Karyanya sempat dilarang, tapi kini, publik tak henti ingin mengenal dan merayakan Pram.
Astuti Toer sulit menyepakati anggapan bahwa ia adalah
anak kesayangan Pramoedya Ananta Toer. Namun, sejauh yang ia ingat, dirinyalah
penyambung lidah antar anggota keluarga. “Pak Pram ngomong sama istrinya aja
jarang. Ngomong sama anak-anak yang lain juga biasanya lewat saya,” kata Titi,
sapaan Astuti.
“Pak Pram ngomong sama istrinya aja jarang. Ngomong sama anak-anak yang lain juga biasanya lewat saya,” kata Titi, sapaan Astuti.
Baca juga: Mengenal Lebih Dekat AA Navis: Sastrawan, Kritikus Budaya, dan Politikus Indonesia
Kami bicara di dalam ruang berpintu kaca di Dialogue Artspace, Kemang, Jakarta Selatan. Pada tahun 2018, ruang tersebut dimodifikasi menjadi diorama ruang kerja Pram.
Waktu itu digelar pameran retrospektif
bertajuk Namaku Pram yang di antaranya menampilkan surat-surat dan karya buku
dari penulis yang lahir di Blora pada 6 Februari 1925 ini. Ketika ditemui
redaksi Indonesia Kaya, Titi masih terlihat cukup bugar. Kulit wajahnya halus
dan tak jarang ia tersenyum manis.
Bagi Titi, salah satu cerita membekas adalah momen masa
kecil bersama ayah. Yang menurutnya, tidak lama ia rasakan. Seingat dia, waktu
berusia 9 tahun, Titi baru mengetahui keberadaan ayahnya yang ternyata ditahan
di Rumah Tahanan Salemba.
Pada akhir 1965, Pram ditahan tanpa peradilan karena dianggap sebagai bagian dari Lekra, organisasi yang dianggap komunis oleh pemerintahan Orde Baru.
Baca juga: Kisah Uwai Al Qorni, Pemuda Miskin yang Terkenal di Langit
Sejak momen itu, ia sempat dipindahkan ke beberapa penjara yakni
Rumah Tahanan Militer di Tangerang dan penjara nusakambangan sebelum akhirnya
diasingkan ke Pulau Buru bersama dengan 850 tahanan politik lain.
Titi ingat, setahun sebelumnya, penulis Novel Bumi
Manusia itu dibawa pergi dari rumah oleh seorang intel. Tak berapa lama setelah
mendapat info soal keberadaan Pram, Titi segera ingin berjumpa ayahnya.
Pada hari di mana Titi datang ke kantor penjara guna mengurus perizinan menjenguk tahanan, ia melihat sebuah papan bertuliskan jadwal kerja para tahanan. Di situ tercantum nama dan waktu kerja Pram.
Sehari
sebelum waktu kerja tiba, Titi bangun lebih pagi, mengambil kotak makanan dan
minuman, kemudian pergi ke rumah seorang pekerja rumah tangga dan meminta
dibuatkan bekal. Titi bilang akan pergi ke rumah seorang teman.
Baca juga: Maulana Jalaludin Rumi
Kenyataannya, ia berjalan kaki dari kawasan rumahnya di Rawamangun ke RTC Salemba. Ia tiba pada waktu ayahnya bekerja di luar sel. Titi melihat ayahnya memegang pacul dan mencangkul
Sepengetahuannya, si ayah sedang
menanam sayur. Ia berteriak memanggil ayahnya. Namun, ayahnya tak kunjung
merespons panggilannya. Sampai akhirnya seorang tentara yang bergerak memanggil
Pram dan memintanya menemui anaknya.
Setelah berhasil berjumpa, Pram meminta Titi segera pulang. Sebagai ayah, ia hanya mengesankan dirinya baik-baik saja. Yang Titi lihat, pada wajah dan tubuh ayahnya terdapat luka-luka.
Baca juga: Mengenal Sosok Dahlan Iskan Lebih Dekat
“Bibirnya sobek. Tapi dia bilang dia jatuh. Salah satu telinganya tidak bisa mendengar. Saya tahu itu karena disiksa dengan senapan. Tapi dia tidak mau bilang.”
Sejak masuk di RTC Salemba, Pram lama tidak pulang. Ia dipindahkan ke Nusakambangan, kemudian diberangkatkan ke Pulau Buru pada 1969. Pram baru dibebaskan dengan syarat pada 1979. Di rumah, kehidupan keluarga ketika Titi masih kecil tidak bisa dibilang tenang.
