Masalah kesejahteraan guru masih jadi pekerjaan rumah
(PR) besar pemerintah yang tak kunjung dirampungkan. Hingga kini, masih banyak
guru-guru non ASN yang digaji alakadarnya.
Ana Paji Jiara, 44, misalnya. Ia harus berjuang di tengah
keterbatasan. Di sekolah dia mengajar generasi muda bangsa untuk masa depan
mereka. Dirinya tak pernah mempersoalkan seberapa besar gaji yang diterima.
Sementara di rumah, dia harus bertani dan beternak untuk menopang hidup
keluarganya sebagai orang tua tunggal.
Ana telah mengajar selama 16 tahun di SD Inpres Wunga,
Kecamatan Haharu, Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT). Honornya
memang sudah mencapai Rp 2,9 juta. Ini ia terima sejak diangkat menjadi PPPK
Juni 2023.
Baca jugar ragam informasi dan pemikiran tentang pendidikan di rubrik SELUK BELUK DUNIA PENDIDIKAN
Angka ini sudah sangat disyukuri. Mengingat dulu di awal
mengajar, pada 2004, gajinya hanya puluhan ribu. ”Kami hanya diberi ‘uang
sabun’ atau uang belas kasihan oleh kepala sekolah, Rp 20 ribu sampai Rp 50
ribu setiap bulan,” kenangnya. Lalu, naik menjadi Rp 300 ribu di 2018 hingga
dikontrak oleh daerah dan menjadi ASN PPPK.
Saat itu, Ana yang tamatan SMA Kristen Payeti di Waingapu diminta untuk membantu mengajar. Karena, SD Inpres Wunga kekurangan guru. Hanya ada dua guru yang mengajar waktu itu.
Kebetulan, perempuan lulusan tahun 2000
ini sudah empat tahun ini hanya di rumah bertani dan pelihara babi untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari. ”Waktu itu hanya dua guru yang mengajar di
sini. Lalu saya dan tiga teman dipanggil untuk bantu mengajar,” ungkapnya.
Baca juga: Kiat Menuju Hidup Bahagia
Di awal mengajar, dia benar-benar harus berjuang di tengah keterbatasan. Dia harus berjalan kaki ke sekolah yang berjarak 3 kilometer dari rumahnya setiap hari. Dia tak pernah mengeluh.
Bahkan, dia mau mengembangkan diri. Untuk bisa mengajar siswa-siswanya lebih baik lagi, Ana pun memberanikan diri untuk sekolah kembali. Dia mengambil kuliah jurusan pendidikan di Universitas Terbuka pada 2016.
Jadi, sembari mengajar, bertani,
dan beternak, dirinya masih harus kuliah jarak jauh.
Baca juga: Makna Eling Nalika Lara Lapa dan Makna Rila Lamun Ketaman, Ora Getun Lamun Kelangan
”Tapi sekarang sudah lebih baik. Tidak perlu lagi
berjalan kaki ke sekolah. Ada motor,” tuturnya. Ya, setelah 14 tahun berjalan
kaki menuju sekolah, pada 2018, dia berhasil membeli sebuah motor bekas seharga
Rp 5,4 juta dari hasil menjual babi.
Bukan hanya kuliah, Ana pun mau mengikuti pelatihan
mengajar dari Yayasan Sulinama dengan Inovasi untuk Anak Sekolah Indonesia
(INOVASI). INOVASI sendiri merupakan kemitraan antara pemerintah Australia dan
Indonesia.
Dalam pelatihan dengan tema Program Literasi Dasar
Berbahasa Ibu, Ana mendapat ilmu pedagogi dan penyampaian materi bagi kelas
bawah di sekolah dasar. Dia pun mendapat pendampingan dalam mengajar selama
pelatihan berlangsung.
Baca juga CERPEN dan PUISI untuk menghibur dan memotivasi jiwa dan pikiranmu setelah seharian lelah beraktivitas, bekerja, atau belajar.
Ana mengaku seolah menjadi guru sesungguhnya setelah mendapatkan pendampingan ini. Dia dilatih cara menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar pembelajaran.
Di mana, sebetulnya, anak-anak di sana
masih ketergantungan dengan bahasa ibu ketimbang bahasa Indonesia. Selain itu,
ada juga pelatihan cara mengajar, mengenal huruf, dan menggabung huruf.
”Sebelum adanya program ini, kami hanya mengajar abjad a,
i, u, e,o saja setiap hari kepada siswa. Jadi, anak-anak bosan dan lambat
mengerti karena pakai bahasa Indonesia waktu mengajar,” jelasnya.
Baca juga beragam artikel Sudut Pandang dari berbagai tokoh berpengaruh, akademisi, dan para pemikir atau ahli
Diakuinya, siswa-siswi di sekolahnya memang lebih banyak menggunakan bahasa Kambera (bahasa asli setempat) dalam berkomunikasi sehari-hari. Hampir 70 persen dari mereka bergantung pada bahasa ibu ini, apalagi mereka yang berada di kelas bawah.
Sebab, para siswa sejatinya berasal
dari kampung-kampung di sekitar sekolah. Antara lain dari kampung Walakari,
Tanarara. Lalu, ada juga siswa dari Desa Talicu, desa terjauh dengan jarak 5
kilometer dari sekolah.
Karenanya, usai mendapat pelatihan, dia lebih percaya diri menggunakan bahasa daerah sebagai pengatar pembelajaran. Biasanya, dia akan mengajar menggunakan bahasa Kambera dulu, sebelum kemudian dicampur dengan bahasa Indonesia.
Pengalaman selama ini memang anak-anak lebih bisa menjawab
kalau memakai bahasa daerah.
Baca juga ragam artikel tentang SOSOK yang akan menginspirasi dirimu.
Menyisipkan bahasa Indonesia dinilainya tetap penting. Dengan begitu, saat di kelas tinggi, mereka bisa memahami berbagai pengetahuan yang tersedia dalam bahasa Indonesia.
Namun, penggunaan bahasa ibu untuk memberikan pemahaman konsep pembelajaran juga terbukti berhasil membuat siswa-siswinya lebih mengerti pelajaran yang diberikan.
Selain itu, anak-anak
pun lebih percaya diri dalam berkomunikasi dan mengemukakan pendapat dalam
pembelajaran. ”Hasil belajar mereka pun meningkat,” jelasnya.
Untuk melengkapi ini, Ana biasanya menyiapkan sendiri
alat ajarnya. Misalnya, gambar-gambar khusus yang dibuat olehnya untuk kemudian
di tampilkan jadi alat peraga di kelas.
Baca juga beragam artikel KEBAHASAAN biar keterampilan berbahasamu makin jago.
Sebagai informasi, penggunaan bahasa ibu dalam
pembelajaran memang tidak termaktub dalam kurikulum mana pun. Namun, dalam
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan
Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2019 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia,
bahasa ibu diperbolehkan digunakan khususnya pada kelas awal.
Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan Kemendikbudristek Anindito Aditomo pun mengamini. Menurutnya, ini penting dilakukan. Jika tidak, siswa dipaksa belajar dua hal sekaligus.
Pertama, belajar mengenal huruf Latin dan membaca. Kedua, mempelajari bahasa yang bahasa Indonesia yang masih asing bagi mereka. Sehingga, kesulitannya jadi ganda dan menjadi beban berat bagi mereka.
Baca juga ragam artikel BUDAYA biar makin mencintai keberagaman yang ada di negeri kita tercinta, Indonesia.
Ditulis oleh Zalzilatul Himia. Artikel ini pertama kali terbit di Jawa Pos rubrik Features.