penuh tawa kebebasan. Namun, nyatanya yang kami dapatkan hanya kegelisahan. Dalam hati aku bertanya, apa ini bayaran dari kebebasan?

Malam itu rombongan kami memutuskan untuk beristirahat setelah berhari-hari tidak memejamkan mata. Namun, sepertinya keputusan itu adalah kesalahan besar. Kami dibangunkan dengan lembut oleh beberapa pasang kaki bersepatu sol tebal. Belum sempat nyawaku terkumpul, orang-orang itu menarikku dalam rangkulan hangat mereka. Saat itu aku tahu bahwa aku akan kembali menjadi bayi. Ditimang oleh pengasuh dengan segala bentuk kasih sayang. Mungkin tidak hanya satu dua hari.

Sejak hari itu aku mengerti bahwa menjadi remaja memang penuh risiko. Lima hari menjadi remaja, lima hari pula aku kembali ke pangkuan pengasuh. Tidak hanya satu. Mereka berebut memberikan curahan kasih sayang kepadaku. Pada akhirnya aku kembali menjadi bayi. Telanjang, merah, dan menggenggam kekosongan. Aku mulai kewalahan. Diam-diam aku menangis setiap kali para pengasuh meninggalkanku sendirian di kamar yang gelap, dingin, dan lembab. Aku berharap segera menjadi dewasa. Ternyata menjadi dewasa tidak seburuk itu.

Harapanku terkabul. Akhirnya aku kembali menjadi manusia dewasa. Lega rasanya tatkala tangan ini kembali menggenggam arit dan semak belukar. Namun masih ada yang mengganjal dalam hatiku, sebab sampai matahari terbenam belum juga kujumpai kawan-kawan minggatku.

Baca juga Mengganti Nama dengan Mesin Waktu

”Mas, Mas Daliman dan yang lain belum keluar ya?” tanyaku kepada seorang kawan.

”Iya, baru kamu yang keluar,” jawabnya membuatku semakin tidak tenang. Samar-samar kudengar jerit rengekan mereka.

”Ah, pasti mereka sedang bersama para pengasuh,” gumamku.

Satu per satu kawanku mulai menampakkan batang hidungnya, kecuali Daliman. Ia sama sekali tidak muncul dalam penglihatanku selama semingguan ini.

Kekhawatiranku terbukti. Aku mendengar kabar bahwa ia keluar dari rumah pengasuh dengan gelar tertinggi. Angin membawa kabar itu dengan cepat. Membawa kawanan minggat waktu itu kembali berkumpul untuk membuat plakat bertuliskan gelar tertinggi yang didapat Daliman. Sore itu juga plakat untuk Daliman sudah jadi. Sungguh gelarnya lebih tinggi daripada kepala negara ini.

Hari-hariku sebagai manusia dewasa terus berlanjut. Pagi buta mencari air yang jauhnya tidak bisa dihitung dengan jengkalan tangan, pulang untuk membasuh diri juga mengambil jatah makan yang hanya sekepalan tangan. Sebelum siang aku dan kawananku digiring oleh para pengasuh ke tanah lapang yang katanya ladang, padahal hanya semak belukar yang dengan terpaksa mau tumbuh di tanah ini.

Baca juga Tempoyak Pedas untuk Dewa Dapur

Seharian kuhabiskan waktuku di tanah itu, mencoba terlihat bergerak agar para pengasuh tidak datang mendekat. Mencangkul, mencabut, menanam. Mencangkul, mencabut, menanam. Mencangkul, mencabut, menanam. Dan pulang. Rutinitas berulang membuatku bertanya-tanya apakah aku ini? Masihkah manusia?

Nanti kau menjadi bayi. Mau?

Waktu berlalu, begitu pula kehadiran manusia-manusia di tempat ini. Pengasuh kami berganti wajah setiap beberapa bulan. Bayi-bayi lahir ketika yang lain pergi. Kami yang lahir lebih dulu menjadi saksi bayi-bayi itu tumbuh menjadi manusia dewasa, sesekali menjadi remaja. Dari mereka aku mendengar cerita mengenai kehidupan sebelumnya yang ternyata tidak seindah angan-angan

Terlalu banyak kehidupan yang kusaksikan dan aku rindu menjadi tua. Kusampaikan kerinduanku kepada Barno. Kawan yang selalu menemani perjalanan minggatku. Ia sudah ada di sini ketika aku lahir.