Tentara kerap datang.
Ketika dapat info soal kedatangan aparat, Ibunya segera menyembunyikan Titi dan
saudari-saudarinya. “Digulung di kolong kasur. Diumpetin di lemari. Biar gak
dibawa. Ibu aku hebat!”
Baca juga: Belajar Arti Nasionalis dari Penemu Mobil Listrik; Ricky Elson
Berada jauh dari ayah, tak membuat Titi melupakan imbauannya: menulis catatan harian dan membaca. Titi ingat, saat ayahnya belum masuk penjara, ia akan mengedit dan memberi masukan soal gaya bahasa penulisan yang baik. Meski itu hanya ditulis di buku harian.
“Sejak usia 8 diajari
mengetik 10 jari. Kalau Ayah kerja, saya di sebelahnya. Ada kalanya ikut bantu
kalau diminta. Saya selalu ikut setiap Ayah dinas di dalam atau luar kota.
Bukan Ibu. Saya ingat saya dansa dengan orang-orang Belanda yang tua.”
Pram berpesan kepada anak-anaknya agar menulis tentang
manusia. “Cerita tentang manusia tidak pernah ada habisnya.”
“Cerita tentang manusia tidak pernah ada habisnya.”
Baca juga beragam FEATURE atau SOSOK INSPIRATIF lainnya
Berangkat dari yang dekat
Pesan kepada anak-anaknya tersebut berangkat dari pengalaman pribadi Pram yang karya-karyanya juga dibuat berdasarkan kejadian di sekitarnya. Hal itu sempat dibuktikan Muhammad Iqbal dalam tulisan yang terbit di Tirto.
Di sana diberitakan bahwa novel perdana Pram, Sepuluh Kepala Nica,
ditulis ketika Pram bertugas sebagai perwira persuratkabaran yang bertugas
dalam masa-masa transisi kemerdekaan Indonesia.
Karya Perburuan dan Keluarga Gerilya ditulis ketika Pram ada di penjara. Pada 21 Juli 1947, Pram ditangkap setelah ketahuan membawa surat-surat yang isinya melawan birokrat Belanda.
Waktu itu, Pram bertugas
mencetak dan menyebarkan risalah dan majalah perlawanan terhadap pemerintah
kolonial. Setelah ditangkap, ia disiksa oleh aparat Belanda. Pram dibebaskan
pada 18 Desember 1949.
Baca juga CERPEN dan PUISI untuk menghibur dan memotivasi jiwa dan pikiranmu setelah seharian lelah beraktivitas, bekerja, atau belajar.
Bukan Pasar Malam, yang menurut budayawan Goenawan
Mohamad adalah karya terbaik Pram, ditulis sekembalinya Pram dari Blora untuk
menjenguk ayahnya yang sakit. Novel tersebut menyiratkan pengalaman Pram selama
menemani saat-saat terakhir sang ayah. Ketika mendapat kesempatan untuk sekolah
di Belanda, Pram menulis Midah Si Manis Bergigi Emas.
Judul-judul buku di atas adalah beberapa bukti bagaimana
karya-karya Pram berangkat dari peristiwa-peristiwa dan orang-orang yang dekat
dengan dirinya. Demikian pula yang terjadi dengan Cerita dari Blora dan karya
fiksinya yang paling fenomenal: Tetralogi Buru
yang meliputi Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, Rumah
Kaca.
Namun, kedekatan Pram dengan karyanya, paling terasa kala
menyimak beberapa karya non fiksi yang ia buat. Salah satunya adalah Nyanyi
Sunyi Seorang Bisu. Nyaris mustahil bila orang tidak terenyuh kala membaca
karya tersebut. Buku itu adalah kumpulan tulisan-tulisan harian Pram selama
ditahan di Pulau Buru.
Baca juga: Widji Thukul, dari Penjual Koran Hingga Menjadi Aktivis dan Sastrawan
Nyanyi Sunyi Seorang Bisu mulai ditulis saat Pram kembali mendapat izin menulis pada awal 1970-an. Kumpulan catatan harian tersebut ibarat suara hati penderitaan Pram sebagai ayah, tahanan politik, suami, pada masa pengasingan.
Pram membuka Nyanyi Sunyi Seorang Bisu dengan cerita tentang
bayangan kehidupan bahagia dari putri pertama yang baru menikah. Pram
menceritakan ulang momen anaknya meminta restu dan mencatat lagi pesan-pesan
yang ia sampaikan pada pasangan anaknya kala itu.
