Peristiwa Rengasdengklok, sebuah Penanda Menuju Proklamasi Kemerdekaan Indonesia

Peristiwa Rengasdengklok, sebuah Penanda Menuju Proklamasi Kemerdekaan Indonesia

Sehari setelah kembalinya pemimpin PPKI ke Indonesia, Jepang menyerah tanpa syarat. Pengumuman resmi mengenai penyerahan Jepang kepada Sekutu baru diterima di Jakarta pada 15 Agustus 1945 sore hari (Pranoto, 2000). 

Kelompok pemuda yang ada di Jakarta kemudian bergerak dan menginginkan proklamasi kemerdekaan dikumandangkan secepatnya. Jepang telah kalah dan tidak ada gunanya lagi menanti ‘kemerdekaan hadiah’ yang dijanjikan. 

Kalian dapat mempelajari lebih lanjut mengenai pergerakan berbagai kelompok pemuda dan reaksi dari golongan tua hingga terjadinya Peristiwa Rengasdengklok melalui dua teks peristiwa penting berikut ini.

Baca juga kumpulan Materi Sejarah Kelas XI

Kerjasama: Pemuda dan PETA

Hari Rabu siang, 15 Agustus 1945 di Asrama Mahasiswa Kedokteran, Prapatan 10, sejumlah mahasiswa berkumpul untuk membicarakan ketegasan sikapnya setelah penyerahan Jepang dan pelaksanaan proklamasi. 

Menurut berita Radio Australia yang mereka dengar, Jepang telah menyerah pada Sekutu dan pada 15 Agustus akan diadakan penyerahan kekuasaan. Di dalam pertemuan itu dinyatakan bahwa proklamasi harus dilakukan Bung Karno dan Bung Hatta sedini mungkin dan lepas dari pengaruh Jepang.

Sore harinya, sesuai dengan rencana, sejumlah pemuda dan mahasiswa mengadakan rapat di ruang Lembaga Bakteriologi Jl. Pegangsaan Timur 17.

Rapat dipimpin oleh Chaerul Saleh dan di antara yang hadir: Wikana, Bonar SK, AB Lubis, Margono, Darwis Karimuddin, Syarif Thayeb, Eri Sudewo, Chandra Alif, Wahidin, Subianto, dan Nasrun Iskandar.

Baca juga ragam artikel SEJARAH biar engkau menjaga pesan Soekarno "Jas Merah"

Rapat mempertegas tuntutan golongan pemuda agar proklamasi segera dilaksanakan dan dilepaskan sama sekali urusannya dari pengaruh Jepang. Mereka mengetahui bahwa Bung Karno dan Bung Hatta akan memproklamasikan kemerdekaan setelah disetujui rapat PPKI tanggal 16 Agustus 1945. 

Oleh karena itu, kedua tokoh harus didesak. Hasil rapat ini segera disampaikan pada Bung Karno oleh wakil pemuda yang terdiri atas Wikana, Darwis, Suroto Kunto, dan Subadio. Pertemuan ini tidak menghasilkan apa-apa sebab Bung Karno tetap kukuh pada pendiriannya untuk meminta persetujuan PPKI.

Para pemuda menyadari bahwa gerakannya harus didukung oleh kekuatan senjata dari Peta dan Heiho. Untuk kepentingan itu, dua orang pemuda, yaitu Yusuf Kunto dan Surakhmat menghubungi asrama Peta di Jl. Jagamonyet. 

Baca juga ragam artikel KEBAHASAAN biar diksimu makin banyak dan kemampuan bahasamu makin jago.

Mula-mula permintaan pemuda ditolak oleh Shodanco Singgih, tetapi permintaan itu berhasil setelah ia mendapat desakan dari Chaerul Saleh. Secara diam-diam Peta memberikan senjata kepada para pemuda yang disimpannya di asrama dan beberapa rumah mereka.

