Batal Merdeka

Batal Merdeka karya Aliurridha. Bagaimana kalau teks proklamasi kemerdekaan dibuat oleh AI.

Sekarang kamu tinggal di suatu wilayah yang belum merdeka. Lalu kamu dan teman-temanmu hendak membuat teks proklamasi kemerdekaan. Tapi, tidak satu pun di antara kalian yang tahu cara menulis. Lalu temanmu menyarankan menggunakan AI untuk membikin teks proklamasi.

"BENAR juga. AI kan sudah bisa menulis sebaik manusia,” kata temanmu.

"Sebentar lagi AI akan menggantikan pekerjaan manusia,” tambah temanmu yang lain.

"AI tidak bisa menggantikan manusia, tapi manusia yang menggunakan AI akan menggantikan manusia yang tidak menggunakan AI,” ucap temanmu yang lain membenarkan.

Lalu kalian sepakat meminta bantuan AI menulis teks proklamasi. Kalian menyerahkan sepenuhnya kepercayaan kalian pada makhluk ini. Kalian pernah mendengar banyak (maha)siswa malas yang terselamatkan oleh kehadiran makhluk ini. Kalian juga pernah dengar ada akademisi yang menuliskan nama salah satu makhluk ini sebagai penulis kedua di jurnal ilmiah. 

Baca artikel lainnya tentang Sudut Pandang

Lalu di suatu negeri yang tidak begitu jauh dari negeri kalian, kalian mendengar seorang penulis senior membuka kelas menulis cerpen dengan memanfaatkan makhluk ini. Masih dari negeri yang sama, kalian mendengar seorang filsuf mengajarkan makhluk ini membikin puisi. Kalian pun yakin makhluk ini pasti berhasil menulis teks proklamasi.

Tapi, kamu sedikit ragu.

Kamu merasa perlu mencoba kemampuan makhluk ini terlebih dahulu. Ini soal masa depan bangsamu. Karenanya kamu perlu berhati-hati. Kamu merasa perlu menguji kemampuan makhluk ini. Kamu pun memintanya membuat teks proklamasi untuk sebuah negeri imajiner. Kamu senang sekali ketika melihat kata demi kata mengalir di layar komputer milikmu. Ada 313 kata. 

Jika dibandingkan dengan teks proklamasi dari negeri si filsuf dan penulis senior tadi, yang hanya 35 kata, apa yang ditulis makhluk ini tentu jauh lebih banyak. Tampak betul upaya dan semangat makhluk ini membantu negara imajinermu untuk merdeka. Namun, begitu kamu membaca pembuka tulisannya, kamu memaki: goblok!

Baca artikel lainnya tentang Seluk-Beluk Dunia Pendidikan

Deklarasi Kemerdekaan Negara Imajiner ”Aidara”.

Imajiner!

Imajiner!

Imajiner!

Mungkin prompt-nya harus diperbaiki, pikirmu. Orang-orang pintar dari negeri seberang bilang, kuncinya ada di prompt. Jika prompt-nya jelas dan tepat, ia bisa melakukan apa saja. Kamu pun memintanya menghilangkan kata imajiner dan menambahkan deskripsi perihal negeri imajinermu yang mirip dengan negerimu.

Ada 308 kata yang ditulis makhluk ini. Tidak ada yang salah secara tata bahasa. Tapi, kok tidak enak dibaca? Kamu merasa tidak puas dengan hasilnya. Meski teks proklamasi yang ditulis proklamator negeri tetanggamu hanya sepersepuluh dari jumlah kata yang ditulis makhluk ini, kamu merasa teks proklamasi dari negeri tetanggamu lebih baik.

Ah, aku ada ide, pikirmu. Kamu pun meminta teks proklamasi negeri Aidara ditulis persis seperti cara Soekarno dan Hatta menulis.

Baca artikel lainnya tentang Sosok

Hasilnya seperti ini.

PROKLAMASI KEMERDEKAAN AIDARA

Hari ini, tanggal 28 Juli 2023, kami, Sukarno dan Hatta, atas nama rakyat Aidara yang merdeka, dengan niat tulus dan semangat yang berkobar, dengan rendah hati dan penuh rasa hormat terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dengan ini menyatakan berdirinya Aidara sebagai sebuah negara yang berdaulat dan merdeka……

…..Dengan ini, kami, Sukarno dan Hatta, bersumpah untuk menjaga dan mempertahankan kemerdekaan ini dengan segala upaya kami. Mari kita bersama-sama membangun Aidara yang maju, damai, dan sejahtera demi kebahagiaan seluruh rakyat Aidara.

