Melawan Kuasa Negara Kolonial

Melawan Kuasa Negara Kolonial yaitu pada periode sebelum abad ke-19 dan setelah abad ke-19

Apakah kalian pernah mendengar kalimat “Indonesia dijajah selama 350 Tahun?” bagaimana menurut kalian mengenai pernyataan tersebut? Apakah seluruh wilayah Indonesia memang telah dijajah selama 350 tahun? Jawabannya tidak sepenuhnya benar. Mengapa? Mari kita simak penjelasan berikut.

Kedatangan Belanda pada awalnya tidak dilandasi oleh keinginan untuk menguasai seluruh wilayah Nusantara. Ketika ambisinya berubah untuk menegakkan sebuah negara koloni, muncul gelombang perlawanan dari penduduk lokal. Perjuangan melawan dominasi kekuasaan Belanda di Indonesia melalui masa yang sangat panjang. 

Sebelum abad ke-20, gagasan mengenai NKRI belum dikenal, sehingga perlawanan rakyat lebih bersifat kedaerahan. Mereka berjuang untuk melawan dan mengusir penjajah dengan dipimpin oleh tokoh masyarakat yang disegani di daerah masing-masing. Umumnya, perlawanan tidak terorganisir dengan baik. 

Baca juga kumpulan Materi Sejarah Kelas XI

Seringkali penjajah menggunakan strategi devide et impera (politik adu domba) sehingga tidak jarang bumi putera menderita kekalahan. Dalam rentang waktu ini perlawanan rakyat terhadap kolonialisme lebih bersifat perang senjata.

Perjuangan rakyat Indonesia yang dipimpin oleh penguasa-penguasa lokal dalam melawan kolonialisme dapat digolongkan menjadi dua periode yakni periode sebelum abad ke-19 di mana rakyat menghadapi VOC (dibubarkan pada akhir abad ke-18 yakni tahun 1799) dan periode setelah abad ke-19, menghadapi pemerintah Hindia Belanda.

Baca juga beragam artikel Sejarah di Indonesia

Periode Sebelum Abad Ke-19

Perlawanan terorganisir di Pulau Jawa dimulai sejak tahun-tahun awal kepindahan pusat pemerintahan VOC dari Ambon ke Batavia. Kesultanan Mataram dan VOC sempat mengirimkan utusan untuk berdiplomasi. Hubungan yang awalnya baik itu, dalam perkembangannya berjalan tidak harmonis.

Sultan Agung yang mengharapkan bantuan dalam penyerangannya ke Surabaya ternyata tidak mendapat dukungan dari VOC. Faktor lain adalah bahwa kehadiran VOC di Batavia sering kali menghalangi kapal dari Mataram yang akan melakukan perdagangan ke Malaka. 

Hal ini menjadikan dorongan yang kuat untuk dapat mengusir VOC dari tanah Jawa. Ia pun mulai menyerang Batavia tahun 1628 namun serangan pertama tidak berhasil hingga menggugurkan 1000 prajuritnya. 

Baca juga beragam CERPEN atau PUISI untuk menghibur dan memotivasi jiwa serta pikiranmu setelah seharian beraktivitas, bekerja, dan belajar.

Setahun berselang, Sultan Agung menyiapkan serangan keduanya. Namun penyerbuan yang dilakukan pada Agustus-Oktober 1629 pada akhirnya juga mengalami kegagalan karena ketika itu terjadi wabah kolera dan malaria.

Gudang-gudang perbekalan untuk perang Kesultanan Mataram juga dibakar musuh sehingga persediaan makanan tidak mencukupi dan pasukannya juga kalah dalam hal persenjataan.

Serupa dengan Kesultanan Mataram, perjuangan rakyat Banten terhadap VOC bermula sejak kongsi dagang ini menguasai Batavia (Jayakarta). Kesultanan Banten dan VOC saling bersaing untuk menjadi bandar dagang internasional di wilayah Selat Sunda ini. Sikap VOC juga menunjukkan usaha untuk menggoyahkan politik kekuasaan Kesultanan Banten.

Baca juga artikel SOSOK dan PSIKOLOGI yang akan menghadirkan banyak inspirasi dan motivasi dalam melakoni hidupmu.

Akhirnya Sultan Banten, Sultan Ageng Tirtayasa melakukan perlawanan dengan bekerjasama dengan saudagar asing lainnya, yakni bangsa Inggris. Penyerangan langsung kepada kapalkapal VOC di perairan Banten dilakukan oleh Sultan Ageng Tirtayasa antara tahun 1658-1659 serta wilayah-wilayah yang berbatasan dengan Batavia (Angke dan Tanggerang).  

Sementara itu kekuasaan di Kesultanan Banten diserahkan kepada Sultan Abdul Khahar Abunazar atau Sultan Haji. Hal tersebut kemudian dimanfaatkan oleh VOC untuk melancarkan politik adu domba (devide et impera) yang pada akhirnya dapat mengalahkan perlawanan Sultan Ageng Tirtayasa dan VOC dapat menguasai perdagangan di pesisir Jawa.

