Yogyakarta memiliki tempat tersendiri di hati penulis
buku Barista Tanpa Nama (2018), Agus Noor. Bergaul dalam lingkungan seniman di
Kota Gudeg tersebut secara tidak langsung membentuknya untuk berpikir di luar
kebiasaan.
“Jogja itu apa-apa bisa jadi lelucon, apapun
dibercandain. Lelucon itu bukan sekadar lucu ya, tapi memandang suatu persoalan
secara berbeda. Sesuatu yang kita anggap biasa bisa jadi menarik dari kacamata
lelucon,” ujar pria lulusan Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni Indonesia
(ISI), Yogyakarta ini.
Baca juga: Mengenal Lebih Dekat AA Navis: Sastrawan, Kritikus Budaya, dan Politikus Indonesia
Hidup dalam lingkungan seniman juga mendidiknya untuk
memiliki jiwa “memberontak”, tak terkecuali kritis terhadap kebijakan-kebijakan
rezim. Namun ia sadar bahwa ada keterbatasan dalam menyampaikan kritik.
“Kita tidak boleh berkonfrontasi langsung dalam mengkritik,
tapi lebih kepada menyindir. Kalau di Jawa istilahnya pasemon, begitu ya begitu
tapi jangan dinyatakan begitu. Ngomongnya mlipir, tapi orang kemudian mengerti
yang dimaksud,” kata penulis skrip program televisi Sentilan Sentilun ini.
Baca juga: Kisah Uwai Al Qorni, Pemuda Miskin yang Terkenal di Langit
Menyikapi Tekanan dan Kebebasan
Lahir di tahun 1968, Agus merasakan pengalaman berkarya
yang berbeda-beda di setiap era pemerintahan, dimulai dari Orde Baru. Kala itu,
tekanan-tekanan vertikal dalam menyatakan kritik dan pendapat begitu terasa,
terlebih ia juga aktif dalam pergerakan mahasiswa.
Walau demikian, hal itu justru membuatnya bergairah untuk
menulis. Dari situlah lahir karya-karya satir sosial-politiknya. Salah satunya
buku Bapak Presiden yang Terhormat (1998), yang saat itu disensor dengan
diberikan judul berbeda, yaitu Peang.
Dari masa ke masa, tekanan tidak hilang, hanya berubah
bentuk. Bila dulu vertikal, kini horizontal akibat adanya segregasi sosial yang
tajam. Menyikapi tekanan-tekanan tersebut, pria kelahiran Tegal ini punya cara
khusus jika ingin menyampaikan kritik.
Baca juga: Maulana Jalaludin Rumi
“Kritik tak sekadar disampaikan, tapi diparodikan, diberi
konteks tertentu agar situasi yang kita bicarakan jadi lebih kocak. Artinya,
kita harus bersiasat. Kritik kita harus sampai tapi tidak konyol,” Agus memberi
saran.
Meski kini orang bisa berpendapat secara lebih bebas, bukan berarti menjadi liar. Ia menjelaskan, “Kebebasan menyatakan pendapat itu penting dan harus dijaga. Dijaga itu kita menyatakan pendapat dengan cara-cara yang elegan. Jangan sampai itu (kebebasan berpendapat) dicabut lagi.”
Baca juga: Widji Thukul, dari Penjual Koran Hingga Menjadi Aktivis dan Sastrawan
Penulis Produktif dan Serbabisa
Banyak menulis sindiran sosial-politik, Agus tak ingin
dikotak-kotakkan.
“Saya tidak ingin menjadi penulis yang bisa
dideskripsikan. Saya memperluas tema, terbuka akan banyak hal, karena saya
memang gak pengin berhenti di satu (gaya penulisan). Eksperimen-eksperimen itu
membuat saya tidak bosan ketika menulis,” ucap Agus.
Variasi gaya penulisan tersebut diterapkan Agus Noor
dalam berbagai bentuk karya sastra, seperti cerpen (cerita pendek), prosa,
puisi, naskah lakon, serta skenario televisi.
