Leila Salikha Chudori adalah orang yang menggoreskan pena
untuk cerita tersebut. “Pulang” terbit pada tahun 2012 dan menjadi karya yang
fenomenal. Novel ini telah diterbitkan ke lima bahasa di seluruh dunia. Maka
tak heran jika “Pulang” ikut diboyong ke Frankfurt Book Fair 2015 ketika
Indonesia menjadi tamu kehormatan.
“Aku lahir di sebuah tanah asing. Sebuah negeri bertubuh cantik dan harum bernama Prancis. Tetapi menurut Ayah darahku berasal dari seberang benua Eropa, sebuah tanah yang mengirim aroma cengkih dan kesedihan yang sia-sia. Sebuah tanah yang subur oleh begitu banyak tumbuh-tumbuhan, yang melahirkan aneka warna, bentuk, dan keimanan, tetapi malah menghantam warganya hanya karena berbeda pemikiran…”
Baca juga: Mengenal Lebih Dekat AA Navis: Sastrawan, Kritikus Budaya, dan Politikus Indonesia
Penggalan kisah di atas datang dari tokoh bernama Lintang
yang tertera dalam buku berjudul “Pulang”.
Lintang adalah anak dari seorang eksil politik yang tak bisa pulang ke
Tanah Air akibat peristiwa 30 September 1965. Namun karena harus membuat film
dokumenter tentang negeri bernama Indonesia, ia pun terbang ke sana,
menyelesaikan tugas dan mencari jati dirinya.
Leila Salikha Chudori adalah orang yang menggoreskan pena untuk cerita tersebut. “Pulang” terbit pada tahun 2012 dan menjadi karya yang fenomenal. Novel ini telah diterbitkan ke lima bahasa di seluruh dunia. Maka tak heran jika “Pulang” ikut diboyong ke Frankfurt Book Fair 2015 ketika Indonesia menjadi tamu kehormatan.
Baca juga: Kisah Uwai Al Qorni, Pemuda Miskin yang Terkenal di Langit
Tak hanya buku, karya lain berupa skenario film telah
berhasil ia garap. Leila adalah orang di balik cerita “Dunia Tanpa Koma”,
sinetron yang mengungkap sisi lain kehidupan dari para jurnalis. Ia juga
menggarap skenario film berjudul “Drupadi”. Namun cerita Drupadi yang Leila
angkat bukan berasal dari versi Jawa, melainkan versi India.
Dari banyak karya yang telah dihasilkan, nampaknya Leila
tak bisa melepas profesinya sebagai jurnalis. Sudah puluhan tahun hidupnya ia
habiskan sebagai seorang pemburu berita. Baginya, pilihan tersebut adalah
pengaruh dari sang ayah, yang juga merupakan seorang wartawan senior kala itu.
Masa kecil Leila memang begitu lekat dengan kehidupan jurnalis.
Baca juga: Maulana Jalaludin Rumi
Leila mengakui bahwa hobinya membaca dan menulis sudah
tumbuh sejak kecil. Dua hal tersebut memang telah ditanamkan dalam-dalam oleh
kedua orangtuanya. Ia tak pernah absen membaca majalah, koran, atau buku yang
populer di masa itu. Cerita dongeng dari orangtuanya pun tak pernah luput dari
masa kecilnya. Bahkan di tengah minimnya hiburan, ia beserta keluarga memilih
toko buku sebagai sarana rekreasi lainnya.
“Selain pangan, sandang dan papan, membaca itu kebutuhan
rohani keluarga saya dari dulu. Membaca jadi bagian hidup kita,” tutur Leila
seraya mengenang masa kecilnya.
Selain buku, rupanya Leila juga sering dikenalkan dengan
kesenian seperti tari dan teater. Tak ada alasan baginya untuk tidak mengetahui
banyak hal walau kehidupan keluarganya kala itu sangat sederhana. Bahkan sejak
Sekolah Dasar, Leila harus mengetahui banyak hal tentang politik. Sang ayah
akan kecewa jika ia beserta kakaknya tidak banyak tahu tentang isu yang sedang
populer saat itu.
Baca juga: Mengenal Sosok Dahlan Iskan Lebih Dekat
“Sekolah saya juga dulu bagus sekali. Kita didorong untuk
menulis dan mengirim karya ke majalah-majalah yang terkenal,” ujar Leila yang
karya pertamanya dimuat di majalah “Si Kuncung” saat ia masih genap berusia 12
tahun.