”Aku merasa tubuh ini tidak lagi muda, tapi tidak juga menua. Rasa-rasanya sulit sekali menua di tempat ini,” ujarku.

”Terlalu sulit menjadi tua, terlalu mudah menjadi tiada,” timpal Barno.

”Jika masih menjalani kehidupan sebelumnya, mungkin kita sudah menjadi tua.”

”Kembali ke kehidupan pertama bahkan lebih sulit dari menjadi tua di tempat ini. Kau pun tahu itu.”

”Lagi pula kehidupan pertama tidak seindah dulu. Aku mendengarnya dari anak-anak yang baru lahir.”

”Bukan main sulitnya hidup. Tanaman yang kita tanam saja sepertinya lebih mudah hidupnya daripada kita. Padahal tidak ada harapan di tanah ini.”

”Tidak ada harapan itu hanya untuk manusia seperti kita-kita saja No. Masih tersedia harapan untuk yang lainnya.”

Baca juga Cerpen Atavisme Karya Budi Dharma

Sebulan kemudian namaku dipanggil oleh kepala pengasuh. Katanya sebentar lagi tiba jatahku untuk kembali ke kehidupan pertama. Dalam hati aku menyangsikan janji itu. Benarkah aku diantarkan kembali dengan selamat, atau malah berhenti pada lubang-lubang yang hanya menyisakan nama. Aku kebingungan. Harapanku untuk kembali tumpang tindih dengan keputusasaan. Delapan tahun sepuluh bulan aku hidup sebagai manusia yang sama sekali berbeda dari kehidupan pertamaku.

Aku tidak yakin akan selamat di kehidupan pertamaku nanti. Berbagai kekhawatiran menyelimutiku. Rupanya benar kata Barno, mustahil harapan tumbuh di tanah ini. Bagiku sungguh tidak ada yang lebih baik antara kehidupan lama dan tanah kelahiran baru.

Entah berapa malam kuhabiskan dengan kebimbangan. Jika seperti ini, rasanya aku kembali kepada masa remaja. Sibuk bergelut dengan kebimbangan dan ketakutan tak berdasar. Pikiranku melayang kepada mereka yang tertinggal di masa lalu.

Membayangkan penampakan mereka sekarang dan berulang kali kucoba menghadirkan diriku dalam bayangan itu. Namun, ia selalu memudar dan aku pun menyerah.

Tidak ada harapan itu hanya untuk manusia seperti kita-kita saja No.

Tiada pernah kudengar kabar dari angin perihal mereka yang tertinggal di masa lalu. Pun bukan salah mereka, sebab kala itu angin terlalu riuh untuk membawa pesan. Barangkali mereka juga menanti kabarku di sana, tapi tak pernah kutitipkan kabarku pada siapa pun. Terlebih angin. Sebab yang terdengar darinya hanya menciptakan gesekan.

Baca juga Tangan-Tangan Buntung Karya Budi Dharma

Sebelum hari yang dijanjikan tiba, aku pergi menghadap kepala pengasuh.

”Saya tetap di sini saja,” kataku mantap.

”Kenapa?”

”Saya sudah mengenal tanah ini. Apa yang tumbuh di sini. Sementara saya tidak tahu apa yang tumbuh di sana sekarang.”

”Yakin dengan keputusanmu?”

”Yakin, pengasuh.” Jawabku mantap.

Keluar dari ruangannya, aku menyadari satu hal. Aku telah menjadi tua. Setelah penantian panjang, akhirnya aku dapat menghabiskan waktu dengan ikhlas tanpa kembali menjadi bayi, remaja, ataupun manusia dewasa. Segera aku berlari ke kamar.

Kusambar pulpen dan catatan lusuh di atas meja. Kutulis besar-besar dalam buku catatan: 25 PEBRUARI ‘76 HARI DI MANA AKU MENJADI TUA! ~ M. T.

Baca juga Monopoli Amal Karya Puspa Seruni

(Denpasar, beberapa hari. Sebab sulit menyelesaikan tulisan dalam sekali duduk).

Ditulis oleh Ella Surya. Mahasiswa psikologi yang sedang menunggu wisuda. Lelah menulis skripsi dan beralih untuk menulis cerpen.

*Artikel ini pertama kali terbit di Kompas Website edisi 13 Maret 2024 dan dieditori oleh Dwi AS Setianingsih

Ruang Literasi dan Edukasi

Post a Comment

© Untaian Abjad. All rights reserved. Developed by Jago Desain