Selama masa penjajahan Jepang, rakyat banyak mengalami tekanan dan
penderitaan akibat sistem yang eksploitatif dan kejam. Meskipun demikian,
penjajahan Jepang di Indonesia juga meninggalkan dampak positif yang masih dapat
dirasakan hingga saat ini.
Misalnya dalam bidang pertanian dengan diperkenalkannya sistem larikan
(menanam mengikuti garis lurus) dalam penanaman padi.
Kala itu, Yogyakarta pernah dilanda banjir pada masa awal penjajahan
Jepang, yaitu November 1942. Curah hujan yang deras mengakibatkan Kali Serang
meluap dan membanjiri desa-desa di sekitarnya serta merusak areal persawahan.
Baca juga kumpulan Materi Sejarah Kelas XI
Dua bulan kemudian, banjir kembali terjadi dan merusak tanggul dan
bendungan di sepanjang Sungai Code, Opak, Progo, Gajah Wong, dan Kedung
Semirangan.
Sultan Hamengkubuwono IX yang ingin mengatasi masalah ini sekaligus
menyelamatkan rakyatnya dari kewajiban romusha di luar daerah kemudian
mengusulkan kepada Jepang untuk membangun irigasi.
Pihak Jepang ternyata mengijinkan dan memberikan dana untuk membangun
saluran dan pintu air untuk mengatur air hujan dari daerah yang tergenang ke
laut serta membangun saluran-saluran untuk mengalirkan air dari Kali Progo ke
daerah kering dan kekurangan air di wilayah Sleman ke arah timur.
Saluran dan pintu air ini kemudian dikenal sebagai selokan Mataram. Ada
tiga manfaat yang dirasakan rakyat Yogyakarta dengan adanya pembangunan saluran
ini, yaitu mencegah banjir, membantu wilayah yang kekurangan air, dan
menghindarkan warga Yogyakarta dari kewajiban romusha di luar daerahnya.
Hal ini karena pembangunan saluran sepanjang puluhan kilometer ini
memerlukan banyak tenaga.
*
Baca juga ragam artikel SEJARAH biar engkau menjaga pesan Soekarno "Jas Merah"
Dalam periode singkat penjajahan Jepang di Indonesia, hubungan antara orang
Indonesia dan Jepang tidak selamanya buruk.
Tidak semua orang Jepang yang dikirim ke Indonesia pada saat itu adalah tentara,
ada pula orang-orang sipil yang sengaja didatangkan dari Jepang untuk bekerja
di berbagai industri dan kantor pemerintahan.
Ada kalanya cinta bersemi dalam situasi yang sulit ini antara orang
Indonesia dan Jepang walaupun sebenarnya dilarang, seperti kisah cinta Yamada
Kyo dan Mansur di Bukittinggi.
Dalam bukunya, Kurasawa (2016) menyebutkan bahwa Kyo adalah seorang
karyawan hotel yang dimiliki oleh PT Daimaru. Ia jatuh cinta dan menikah dengan
Mansur yang merupakan seorang karyawan Indonesia di hotel itu.
*Disarikan dari sumber-sumber literatur yang kredibel