Cipung Karya Kiki Sulistyo

Cerpen Cipung karya Kiki Sulistyo

Karena tak mampu membeli solar, para nelayan libur melaut. Dua orang di antaranya duduk di sebuah perahu menatap lautan tanpa sedikit pun pikiran bahwa seseorang akan datang menawarkan jalan keluar.

SEMALAM hujan turun demikian deras, dan kini langit pagi masih kusam. Pasir basah, angin juga basah. Bocah-bocah yang tak pernah menginjak lantai sekolah berlari-lari di sekitar rumah. Cipung melihat anaknya, dan Regen bertanya kepadanya: ”Dia sakit?” Cipung tak menjawab, malah balik bertanya: ”Siapa nama orang yang tempo hari datang?”

”Banyak orang yang datang, yang mana maksudmu?”

”Orang yang terakhir datang. Saya tidak begitu mendengar, tapi ada disinggungnya soal solar.”

”Oh, itu. Saya juga tidak tahu namanya.”

Sri, anak Cipung, lemah dan susah payah berlari kecil ke perahu tempat bapaknya duduk bersama Regen. Cipung mendekap Sri dan membelai-belai rambutnya ketika anak itu menyusupkan diri serupa anak kucing ke dada bapaknya.

Baca juga cerpen Guru Tinus Sudah Merdeka

Pelos datang sambil membawa cangkir kaleng. ”Kalau begini terus, kita pergi lagi ke Malaysia,” ucapnya.

”Punya modal?” tanya Regen.

”Kita pinjam dulu. Tapi kali ini kita pergi pakai jalur pemerintah. Kau mau ikut, Cipung?”

Cipung tak langsung menjawab. Saat menjawab pun ia tak menatap Pelos. Cipung menatap Sri sambil berkali-kali menempelkan punggung tangannya ke kening anaknya itu. ”Sri sedang sakit.”

”Bodoh! Bukan pergi sekarang. Sebulan lagi lah kita berangkat. Saya tahu di mana kita bisa pinjam modal.”

Pasir menempel di kaki orang-orang itu, seperti risiko hidup yang tak bisa dihindari. Hujan kembali turun; tanpa peringatan; cepat dan langsung lebat. Mereka keluar dari perahu, berhamburan menuju rumah. Hanya Cipung yang, masih mendekap Sri, tetap duduk membiarkan hujan menghantam tubuhnya dan tubuh anaknya. 

Baca juga cerpen Perempuan yang Menikahi Tubuhnya Sendiri

Gemuruh angin dan deru ombak menyungkup sekitar, mengaburkan suara-suara lain, termasuk suara teriakan yang sampai dengan samar-samar ke telinga Cipung. Itu suara istrinya.

Perempuan itu berlari ke arah perahu. Ia berusaha merebut Sri dari Cipung. Di tengah hujan mereka bersikeras, tapi Sri akhirnya berhasil direbut, dan perempuan itu membawanya ke rumah. Cipung masih di perahu; tak berbuat apa-apa, seakan-akan ia tak lain adalah arca batu. 

Pelos kembali ke perahu. Dengan susah payah ia menyeret Cipung yang terus bersikeras tak mau beranjak. Sampai di rumah, Pelos menampar Cipung, membuatnya rebah dan menangis tersedu-sedu.

”Sudah. Bulan depan kita berangkat!” seru Pelos.

***

Baca juga cerpen Puisi Apa yang Kau Tulis setelah Hari Ini

Drs. Zendi datang. Hari itu hujan juga turun tak kalah lebatnya. Orang-orang berkumpul di kantor desa. Drs Zendi menjelaskan kenapa ia mengunjungi para nelayan. Ia bilang selama ini nasib nelayan jarang diperhatikan. ”Padahal bangsa kita adalah bangsa bahari. Bangsa pelaut yang hidup dan matinya bergantung kepada laut,” katanya. 

Oleh karena nasib nelayan jarang mendapat perhatian, dibutuhkan seorang wakil di badan legislatif untuk menyuarakan ketidakadilan yang dihadapi para nelayan itu. Desa nelayan harus sejahtera, para nelayan mesti bisa bekerja dengan tenang dan senang. Segala kebutuhannya wajib dipenuhi. Keadilan sosial tak boleh pandang bulu.

Drs. Zendi bicara dengan tenang. Suaranya jelas dan jernih. Wajahnya juga memancarkan tekad dan kesabaran, sekaligus keteduhan; tanda bahwa ia bukan cuma pintar, melainkan juga rajin beribadah. Kata-katanya seperti menyebar kehangatan di dalam ruangan, menghalau dingin dari hujan di luar. 

