Menulis untuk Menambah Pengetahuan

Menulis untuk Menambah Pengetahuan


Suatu ketika saya membaca status Facebook AS Laksana tentang rumus menulis. Kira-kira begini isi status itu: Tulislah apa yang kamu ketahui agar kamu mudah melakukannya dan tulislah apa yang tidak kamu ketahui agar kamu belajar. Rumus pertama, saya sudah sering mendengarnya. Sementara itu, rumus kedua, saya belum pernah mendengarnya, tetapi saya telah mengalaminya sendiri dan mempraktikkannya.

Memang mudah menulis sesuatu yang kita pahami secara utuh. Dengan begitu, kita dapat melihat sisi menarik sebuah persoalan dan menjadikannya sudut pandang tulisan. Dengan memahami persoalan seutuhnya, kita juga dapat dengan mudah menemukan paragraf pembuka yang menarik perhatian pembaca untuk meneruskan bacaan. 

Intinya, dengan menulis sesuatu yang sudah kita pahami, kita memiliki bahan yang cukup dan tahu harus mulai dari mana untuk menulis lebih bagus. Kita melakukannya secara mudah.

Baca juga artikel tentang Kebahasaan Lainnya.

Sementara itu, menulis sesuatu yang tidak kita pahami membuat kita kesulitan karena kekurangan bahan dan takut salah lantaran tidak yakin bahwa apa yang kita tulis itu benar. Misalnya, saya kesulitan menulis esai “Mempersoalkan Saksi Ahli sebagai Istilah Hukum” (Tirto.id, 1 April 2023) sebab tidak memahami secara utuh istilah tersebut dan tidak tahu penggunaannya dalam dunia hukum. Namun, saya tetap ingin menulis esai tentang istilah saksi ahli karena sudah punya pokok persoalannya, yaitu bahwa istilah tersebut bermasalah.

Untuk menulis esai itu, saya mempelajari sejumlah literatur hukum dan berdiskusi dengan beberapa kawan yang saya anggap sebagai pakar pada bidang hukum. Itulah yang disebut dengan belajar pada rumus kedua dalam status Facebook AS Laksana tersebut. Istilah kerennya: riset. Kita akan meriset atau meneliti sebuah persoalan sampai kita merasa bahwa pengetahuan kita tentang persoalan itu cukup untuk membuat tulisan yang kita inginkan.

Pada akhirnya, mempelajari dan meneliti sebuah persoalan yang tidak kita pahami sebelumnya hingga kita paham terhadapnya berujung pada rumus pertama: Tulislah apa yang kamu ketahui agar kamu mudah melakukannya. Hal itu berhubungan dengan kejernihan tulisan. Kita akan dapat membuat tulisan yang jernih dan mudah dipahami pembaca jika kita benar-benar memahami persoalan yang kita bahas.

Baca juga artikel tentang Seluk-Beluk Bahasa Indonesia lainnya.

Kita mustahil membuat tulisan yang jernih kalau tidak benar-benar memahami masalahnya. Saya mendapatkan pelajaran tersebut ketika baru menjadi wartawan Haluan pada awal 2013. Redaktur pelaksana Haluan ketika itu, Ismet Fanani, menasihati saya untuk menulis berita yang persoalannya benar-benar saya pahami dan tidak menulis berita yang persoalannya tidak saya pahami. Ia mengatakan, bagaimana mungkin kita berharap pembaca memahami tulisan kita jika kita saja tidak memahami persoalan yang kita tulis.

Menulis sesuatu yang sudah dipahami, bagi saya, berarti membagikan pengetahuan penulis kepada orang lain tentang sebuah persoalan yang bagi orang lain mungkin masih samar atau sama sekali gelap. Sementara itu, menulis sesuatu yang belum dipahami berarti memperkaya pengetahuan penulis karena dia harus belajar dulu sebelum menulis—meskipun pada akhirnya pengetahuan itu dibagikan kepada pembaca.