Pada tengah malam para pemuda dan mahasiswa berkumpul di Jl. Cikini 71 untuk membicarakan ‘kegagalan’ membujuk Bung Karno dan Bung Hatta. Mereka memutuskan untuk membawa dua pemimpin bangsa itu ke luar kota agar memproklamasikan di sana.

Peristiwa Rengasdengklok

Pada malam hari tanggal 15 Agustus 1945, terjadi perbincangan yang menegangkan antara Wikana, Caherul Saleh, Darwis dan kawankawan dengan Sukarno di kediamannya di Jl. Pegangsaan Timur No. 56, Jakarta. 

Mereka mendesak agar Bung Karno dan Bung Hatta bersedia memproklamasikan kemerdekaan tanpa menunggu sidang PPKI tanggal 16 Agustus 1945. Namun, kedua tokoh tersebut menolak permintaan para pemuda. 

Setelah gagal meyakinkan kedua pemimpin tersebut, para pemuda mengadakan rapat di Cikini 71 dan bersepakat untuk ‘mengasingkan’ kedua tokoh ini ke Rengasdengklok. 

Baca juga: Cipung

Bung Karno dan Bung Hatta dijemput oleh anggota Peta pada dini hari saat hendak makan sahur dan dibawa ke Rengasdengklok.

Hampir sehari penuh Sukarno dan Hatta berada di tempat itu. Meskipun para pemuda menginginkan kedua tokoh itu segera melaksanakan proklamasi tanpa ada kaitan dengan Jepang, mereka tetap tidak berani memaksakan kehendaknya kepada kedua tokoh tersebut. 

Sekali lagi, para pemuda gagal mendesak agar Bung Karno dan Bung Hatta bersedia memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di sana. Sementara itu, di Jakarta tercapai kesepakatan antara Ahmad Subarjo, wakil dari golongan tua, dan Wikana, wakil dari golongan muda, agar proklamasi harus terjadi di Jakarta. 

Hal itu didukung pula oleh kesediaan Laksamana Muda Tadashi Maeda untuk menyediakan tempat tinggalnya sebagai tempat pertemuan dan bersedia menjamin keselamatan mereka.

Baca juga: Petani dan Puing-Puing Langgar

Berdasarkan kesepakatan itu, Ahmad Subarjo ditemani Yusuf Kunto berangkat menuju Rengasdengklok menjemput Sukarno dan Hatta. Sewaktu rombongan sampai di Rengasdengklok, hari sudah mulai gelap. 

Di tempat itu Ahmad Subarjo berhasil pula meyakinkan para pemuda bahwa proklamasi akan diumumkan pada 17 Agustus 1945. Dengan adanya jaminan dari Ahmad Subarjo, akhirnya Sukarno dan Hatta dilepaskan oleh para pemuda dan kembali ke Jakarta. 

Kedua tokoh ini sampai kembali di Jakarta pada malam harinya.

*

Dua teks tersebut (Kerja sama: Pemuda dan Peta serta Peristiwa Rengasdengklok) menunjukkan adanya perbedaan pendapat golongan tua dan golongan muda terkait proklamasi kemerdekaan. 

Bagaimana pendapat kalian mengenai perbedaan itu? Perbedaan pendapat adalah hal yang wajar terjadi mengingat adanya perbedaan sikap dan strategi dalam menghadapi Jepang. 

Pengumuman kekalahan Jepang yang mendadak membuat para pemuda bergerak untuk merebut momentum. Sementara itu, ketiadaan sikap tegas dan pengumuman resmi dari pemerintah Jepang di Indonesia membuat golongan tua memilih bersikap hati-hati.

Bagaimanapun juga, Jepang masih memiliki kekuatan dan persenjataan di Indonesia. Meskipun demikian, baik golongan tua maupun golongan muda sebenarnya memiliki tujuan akhir yang sama yaitu kemerdekaan Indonesia.

*Disarikan dari sumber-sumber literatur yang kredibel.

Ruang Literasi dan Edukasi

Post a Comment

© Untaian Abjad. All rights reserved. Developed by Jago Desain