Orang-orang mendengarkan dengan takzim sembari mengisap dan mengembuskan asap rokok dari tembakau pilitan. Hampir semua orang dalam ruangan itu merokok sehingga sebentar saja ruangan sudah penuh asap bagaikan kabut di lingkar gunung. Kepala desa yang duduk di dekat Drs Zendi sesekali manggut-manggut, matanya memancarkan keharuan.

Baca juga beragam CERPEN lainnya untuk menghibur dan memotivasi jiwa serta pikiranmu setelah seharian beraktivitas, bekerja, dan belajar.

Setelah bicara beberapa lama, Drs Zendi kemudian memberikan kesempatan kepada para nelayan itu untuk bertanya. Seorang perempuan, yang juga merokok, mengacungkan tangan dan tanpa menunggu dipersilakan ia langsung berdiri. ”Begini, Pak. Suami saya kan mau berangkat ke Malaysia. Tapi dia tak punya uang. Bagaimana ya kira-kira caranya?”

Seorang laki-laki tua ikut mengangkat tangan. ”Dulu banyak ikan besar di laut. Ikan besar yang enak rasanya, namanya ikan Marhen. Ke mana ikan-ikan itu sekarang?”

Seorang laki-laki yang tak kalah tuanya bertanya apakah mereka bisa diajarkan cara membuat solar. Setelah laki-laki tua itu banyak lagi yang bertanya. Bahkan sampai Drs. Zendi mulai melihat-lihat jam tangannya, orang-orang masih banyak yang bertanya. 

Perempuan yang pertama-tama bertanya tadi kembali bertanya, begitu juga laki-laki tua yang bertanya soal ikan Marhen, begitu juga laki-laki tak kalah tua yang bertanya cara membuat solar. Alhasil, kepala desa yang tahu bahwa Drs. Zendi harus pergi menenangkan para warga dengan cara yang sama sekali tidak tenang; ia menggebrak-gebrak meja. Namun, tak ada yang peduli. 

Baca juga beragam PUISI dari penyair dan sastrawan ternama.

Orang-orang terus melontarkan pertanyaan. Drs Zendi akhirnya pergi terburu-buru dengan payung yang dipinjamkan kepala desa, meninggalkan kepulan pertanyaan di belakangnya, seakan ia adalah mesin kendaraan yang tiap melesat akan meninggalkan kepulan asap.

***

Sri, anak Cipung, tak tersembuhkan. Meski Cipung sempat membawa anak itu ke puskesmas, tetap saja nyawa Sri tak bisa dicegah untuk melayang entah ke mana. Memang ada puskesmas di desa itu, tapi tak ada bidan atau petugas kesehatan. Cuma ada seorang laki-laki jompo yang tinggal di sana.

Tampaknya laki-laki jompo itu adalah pasien terakhir yang, karena belum mendapat petunjuk mesti pulang atau tetap dirawat, percaya bahwa suatu hari ada dokter yang datang untuk menyembuhkan penyakitnya. Bidan di puskesmas itu sudah lama kabur karena merasa dijebak. 

Ia dapat beasiswa sekolah perawat dan mesti menandatangani kontrak mengabdi di puskesmas desa. Akan tetapi karena gaji yang diterimanya tak masuk akal, baru setahun dari tujuh tahun kontrak yang dijalaninya, ia sudah angkat kaki dari puskesmas itu.

Kalau hidupmu kurang motivasi, mudah lelah dan mletre, sila carger dengan baca kisah dari para SOSOK yang keren.

Cipung dan istrinya meraung-raung. Para warga lain yang melihat mereka juga ikut meraung-raung. Peristiwa itu terjadi tepat di hari kedatangan Drs Zendi. Cipung dan istrinya tak hadir di kantor desa, dan ketika Drs Zendi sudah lenyap, orang-orang yang mendengar raungan Cipung segera bergegas menuju puskesmas. Di antara mereka tentu saja ada Regen dan Pelos.

Mendengar kabar dan melihat sendiri bahwa Sri telah mati, dengan segera Pelos mengayunkan tangannya ke muka Cipung. Kepalan tangannya menghantam berkali-kali, sembari mulutnya tak henti memaki: ”Bodoh! Kau tidak bisa menjaga anakmu!”

Cipung terhuyung-huyung sambil terus meraung-raung. Regen menarik tubuh Pelos agar menjauh dari Cipung. Darah mengucur dari hidung Cipung. Lantas, setelah mengusap mata dan hidungnya, Cipung meraih tubuh Sri yang sedari tadi terbaring di ranjang puskesmas. Tubuh yang perlahan mulai mendingin. Laki-laki jompo penghuni puskesmas segera kembali berbaring di ranjang itu seakan-akan di sekitarnya tak terjadi apa-apa.