“Kau memasuki bulan madu. Aku juga pergi. Ke pembuangan.
Baca juga: Septinus George Saa; Kisah Sang Jenius dari Tanah Papua
Bagaimana harus dinilai? Karunia? Atau kutukan? Bila
orang tak dapat membebaskan diri dari waktu yang tiga dimensi: lalu, kini, dan
depan?”
“Kau memasuki bulan madu. Aku juga pergi. Ke pembuangan.
Bagaimana harus dinilai? Karunia? Atau kutukan? Bila orang tak dapat
membebaskan diri dari waktu yang tiga dimensi: lalu, kini, dan depan?”
Pada bab-bab berikutnya, Pram bercerita tentang perlakuan
tak manusiawi yang ia dan teman-teman sesama tahanan politik alami selama di
Pulau Buru.
Sepulang dari Pulau Buru, Titi bercerita bahwa Pram
berusaha menyelesaikan proyek Ensiklopedi Indonesia. “Ayah sudah susun sejak
1960. Waktu 1965 dihancurkan karena dianggap vandalisme. Tahun 1980 diterusin
lagi sampai Ayah meninggal.”
Sampai saat ini, ensiklopedia itu belum selesai digarap.
Kabar soal keinginan Pram membuat ensiklopedia ini kurang terekspos. Titi
berkata, selama hidup, Pram sesungguhnya berencana membuat dua jenis
ensiklopedia.
Selain Ensiklopedia Indonesia, Pram juga ingin membuat
ensiklopedia citrawi Indonesia. Namun
menurut Titi, proyek ensiklopedia citrawi Indonesia tidak bisa terus digarap.
Alasannya, hanya Pram yang bisa menyelesaikan itu. “Sebenarnya yang bikin Pak
Pram masuk Pulau Buru ya karena ensiklopedia itu,” ujar Titi yakin.
Baca juga beragam artikel Sudut Pandang dari berbagai tokoh berpengaruh, akademisi, dan para pemikir atau ahli
Semangat Penerus
Sampai saat ini Titi terus berupaya untuk melestarikan
karya-karya sang ayah. Ia tetap mengelola Lentera Dipantara, perpustakaan dan
usaha penerbitan ulang buku-buku Pram. Kini, Titi turut melibatkan seorang cucu
Pram sebagai pengelola perpustakaan tersebut. Regenerasi mungkin dirasa penting
agar semangat Pram terus eksis melintas zaman.
Ketika bertemu, Titi bercerita bahwa dirinya sudah seminggu belum bisa pulang ke rumah. Ia sibuk menemui orang-orang yang meminta berjumpa untuk membicarakan Pram. Ada sebuah sekolah yang ingin membuat pameran, ada yang ingin berjumpa untuk berdiskusi soal agenda-agenda kebudayaan, dan sebagainya.
Sebelum pandemi COVID-19, Titi bercerita dirinya
juga kerap pergi ke luar negeri untuk mengurus penerjemahan dan penerbitan buku
karya Pram di negeri orang. Rasanya minat publik terhadap karya Pram tidak
pernah berhenti.
Baca juga ragam artikel BUDAYA biar makin mencintai keberagaman yang ada di negeri kita tercinta, Indonesia.
Orang-orang yang menyukai ranah seni, seperti Happy
Salma, mengenang Pram dengan membuat pertunjukan teater berdasar karya Pram,
Bunga Penutup Abad pada tahun 2018. Demikian pula yang terjadi dengan Engel
Tanzil, pemilik Dialogue Artspace. Di tahun yang sama, ia menggelar dan
menguratori pameran bertajuk Namaku Pram.
Dalam pameran tersebut, Engel mencoba mengangkat karya
Pram yang belum banyak dilihat publik. “Banyak orang yang mengenal Pram lewat
tetralogi Bumi Manusia. Tetapi jarang yang tahu soal karya Pram yang bicara
tentang nasib para perempuan Indonesia di zaman perang.” kata Engel.
Baca juga: Rasuna Said Sang Singa Podium
“Banyak orang yang mengenal Pram lewat tetralogi Bumi Manusia. Tetapi
jarang yang tahu soal karya Pram yang bicara tentang nasib para perempuan
Indonesia di zaman perang.” kata Engel.
Oleh karena itu, ia menonjolkan karya non fiksi Pram
Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer.