Menulis sesuatu yang sudah dipahami, bagi saya, kurang menarik karena tidak ada tantangan yang berarti. Menulis yang demikian hanya menyenangkan diri saya sebagai penulis karena satu ide dalam kepala saya terlepas sehingga beban dalam kepala berkurang. Saya gelisah jika ide dalam kepala saya belum dikeluarkan sebab ide itu terus mendesak untuk dikeluarkan dan mengganggu pikiran saya.

Baca juga artikel Sudut Pandang dari para pemikir dan orang berpengaruh.

Sementara itu, menulis sesuatu yang belum dipahami merupakan hal yang menarik sebab ada tantangan. Sebenarnya, menulis sesuatu yang belum dipahami itu pada awalnya membuat saya tidak nyaman lantaran sebuah ide menuntut untuk dikeluarkan, sedangkan bahan untuk menuliskannya tidak cukup. 

Namun, hal itu memaksa diri saya yang cukup malas ini untuk belajar, misalnya dengan membaca sejumlah buku dan berdiskusi dengan beberapa pakar. Di sanalah letak menariknya: Pengetahuan saya tentang sebuah persoalan menjadi bertambah dan melekat di otak dalam waktu yang lama.

Itulah membaca yang sebenarnya, yaitu membaca untuk menulis (meriset). Membaca untuk meriset membuat kita tidak mengambang dalam membaca, tetapi justru memiliki tujuan yang jelas. Dengan membaca untuk meriset, kita menjadi paham akan sebuah persoalan. Itulah yang membuat saya senang menulis: menambah pengetahuan akan dunia yang saya senangi, yaitu dunia bahasa.

Membaca untuk menulis berbeda halnya dengan membaca secara lepas alias membaca bukan untuk menulis. Misalnya, dalam waktu senggang, saya melihat-lihat sejumlah buku di antara ratusan buku yang belum saya baca di rak buku. Saya lalu memilih salah satu buku yang menarik perhatian.

Baca juga artikel Budaya agar makin cinta dengan bangsa kita.

Ketika itu, saya tidak membaca untuk menulis, tetapi hanya ingin menambah pengetahuan. Cara seperti itu tidak membuat pengetahuan melekat kuat seperti membaca untuk meriset. Bahkan, kadang-kadang, saya lupa poin-poin yang saya baca dari buku.

Saya biasanya membaca dengan cara seperti itu, selain berharap untuk menambah pengetahuan, juga untuk mencari ide tulisan, bukan untuk menambah bahan sebuah ide yang sudah saya dapatkan. Dalam mencari ide tersebut, saya mencatat bahan yang saya temukan dalam bacaan dan ide yang terlintas saat membaca.

Saya menyimpan bahan maupun ide pada sebuah folder yang sudah saya klasifikasikan berdasarkan bidang tertentu dalam linguistik. Saya membuat klasifikasi tersebut dalam laptop sebagai bank bahan dan bank ide. Jika suatu waktu saya merasa bahwa sebuah bahan dan ide itu cukup untuk ditulis sebagai sebuah esai atau artikel, barulah saya menuliskannya.

Baca juga beragan CERPEN untuk hiburan dan asupan energi bagi pikiran dan jiwa.

Karena tujuan pertama saya dalam menulis adalah untuk menambah pengetahuan, saya sudah mendapatkan kesenangan setelah berhasil menuangkan sebuah ide menjadi tulisan. Kalau tulisan itu terbit di media massa dan ada imbalan honorariumnya, saya menganggapnya bonus kesenangan. Dengan motivasi menulis untuk menambah pengetahuan, jika tulisan saya ditolak media massa, itu bukanlah persoalan bagi saya.

Lagi pula, tolok ukur tulisan bagus atau buruk bukanlah dimuat atau tidak di media massa. Selain itu, karena menulis untuk menambah pengetahuan, saya mengharapkan koreksi dari pembaca jika ada kesalahan dalam tulisan agar saya mendapatkan pengetahuan yang benar.

Penulis: Holy Adib | Nara Bahasa

Ruang Literasi dan Edukasi

Post a Comment

© Untaian Abjad. All rights reserved. Developed by Jago Desain