Ki Hadjar Dewantara: “Lebih Baik Tak Punya Apa-Apa tapi Senang Hati daripada Bergelimang Harta namun Tak Bahagia”

Ki Hadjar Dewantara: “Lebih Baik Tak Punya Apa-Apa tapi Senang Hati daripada Bergelimang Harta namun Tak Bahagia”

Apakah kalian pernah membaca cerita tokoh penting dalam sejarah Indonesia? Mengapa mereka menjadi tokoh yang bersejarah? Hikmah dan teladan apa yang dapat kalian petik dari mereka?

Atas segala jasa, tindakan, maupun gagasannya untuk masyarakat Indonesia, kita mengenal Ki Hadjar Dewantara sebagai Bapak Pendidikan Indonesia. Dalam perspektif ilmu sejarah, beliau merupakan pelaku sejarah, saksi sejarah, sekaligus penggerak sejarah. Bagaimana cara beliau menggerakkan sejarah?

Bermula dari tahun 1912, persahabatannya dengan Cipto Mangunkusumo dan Douwes Dekker dimulai sejak belajar di sekolah dokter STOVIA pada zaman Hindia Belanda, hingga mereka bertiga kemudian dikenal sebagai tiga serangkai. 

Mereka mendirikan partai politik Indische Partij dan koran De Expres sebagai media untuk menyebarkan gagasan mereka yaitu membangkitkan nasionalisme para pribumi dan menentang kebijakan pemerintah kolonial yang diskriminatif.

Baca juga artikel lainnya tentang Sudut Pandang 

Salah satu tulisan dan gagasan Ki Hadjar Dewantara yang menggugah nasionalisme dan menentang kolonialisme adalah “Seandainya Aku Seorang Belanda” yang dimuat di koran De Expres sebagai kritik atas pemerintah Hindia Belanda. Akibat gagasannya yang tertuang lewat tulisan tersebut, Ki Hadjar Dewantara mendapatkan hukuman dengan diasingkan. 

Namun, hal itu tidak menciutkan nyalinya untuk berjuang demi bangsa. Ki Hadjar Dewantara terus berjuang melalui pendidikan dengan mendirikan Taman Siswa pada tahun 1922. Salah tujuan dari pendidikan Taman Siswa adalah untuk mencerdaskan bangsa melalui akses dan kesempatan bagi rakyat mendapatkan pendidikan.

Berkaca dari kisah Ki Hadjar Dewantara dan berbagai tokoh penting atau para pahlawan bangsa Indonesia, manusia dalam kajian ilmu sejarah adalah subjek dan objek, yaitu manusia dengan segenap gagasan dan tindakannya adalah penggerak sejarah yang membawa perubahan di masyarakat. 

Baca juga beragam TIPS dari mimin UA

Di samping itu, dalam memahami manusia dalam rentang sejarah, Kartodirjo (2017) memaparkan bahwa ketika biografi dan individu menjadi unit sejarah, maka individu sebagai manusia harus dipahami secara utuh mengenai latar belakangnya, lingkungan sosial-budaya, watak, dan pandangan hidupnya.

Ketika belajar tentang manusia sebagai penggerak, pelaku, saksi sejarah, kalian mengetahui manusia memiliki suasana kebatinan dan pemikiran. Kalian dapat belajar dari berbagai biografi termasuk biografi tentang orang-orang biasa yang berkontribusi bagi sejarah umat manusia. 

Selain itu manusia juga dipahami dari ruang atau tempat peristiwa di mana mereka berada. Ruang atau tempat yang dimaksud adalah kondisi lingkungan, baik secara sosial, budaya, geografis, maupun ekonomi. Manusia dalam waktu adalah bagaimana sejarah manusia dipelajari baik perkembangan, perubahan, keberlanjutan, dan keberulangannya.

Baca juga CERPEN untuk menghibur jiwa dan pikiranmu.

Lebih Baik Tak Punya Apa-Apa tapi Senang Hati daripada Bergelimang Harta namun Tak Bahagia

Terlahir di keluarga bangsawan, tepatnya putra GPH Soerjaningrat dan cucu Pakualam III, R. Soewardi Soerjaningrat tak kesulitan meretas pendidikan. Bermula dari Eerste Lagere School (ELS), ia lantas diterima belajar di School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA), sekolah dokter Bumiputera. Namun, ia urung lulus dan menjadi dokter karena sakit.