Perjuangan dari wilayah Indonesia Timur untuk melawan penjajah dilakukan oleh Kesultanan Gowa-Tallo yang dipimpin oleh Sultan Hasanuddin. Konflik diawali dengan pelucutan dan perampasan armada VOC di Maluku diawali dengan pelucutan dan perampasan armada VOC di Maluku hingga pecahlah Perang Makasar pada 1669.

Baca juga beragam artikel Sudut Pandang dari berbagai tokoh berpengaruh, akademisi, dan para pemikir atau ahli.

Sejak 1660 VOC memang berambisi untuk menguasai wilayah pelabuhan Somba Opu. Dalam perlawanan ini Kesultanan GowaTallo bersekutu dengan Wajo sedangkan VOC bersekutu dengan Raja Bone, Arung Palakka yang pada waktu itu sedang berseteru dengan Kesultanan Gowa.

Perjanjian Bongaya adalah perjanjian yang mengakhiri perlawanan Kesultanan Gowa-Tallo dengan VOC. Kesultanan Gowa diwakili oleh Sultan Hasanuddin dan wakil VOC adalah Cornelis Speelman.

Baca juga: Bertumbuh dengan Merelakan

Meski disebut perjanjian damai, isi sebenarnya adalah deklarasi kekalahan Gowa dari VOC serta pengesahan monopoli perdagangan sejumlah barang di pelabuhan-pelabuhan yang dikuasai oleh Kesultanan Gowa (Kemendikbud & ANRI, 2020)

Periode Setelah Abad Ke-19

Pada penghujung abad ke-19, VOC dibubarkan dan penguasaan negara-negara koloni berada di bawah langsung pemerintah Belanda. Namun perubahan tersebut tidak kemudian mengubah praktik kolonialisme di Indonesia bahkan lebih eksploitatif.

Maluku adalah wilayah perdagangan rempah-rempah yang sudah diperebutkan oleh bangsa Eropa sejak abad ke-15. Memasuki abad ke-19 rakyat Maluku berjuang untuk melawan penjajah karena tidak ingin orang Belanda kembali menguasai wilayah ini. 

Baca juga artikel KEBAHASAAN agar dalam menulis dan berbicara makin jago.

Ketika Inggris di bawah Raffles berkuasa di Hindia Belanda, praktik monopoli dagang dan kerja rodi tidak pernah diterapkan. Namun, setelah penandatanganan Traktat London pada 1817, Belanda kembali memberlakukan praktik monopoli perdagangan cengkeh dan kerja rodi. 

Pemuda Maluku dipaksa untuk menjadi tentara yang bertugas di Jawa. Thomas Matulessy atau Kapitan Pattimura bersama dengan panglima perang perempuan Martha Christina Tiahahu kemudian melaksanakan serangan dalam rangka menentang kebijakan Belanda. 

Keduanya terlibat beberapa kali pertempuran hebat yang berhasil menguasai Benteng Duurstede yang dibangun Belanda. Namun akhirnya perjuangan mereka harus berakhir setelah berhasil ditangkap.

Baca juga ragam artikel tentang BUDAYA

Pattimura kemudian dihukum gantung pada Desember 1817, sedangkan Martha Christina Tiahahu dalam perjalanannya untuk menjalani pengasingan akhirnya wafat di atas perahu karena menolak makan dan obat dari Belanda.

Perlawanan rakyat Jawa di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur dipimpin oleh Pangeran Diponegoro pada 1925-1930. Perlawanan ini merupakan perlawanan paling sulit yang pernah dihadapi Belanda di Tanah Hindia. Alasannya karena perlawanan Pangeran Diponegoro mendapat banyak dukungan seperti kaum ulama, pihak istana bahkan rakyat Yogyakarta.

Dilatarbelakangi oleh tindakan Belanda memasang patok-patok jalan yang melewati makam leluhur Pangeran Diponegoro ditambah dengan tindakan sewenang-wenang Belanda kepada penduduk pribumi.

Baca juga beragam TIPS biar hidupmu ngga gitu-gitu aja.

Untuk dapat meredam perlawanan Pangeran Diponegoro, Belanda menggunakan siasat perang Benteng Stelsel pada 1927. Caranya adalah mendirikan Benteng di setiap daerah yang dapat dikuasai untuk kemudian mengawasi daerah sekitarnya.

Pasukan gerak cepat menjadi andalan Belanda untuk dapat menghubungkan satu benteng dengan benteng lainnya. Akan tetapi taktik Benteng Stelsel tidak mampu menahan perlawanan dari pasukan Diponegoro. 

Akhirnya Belanda menggunakan tipu muslihat untuk dapat menangkap Pangeran Diponegoro. Dengan iming-iming untuk mengadakan perundingan damai, Belanda secara licik menangkap Pangeran Diponegoro di Magelang.