Hal tersebut tampaknya cukup efektif dan berhasil,
melihat banyak dari buku-bukunya yang menjadi best-seller dari tahun ke tahun,
seperti Memorabilia (2000), Selingkuh Itu Indah (2001), Sepotong Bibir Paling
Indah di Dunia (2007), Ciuman yang Menyelamatkan dari Kesedihan (2010), Cerita
buat Para Kekasih (2014), Cinta Tak Pernah Sia-sia, dan Barista Tanpa Nama
(2018).
Baca juga: Septinus George Saa; Kisah Sang Jenius dari Tanah Papua
Ketika ditanya strateginya untuk terus produktif menulis,
Agus menjawab.
“Pertama, saya menginventaris ide-ide. Kalau ada sesuatu
yang menarik, misalnya satu kata atau kalimat, bahkan karakter orang, saya
catat.
Kedua, perbanyak bacaan, seluas-luasnya,
seragam-ragamnya. Begitu kita sudah punya amunisi dengan bacaan dan ide-ide,
kita bisa langsung menulis dengan cepat.
Ketiga, saya memaksakan diri menulis apapun. Dulu waktu
awal-awal saya menargetkan satu hari 5-7 jam. Gak mesti jadi, yang penting jangan
tergoda untuk gampang pergi.”
Baca juga: Rasuna Said Sang Singa Podium
Bertahan dan Mengembangkan Karier
Untuk menjadi seorang penulis yang bertahan dalam karier,
Agus mengatakan bahwa seseorang harus menjadikan menulis sebagai sesuatu yang
ia pilih.
“Pahit-getir, gagal-berhasil, apapun yang terjadi, ini
dunia dan profesi yang saya pilih. Maka kemudian itu (menulis) menjadi sesuatu
yang diperjuangkan,” ucap sastrawan yang sering bolak-balik Yogyakarta–Jakarta
karena pekerjaan tersebut.
Setelah memilih, seseorang harus tahu tujuannya menulis.
“Itu pertanyaan dasar, tapi menentukan. Saya menulis karena ingin membebaskan
diri dari kegilaan. Saya butuh mengekspresikan diri. Kalau tidak, saya bisa
sakit jiwa. Tujuan itu harus diketahui dulu, karena setiap orang berbeda-beda,”
ujarnya.
Baca juga: Rohana Kudus, Pejuang (Pendidikan) Perempuan dari Tanah Minang
Seolah tak cukup menjadi penulis serbabisa, personel
Teater Gandrik ini juga menjadi creative director untuk banyak pertunjukan
musik dan teater.
Bersama Butet Kartaredjasa dan Djaduk Ferianto, ia
menggagas Indonesia Kita, komunitas yang pertunjukan-pertunjukannya bertujuan
mengedukasi publik tentang pluralisme dalam Indonesia. Tak sulit bagi Agus
untuk melompat ke bidang pekerjaan tersebut, mengingat latar belakang
pendidikannya di Jurusan Teater.
“Prinsipnya juga menulis. Creative director sebenarnya
juga menuliskan kisah atau adegan dalam panggung, hanya lebih kompleks. Ketika
menulis buku saya tidak mempertimbangkan aspek-aspek lain, tapi kalau ini saya
harus mempertimbangkan aspek-aspek produksi, siapa pemainnya, dan lain-lain,”
jelas Agus.
Baca juga: Perjalanan Soedirman Menjadi Seorang Panglima
Baginya, menjadi seorang penulis tidak berarti harus
mengurung diri dan tertutup.
“Jangan menganggap pergi ke tempat lain itu cuma
refreshing, tidak mengerjakan sesuatu. Misal, ketika ngopi-ngopi kan kita
refresh pikiran, mencoba mendengar, membual, yang herannya malah bisa jadi
cerita. Ketika bertemu dengan seniman, proses sharing-sharing itu juga kita
sedang bekerja. Penulis tidak bisa hidup sendirian, harus ada partner,
komunitas, atau lingkungan untuk mengembangkan diri,” kata Agus, menutup
perbincangan.
Baca juga beragam FEATURE dan SOSOK INSPIRATIF lainnya.
Ditulis oleh Swasti Triana Chrisnawati. Foto dari Arif
Hidayat
*Disarikan dari sumber-sumber kredibel dan dari sumber utama Indonesia Kaya