Soewardi lantas berkiprah di dunia jurnalistik. Sediotomo, Midden Java, De Expres, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara adalah beberapa media yang pernah menjadi pelabuhan kariernya. Pada saat yang bersamaan, ia pun berkiprah di dunia politik. Sempat bergabung dengan Boedi Oetomo, ia bersama Douwes Dekker dan dr. Cipto Mangoenkoesoemo lantas mendirikan Indische Partij pada 25 Desember 1912.

Karena penanya yang tajam dan kiprah politiknya, pria yang memutuskan menanggalkan gelar kebangsawanannya dengan mengganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara pada umur 40 tahun tersebut dimusuhi pemerintah kolonial Belanda. Bersama dua sahabatnya sesama pendiri Indische Partij, Ki Hadjar dijatuhi hukuman tanpa proses pengadilan. Mereka harus menjalani masa pembuangan.

Baca juga artikel BUDAYA agar makin cinta dengan budaya Indonesia

Atas hukuman itu, ketiganya mengajukan permohonan untuk dibuang ke Belanda, bukan tempat terpencil di negeri sendiri. Pada 1913, pemerintah kolonial Belanda menyetujui hal itu. Selama lima tahun, Ki Hadjar menjalani masa pembuangan di Negeri Kincir Angin. Kesempatan itu digunakan untuk mendalami masalah pendidikan dan pengajaran hingga akhirnya Ki Hadjar mendapatkan Europeesche Akte yang memungkinkannya mendirikan lembaga pendidikan.

Itulah titik balik perjuangan Ki Hadjar. Sepulang ke tanah air, dia mendirikan Perguruan Taman Siswa pada 1922. Perjuangan penanya pun bergeser dari masalah politik ke pendidikan. Tulisantulisan itulah yang lantas menjadi dasar-dasar pendidikan nasional

bagi bangsa Indonesia. Saat Indonesia merdeka, ia pun dipercaya menjabat Menteri pendidikan dan pengajaran.

Berkat perjuangan dan komitmennya terhadap pendidikan, Ki Hadjar mendapat gelar doktor honoris causa dari Universitas Gajah Mada pada 1957. Dua tahun berselang, tepatnya 28 April 1959, Ki Hadjar meninggal dunia dan dimakamkan di Yogyakarta.

Bagi seorang petinggi negeri, kenikmatan duniawi bukanlah hal yang sukar untuk dirasakan dan didapatkan. Pesta besar usai pelantikan sebagai pejabat adalah hal lumrah dengan dalih sebagai bentuk syukur kepada Tuhan atas kepercayaan yang diembankan. Namun, hal itu tak berlaku bagi Ki Hadjar Dewantara. 

Setelah ditetapkan menjadi orang pertama yang menjabat Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan Republik Indonesia, Ki Hadjar pulang larut malam. Tak ada pesta atau makan besar istimewa yang menyambut kedatangannya. Bahkan sekadar lauk-pauk pun tak tersedia di meja makan. Nyi Hadjar lantas menyuruh salah satu anak mereka untuk membeli mi godhok (rebus) di pinggir jalan. Makan malam dengan menu serantang mi rebus untuk sekeluarga pun jadilah.

Bagi Ki Hadjar, itu bukan masalah besar. Meski berasal dari keluarga bangsawan, kesederhanaan memang telah menjadi bagian dari sikap hidupnya. Kesederhanaan inilah yang membuat Ki Hadjar tak silau memandang dunia walaupun jabatan prestisius disandangnya.

Seperti terpampang di Museum Sumpah Pemuda, Ki Hadjar pernah berujar, “Aku hanya orang biasa yang bekerja untuk bangsa Indonesia, dengan cara Indonesia. Namun, yang penting untuk kalian yakini, sesaat pun aku tak pernah mengkhianati tanah air dan bangsaku, lahir maupun batin aku tak pernah mengorup kekayaan negara. Aku bersyukur kepada Tuhan yang telah menyelamatkan langkah perjuanganku.”

Sumber: 
Sari Oktafiana. 2021. Sejarah untuk SMK Kelas X. Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi
Orange Juice For Integrity. 2014 . Belajar Integritas kepada Tokoh Bangsa, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Hal. 39-41.
Ruang Literasi dan Edukasi

Post a Comment

© Untaian Abjad. All rights reserved. Developed by Jago Desain