Dirgahayu Aidara! Merdeka!

Kamu mengumpat membaca setiap kata yang ditulis makhluk ini. Ada 362 kata; ada 362 umpatan. Kamu perintahkan ia menulis seperti Soekarno dan Hatta, bukan membuat Soekarno dan Hatta menjadi proklamator negara imajinermu. Kamu memaki-maki makhluk ini, dan ia hanya bisa meminta maaf.

Kamu frustrasi. Kamu tidak mengerti meski secara tata bahasa tidak ada yang salah di sana, tapi kamu muak membacanya. Lalu kamu menghubungi seorang linguis dari negeri tetanggamu untuk mencari tahu pangkal masalahnya. Linguis ini dulunya adalah seorang ahli wacana kritis, sebelum murtad dan mengambil linguistik komputasi karena lebih menjual di era serbadigital.

Linguis ini pun menjelaskan masalahnya. Makhluk yang kamu mintakan tolong itu sebenarnya tidak mengerti apa yang ditulisnya. Ia hanya diajarkan cara membaca pola. Ia tidak benar-benar mengerti bahasa manusia. Lebih dari itu, ia tidak punya imajinasi, tidak punya kreativitas, dan tidak bisa mencipta. Begitu penjelasan si linguis murtad.

Baca artikel lainnya tentang Budaya

"Tapi, ia bisa menciptakan nama Aidara.” Kamu merasa tidak pernah memberikan sebuah nama pada negeri imajiner, tapi nama itu muncul di sana.

"Ia tidak mencipta. Ia bahkan tidak tahu Aidara itu apa. Itu nama yang muncul begitu saja setelah kalkulasi matematika.”

"Tapi, ia menulis jauh lebih banyak daripada presiden pertamamu!”

Wajah linguis murtad berubah. Terlihat betul dia mau marah. Tapi, dia berusaha tenang.

"Begini, makhluk yang kamu pikir pintar itu sebenarnya tidak pintar-pintar amat. Ia cuma large language model yang menekankan kerjanya pada pola sintaksis semata. Algoritmanya bekerja dengan meniru pola sintaksis dari korpus data yang telah tersedia untuk ia pelajari. Meminjam bahasa pekerja statistika, ia hanya mengejar rata-rata. Ia sendiri tidak benar mengerti apa yang ditulisnya. Ia tidak paham konteks,” ujar linguis murtad berapi-api.

"Kamu mungkin tertawa mendengar presidenku menyebut dll dalam teks proklamasi,” lanjutnya. Kamu mengangguk, padahal kamu tidak tertawa. ”Ada konteks kenapa kata dll muncul, disingkat pula. Saat itu yang terpenting bagi negeriku adalah merdeka. Segala hal yang belum dirumuskan bisa menyusul belakangan. Jika terlalu lama memikirkannya, negeriku tidak akan merdeka.”

Kamu mengangguk-angguk. Itu juga alasanmu ingin cepat-cepat memproklamasikan kemerdekaan negerimu. Tapi, tidak ada yang bisa menulis teks proklamasi. Sempat terlintas di benakmu untuk ikut kelas menulis dari pengarang senior itu. Mungkin dia mau membuka kelas menulis teks proklamasi. Kamu pun mengonsultasikan hal ini ke linguis murtad. Dia terkejut, lalu bertanya: apakah di negerimu tidak ada pengarang?

Kamu menggeleng.

Bagaimana dengan penyair?

Masih menggeleng.

Ah, filsuf pasti ada, kan?

Kamu lagi-lagi menggeleng.

"Sebaiknya batalkan saja. Itu syarat mutlak merdeka!” (*)

ALIURRIDHA, Penulis dan pengajar Bahasa dan Sastra Inggris Universitas Terbuka.

Editor: Dhimas Ginanjar
Ilustrator: Budiono (Jawa Pos)

Artikel ini terbit pertama kali di Rubrik Halte, Jawa Pos, edisi Sabtu 12 Agustus 2023 dengan judul "Batal Merdeka".

Ruang Literasi dan Edukasi

Post a Comment

© Untaian Abjad. All rights reserved. Developed by Jago Desain