Barulah ketika beranjak ke Sekolah Menengah Atas (SMA)
dan universitas, kedua orangtua Leila menyerahkan sepenuhnya kesempatan untuk
memilih. Leila pun meneruskan pendidikannya ke Kanada dan mengambil studi
Political Science dan Comparative Development Studies. Baginya, pilihan untuk
mengambil studi humaniora adalah modal kuat agar bisa menjadi seorang jurnalis
yang andal.
Baca juga: Belajar Arti Nasionalis dari Penemu Mobil Listrik; Ricky Elson
Berkutat di Dunia Menulis
Leila mengaku sempat heran sekaligus kagum ketika
ingatannya terlempar pada pengalaman pahit selama menjadi jurnalis. Saat masa
Orde Baru, media tempatnya bekerja memang sempat dibredel. Namun Leila merasa
bangga karena ia beserta teman-temannya bisa bertahan hingga kini.
Setelah puluhan tahun menjadi jurnalis, Leila akhirnya
melahirkan karya berupa buku. “Ini berkat anak saya,” terangnya. Bagaimana
tidak, sang anak ingin Leila terus menulis karena ia percaya sang ibu akan
menjadi penulis yang terbaik. Karyanya yang berjudul “9 dari Nadira” dan “Malam
Terakhir” pun terbit pada tahun 2009 dan disusul dengan “Pulang” setelah empat
tahun riset di berbagai tempat.
Baca juga beragam FEATURE atau SOSOK INSPIRATIF lainnya
“Saya menulis karena ‘ada cerita’, tidak ingin ada beban
untuk membangun revolusi atau membuat dunia berubah. Bahwa kemudian nantinya
ada persoalan human rights atau lainnya, itu akan inheren dengan sendirinya,”
tutur Leila. Ya, baginya menulis adalah menceritakan gagasan. Ia yakin bahwa
ada sesuatu di belakang tulisannya yang kelak akan terasa dengan sendirinya.
Leila juga tak pernah merasa bahwa isu komunisme yang ia
angkat di dalam novelnya itu begitu sensitif. Ia hanya menceritakan apa yang ia
saksikan ketika berada di Eropa, yakni ketika bertemu para tahanan politik yang
terjebak dan tak bisa pulang di negeri orang. “Suatu saat saya harus menulis
tentang mereka,” kalimat itulah yang sepintas ada di benaknya.
Seperti sastrawan lainnya, Leila juga memiliki begitu
banyak orang yang menjadi inspiratornya. Ibu dari satu anak ini mengaku bahwa
ia sudah membaca karya Charles Dickens saat usianya masih sangat dini. Orang
yang menginspirasi lainnya juga datang dari Orhan Pamuk, Alice Munro dan masih
banyak lagi.
Baca juga CERPEN dan PUISI untuk menghibur dan memotivasi jiwa dan pikiranmu setelah seharian lelah beraktivitas, bekerja, atau belajar.
“Saya suka dengan story-telling mereka. Ketika mereka
tidak bisa membuat saya berhenti membaca buku mereka, itu yang saya suka,”
jelas Leila.
Hingga kini Leila masih berkutat di dunia menulis. Namun
ia hanya ingin fokus pada bidang yang disukainya, yaitu jurnalistik. Bagi
Leila, jurnalis adalah prioritas utama yang tak bisa ia tinggalkan. Perempuan
kelahiran 1962 ini juga mengaku masih harus menggali dunia jurnalistik yang
begitu ia cintai.
Baca juga: Widji Thukul, dari Penjual Koran Hingga Menjadi Aktivis dan Sastrawan
“Jurnalisme itu luas sekali dan masih banyak yang harus digali. Dunia ini harus saya tuntaskan dulu,” kata Leila yang pernah mewawancarai orang besar seperti Nelson Mandela, Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad, dan yang lainnya. Saat ini pun ia sedang berencana untuk kembali mewawancara tokoh lainnya.
Namun kecintaan Leila dengan dunia literasi selalu membuka dirinya untuk menciptakan karya baru. Selain melakukan riset untuk novel “Namaku Alam” yang merupakan bagian dari trilogi “Pulang”, Leila juga sedang mengerjakan novel lain berjudul “Laut Bercerita” berlatar belakang tahun 1998. Sebuah gambaran bahwa semangat yang hadir dari ketulusan menulis, pada akhirnya akan menciptakan karya yang luar biasa.
Baca juga: Septinus George Saa; Kisah Sang Jenius dari Tanah Papua
Ditulis oleh Adinda Nurrizki. Foto dari Adi Nugroho
*Disarikan dari sumber-sumber kredibel dan dari sumber utama Indonesia Kaya