Baca juga ragam artikel tentang Profil Pelajar Pancasila

Dampak dari penangkapan itu adalah semakin melemahnya gerak pasukan Diponegoro. Meskipun demikian, Belanda justru mengalami kerugian karena bukan hanya menguras tenaga, perang pun mengeluarkan biaya yang sangat banyak.

Perlawanan rakyat terhadap Belanda di Pulau Sumateradiantaranya terjadi di Palembang, dipimpin oleh Sultan Mahmud Badaruddin. Perlawanan terjadi karena ambisi Belanda yang ingin menguasai Palembang khususnya Kepulauan Bangka Belitung.

Wilayah ini memang memiliki letak yang strategis dengan kekayaan alam yang melimpah. Penyerangan dilakukan ke benteng-benteng pertahanan Belanda. Ketika terjadi pergantian kekuasaan akibat Perjanjian Tuntang, Inggris memfokuskan perhatiannya ke Pulau Jawa.

Baca juga ragam artikel tentang KURIKULUM MERDEKA

Hal ini kemudian dimanfaatkan oleh Sultan dengan menyerang sisa garnasium Belanda di Palembang. Akan tetapi setelah Palembang berhasil dikuasai kembali oleh Belanda, Sultan Mahmud Badaruddin ditangkap dan diasingkan ke Ternate.

Selanjutnya adalah perlawanan rakyat Sumatera Barat atau dikenal dengan Perang Padri tepatnya di wilayah Kerajaan Pagaruyung. Perang ini berawal dari konflik internal masyarakat Minangkabau yakni golongan adat dan kaum Padri (golongan ulama).

Kaum Padri ingin menghentikan kebiasaan kaum adat yang sering melakukan judi, sabung ayam dan mabuk-mabukan. Perseteruan bermula tahun 1803 dan berakhir dengan kekalahan Kaum Adat pada 1838. Kondisi ini dimanfaatkan Belanda untuk melancarkan politik devide et impera.

Baca juga beragam artikel tentang DAPODIK & KURIKULUM serta SELUK BELUM DUNIA PENDIDIKAN

Belanda bekerjasama dengan Kaum Adat Belanda melawan Kaum Padri dengan tujuan ingin menguasai wilayah Sumatera Barat. Tuanku Imam Bonjol adalah tokoh yang memimpin Kaum Padri. Perang Padri berlangsung antara tahun 1821 hingga 1838.

Dalam perkembangan selanjutnya Tuanku Imam Bonjol dapat mengajak Kaum Adat untuk menyadari tipu daya Belanda dan bersatu menghadapi pemerintah kolonial Belanda.

Perjuangan rakyat Tapanuli, Sumatera Utara melawan penjajah dilancarkan di bawah kepemimpinan Raja Sisingamangaraja XII pada 1870-1907. Perlawanan ini didasari karena pemerintah kolonial Belanda membentuk Pax Neerlandica atau ambisi Belanda untuk menguasai Nusantara dengan menjajah wilayah Tapanuli.

Baca juga Seni Berbicara

Perlawanan yang dilakukan oleh rakyat Bali bermula karena tindakan protes Belanda terhadap kebijakan Kerajaan Bali yang disebut Hak Tawan Karang. Aturan tersebut memberikan hak kepada kerajaan-kerajaan Bali untuk mengambil dan merampas muatan kapal asing yang terdampar di Perairan Bali.

Namun, protes Belanda kepada penguasa lokal di Bali tidak membuahkan hasil. Hak Tawan Karang tetap berlaku sehingga memicu terjadinya Perang Puputan Margarana atau perang habis-habisan antara kerajaan-kerajaan Bali yang dipimpin I Gusti Ketut Jelantik melawan bangsa kolonial Belanda.

Perlawanan rakyat di Kalimantan dikenal dengan Perang Banjar pada 1859-1905. hal ini terjadi karena monopoli perdagangan Belanda di Kalimantan sangat merugikan pedagang pribumi. 

Baca juga Mengenal Gangguan Kecemasan Lebih Dekat

Beban pajak dan kewajiban rodi terhadap rakyat yang memberatkan dan intervensi Belanda terhadap urusan internal Kerajaan Banjar membuat rakyat ingin melakukan perlawanan. Pemimpin perlawanan ini yakni Pangeran Antasari yang merupakan sepupu Pangeran Hidayatullah. 

Ia berkali-kali memimpin serangan terhadap Belanda. Pasukannya berhasil menyerang pos-pos pertahanan Belanda dan benteng Belanda di Tabanio hingga menenggelamkan kapal-kapal Belanda. Ia mendapatkan julukan Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin yang diberikan oleh para pengikutnya.

*Disarikan dari sumber-sumber literatur yang kredibel.

Ruang Literasi dan Edukasi

Post a Comment

© Untaian Abjad. All rights reserved. Developed by Jago Desain