“Saya juga ingin menghadirkan Pram sebagai manusia. Bukan
hanya sebagai penulis,” lanjut Engel. Oleh karena itu, ia menampilkan surat-surat
dari anak cucu Pram dan catatan-catatan harian. Pameran itu dan berbagai cara
orang mengenang dan merayakan Pram, membuat publik semakin bisa mengenal sosok
sang penulis dari berbagai sudut pandang.
Pada tahun 2019, Jurnal Ilmu Perpustakaan Vol.8 No.3 memuat tulisan karya Rena Rachmawati dan Lydia Christiani soal produktivitas karya Pram. Di situ tertulis bahwa selama hidup, Pram setidaknya memiliki 267 judul karya tulis baik berupa artikel, buku, puisi, karya terjemahan, maupun cerita pendek.
Baca juga: Rohana Kudus, Pejuang (Pendidikan) Perempuan dari Tanah Minang
Sepanjang usia 26-35 tahun, yakni pada 1951-1960, Pram menulis sekitar
107 karya. Rentang usia tersebut adalah rentang usia paling produktif Pram.
Menurut catatan Rachmawati dan Christiani, selama hidup,
Pram menulis 70 judul buku. Sebanyak 24 judul diterjemahkan ke dalam bahasa
asing. Bila ditotal, terdapat 139 judul buku terjemahan karya Pram yang terbit
di berbagai negara. Sebagian besar karya terjemahan terbit di Belanda. Buku
terlaris yang diterjemahkan adalah Tetralogi Buru.
Jumlah itu tidak mengherankan. Menurut catatan Tirto,
kedekatan Pram terhadap dunia tulis menulis terjadi sejak 1942 ketika ia
menjadi juru ketik di kantor berita Domei milik Jepang. Dari situ, Pram
konsisten menulis dan memupuk reputasi sebagai penulis tersohor.
Pada dekade 1940-1950-an, bakat dalam bidang kepenulisan
membuat Pram mendapat beasiswa untuk sekolah di luar negeri, diundang menjadi
anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra)—yang akhirnya membuat pram dianggap
sebagai bagian Partai Komunis Indonesia, dan diundang untuk menghadiri
seremoni-seremoni penulis tersohor dari luar Indonesia.
Baca juga: 15 Pahlawan Wanita di Indonesia
Sosok Pram juga kerap mendapat penghargaan dari
masyarakat internasional. Beberapa di antaranya adalah penghargaan Ramon
Magsaysay Award dari Filipina karena dianggap berjasa dalam bidang jurnalisme
dan sastra, UNESCO Madanjeet Singh Prize atas kontribusi dalam mempromosikan
nilai toleransi dan anti kekerasan, International P.E.N Award Association of
Writers Zentrum Deutschland, dan Fukuoka Cultural Grand Prize.
Pram juga sempat membuat beberapa organisasi seperti
badan kesusastraan Gelanggang Kesenian, agensi kesusastraan L&F Agency
Duta, membentuk delegasi seniman pada masa pemerintahan Soekarno, dan
mendirikan kelompok diskusi Simpat Sembilan, dan menjadi salah satu pendiri
Akademi Sastra Multatuli. Ia juga sempat menjadi panitia Asia African Writers
Conference. Pram juga pernah mengajar di Fakultas Sastra Universitas Res
Publica, Akademi Wartawan Dr. Abdul Rivai.
Meski tercatat sempat mendirikan dan mengikuti kegiatan
organisasi, Titi tetap yakin bahwa ayahnya adalah seorang individualis dan
bukan tipe orang yang cocok bekerja dalam kelompok. Di mata Titi, ayahnya tidak
bertetangga maupun tidak memiliki banyak teman. Mungkin bisa dikatakan bahwa
kawan Pram adalah tulisan. Lewat tulisan ia bisa bicara dan mengungkap
segalanya.
Baca juga: Perjalanan Soedirman Menjadi Seorang Panglima
Sampai saat ini Titi bercerita dirinya masih punya satu
keinginan yakni membuat museum Pram. Sebelum meninggal, Pram pernah berpesan
kepada Titi: “andaikata karya-karya saya terasa membebanimu, buang saja semua.”
“Andaikata karya-karya saya terasa membebanimu, buang saja semua.”
“Tapi kan saya sayang,” ujar Titi. Ia dan para pengagum
Pram akan terus menghidupkan semangat pria yang wafat pada 30 April 2006 silam
itu.
*Disarikan dari sumber-sumber kredibel dan dari sumber utama Indonesia Kaya