Cipung mengangkat tubuh Sri ke atas kepalanya sebelum kemudian berjalan keluar. Di belakangnya orang-orang mengikuti. Seseorang berseru: ”Ambil jeriken!” Orang-orang berhamburan ke rumah masing-masing, tapi tak semua mengambil jeriken. 

Ada yang membawa ember, panci, atau tas plastik. Mereka bergerak mengikuti Cipung. Istri Cipung meraung-raung sambil memegang baju bagian belakang Cipung. Ia jadi tampak seperti sedang memegang tali kekang seekor bagal.

”Pom! Pom!” teriak Regen. Orang-orang bersorak. Mereka bergerak menuju stasiun pengisian bahan bakar umum.

***

Baca juga beragam artikel Sudut Pandang dari berbagai tokoh berpengaruh, akademisi, dan para pemikir atau ahli.

”Isunya sedang panas. Nelayan-nelayan itu perlu diberi perhatian. Jumlah mereka cukup banyak, terutama di saat-saat krisis seperti ini. Kalau isu itu bisa dipakai, akan bagus untuk partai,” kata Muzifar SH. Ia sedang mengisi bahan bakar ketika Drs. Zendi menyapanya. 

Setelah mengisi bahan bakar, keduanya menepi sebentar di dekat isi angin gratis. Sudah sejak lama Drs. Zendi mengagumi Muzifar SH yang tak lain adalah mentornya. Mereka bercakap-cakap sembari sesekali memperhatikan hujan yang perlahan berubah menjadi tepung air. Udara sejuk memberi kesan muram, baik pada jalanan maupun pada paras kedua orang itu.

”Mereka semua sudah gila. Cobalah datang ke sana dan kau akan membuktikan kata-kataku,” ujar Drs Zendi. 

Muzifar SH mengangguk-angguk. Ia tahu lawan bicaranya masih muda. Kelak di tahun-tahun mendatang Drs Zendi akan paham bahwa kegilaan para nelayan itu tak ada apa-apanya dibandingkan dengan kegilaan orang-orang di parlemen.

Percakapan mereka terhenti oleh suara keributan. Para nelayan, dengan cepat, telah sampai di dekat stasiun pengisian bahan bakar. Cipung berjalan paling depan, disusul istrinya, disusul orang-orang lainnya. 

Persis di depan stasiun pengisian bahan bakar Regen melesat mendahului Cipung masuk ke areal stasiun. Ia langsung merangsek petugas. Orang-orang lain mengikutinya; mereka merebut slang dan mengisi jeriken, panci, atau kantong-kantong plastik dengan semua jenis bahan bakar.

Baca juga ragam artikel yang membahas BUDAYA

Pelos yang melihat Drs Zendi segera menghambur ke arah laki-laki itu. ”Kau mau menjadi wakil kami? Sekarang naik ke tangki itu dan berbicaralah. Serukan permintaan kami!” Pelos mencengkeram leher Drs Zendi; menyeretnya ke arah tangki. 

Muzifar SH berusaha menahan, tapi kaki Pelos menghantam dadanya, membuat ia terjengkang menghantam mobilnya sendiri. Pelos setengah menyeret Drs Zendi yang tersandung-sandung menuju ke dekat tangki.

Belum seberapa jauh melangkah, mereka berhenti. Mereka melihat Cipung sudah lebih dahulu naik ke tangki.

Sembari mendekap mayat Sri, Cipung merogoh sakunya dan mengeluarkan pemantik api. Semua mata tertuju kepadanya. Di mata orang-orang itu, Cipung tampak seperti seorang pemimpin yang hendak membawa umatnya dari alam kegelapan ke alam yang terang benderang. (*)

Gunungsari–Rakam, Desember 2022–Januari 2023

Ditulis oleh Kiki Sulistyo. Lahir di Ampenan, Lombok. Kumpulan cerpennya, Muazin Pertama di Luar Angkasa (2021), masuk nomine Penghargaan Sastra Kemendikbudristek 2022. Sementara kumpulan cerpennya, Bedil Penebusan (2021), masuk nomine Buku Prosa Terbaik Tempo 2021.

Editor: Ilham Safutra
Ilustrator: Bagus (Jawa Pos)
Cerpen ini pertama kali terbit di Jawa Pos edisi Minggu.
Ruang Literasi dan Edukasi

Post a Comment

© Untaian Abjad. All rights reserved. Developed by Jago Desain