Perjuangan Fisik Mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)

Perjuangan Fisik Mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia dari Penjajah

Setelah bangsa Indonesia memproklamasikan berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia, perjuangan kemerdekaan belumlah berakhir. Keinginan bangsa Indonesia untuk membangun sendiri negara yang merdeka dan berdaulat mendapat tantangan besar dari Pemerintah Belanda.

Secara sepihak Belanda kembali masuk ke Indonesia dengan mengatasnamakan sebagai penguasa yang sah karena berhasil mengalahkan Jepang yang sebelumnya mengambil alih kekuasaan Hindia Belanda (Indonesia) dari Belanda. Hal tersebut terjadi pasca proklamasi kemerdekaan Indonesia.

Situasi tersebut memicu gelora semangat revolusi kemerdekaan bangsa Indonesia. Baru beberapa saat Indonesia merdeka harus kembali berperang melawan Belanda yang ingin merampas kemerdekaan Indonesia.

Perjuangan mempertahankan kemerdekaan tersebut harus melewati beberapa episode penting yang mengombinasikan antara perang fisik dan perjuangan secara diplomasi atau perundingan-perundingan dalam kurun waktu antara tahun 1945 sampai 1949.

Perjuangan melawan Belanda secara fisik diantaranya yakni sembilan perlawanan yang selanjutnya akan dibahas secara singkat, padat, dan jelas dalam artikel ini. Berikut ini perlawanan fisik melawan penjajahan Belanda.

  1. Insiden Bendera di Surabaya
  2. Pertempuran Lima Hari di Semarang
  3. Pertempuran Surabaya, 10 November 1945
  4. Pertempuran Ambarawa
  5. Pertempuran Medan Area
  6. Bandung Lautan Api
  7. Pertempuran Margarana
  8. Perlawanan terhadap Agensi Militer Belanda
  9. Perang Gerilya

Ancaman terhadap keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia setelah diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 adalah kedatangan Belanda ke Indonesia. Belanda sebagai salah satu anggota Sekutu yang memenangkan Perang Dunia II, menyatakan berhak atas Indonesia karena sebelumnya mereka menjajah Indonesia.

Baca juga artikel lainnya materi Pendidikan Kewarganegaraan Kelas IX 

Mereka datang dengan membentuk Netherlands-Indies Civil Administration (NICA) dengan menumpang dalam Allied Forces Netherland East Indies (AFNEI).

Kedatangan Belanda dengan menumpang AFNEI mendapat perlawanan bangsa Indonesia. Apalagi setelah secara terang-terangan Belanda mulai menduduki wilayah Indonesia. Berikut merupakan sebagian perjuangan melawan Belanda secara fisik untuk mempertahankan kemerdekaan.

Insiden Bendera di Surabaya

Di Surabaya pada 19 September 1945 terjadi peristiwa “Insiden Surabaya”. Insiden ini bermula dari beberapa orang Belanda mengibarkan bendera Merah Putih Biru pada tiang di atas Hotel Yamato, Tunjungan. Tentu saja tindakan ini menimbulkan amarah rakyat, yang kemudian mereka menyerbu hotel itu dan menurunkan bendera tersebut serta merobek bagian yang berwarna biru, lalu mengibarkan kembali sebagai bendera Merah Putih.

Pertempuran Lima Hari di Semarang

Pertempuran terjadi mulai 15 Oktober 1945 sampai 20 Oktober 1945. Kurang lebih sebanyak 2.000 pasukan Jepang berhadapan dengan TKR dan para pemuda. Peristiwa ini memakan banyak korban dari kedua belah pihak. Bermula ketika kurang lebih 400 orang veteran AL Jepang yang akan dipekerjakan untuk mengubah pabrik gula Cepiring Semarang menjadi pabrik senjata, memberontak pada waktu dipindahkan ke Semarang kemudian menyerang polisi Indonesia yang mengawal mereka.

Dr. Karyadi menjadi salah satu korban sehingga namanya diabadikan menjadi nama salah satu rumah sakit di kota Semarang sampai sekarang. Untuk memperingati peristiwa tersebut, pemerintah membangun sebuah tugu yang diberi nama Tugu Muda.

Pertempuran Surabaya, 10 November 1945

Terjadinya pertempuran di Surabaya, diawali oleh kedatangan atau mendaratnya brigade 29 dari divisi India ke-23 di bawah pimpinan Brigadir Mallaby pada 25 Oktober 1945. Namun, kedatangannya tersebut mengakibatkan terjadinya kerusuhan dengan pemuda karena adanya  penyelewengan kepercayaan oleh pihak Sekutu.

Pada 27 Oktober 1945, pemuda Surabaya berhasil memorak-porandakan kekuatan Sekutu. Bahkan, hampir menghancurkannya, kemudian untuk menyelesaikan insiden tersebut diadakan perundingan. Namun, pada saat perundingan, terjadi insiden Jembatan Merah dan Brigadir Mallaby tewas.

Pertempuran Ambarawa

Pertempuran Ambarawa disebabkan oleh sekutu yang dipimpin Brigjen Bethel yang dibonceng NICA dengan sepihak membebaskan tawanan Sekutu yang ada di Magelang dan Ambarawa. Tindakan sekutu ini dianggap telah melanggar kedaulatan RI. 

Setelah TKR mengadakan konsolidasi, Divisi V Kolonel Sudirman memperkuat wilayah Ambarawa dengan taktik Supit Urang, yaitu dengan menyerang dari berbagai arah. Terjadilah pertempuran yang dahsyat pada 15 Desember 1945. Dalam pertempuran ini, TKR dibantu kesatuan-kesatuan dari daerah lain, yaitu dari Surakarta dan Salatiga. 

Pertempuran Ambarawa dimenangkan pihak TKR. Karena jasanya, pada 18 Desember 1945, Kolonel Sudirman diangkat menjadi Panglima Besar TKR dan berpangkat Jendral. Sampai sekarang, setiap 15 Desember diperingati sebagai hari Infanteri.

Pertempuran Medan Area

Pasukan Sekutu yang diboncengi oleh serdadu Belanda dan NICA di bawah pimpinan Brigadir Jenderal TED Kelly, mendarat di Medan pada  9 Oktober 1945. Pada 13 Oktober 1945, terjadi pertempuran pertama antara pemuda dan pasukan Belanda yang merupakan awal perjuangan bersenjata yang dikenal dengan Medan Area.

Bentrokan antara  rakyat dengan serdadu NICA menjalar ke seluruh kota Medan, dan tentara Sekutu mengeluarkan maklumat melarang rakyat membawa senjata serta semua senjata yang ada harus diserahkan kepada Sekutu. Pertempuran terus terjadi ke daerah lain di seluruh Sumatra, seperti di Padang, Bukittinggi, dan Aceh dengan peristiwa Krueng Panjol Bireuen sejak November 1945.

Bandung Lautan Api

Pada 21 November 1945, Sekutu mengeluarkan ultimatum pertama agar kota Bandung bagian utara dikosongkan oleh pihak Indonesia selambat-lambatnya 29 November 1945 dengan alasan untuk menjaga keamanan. Namun, ultimatum tersebut tidak diindahkan oleh para pejuang Republik Indonesia. 

Oleh karena itu, untuk kedua kalinya pada 23 Maret 1946, tentara Sekutu kembali mengeluarkan ultimatum supaya Tentara Republik Indonesia (TRI) mengosongkan seluruh kota Bandung. Pemerintah RI di Jakarta memerintahkan supaya TRI mengosongkan Bandung, tetapi pimpinan TRI di Yogyakarta menginstruksikan supaya Bandung tidak dikosongkan. 

Akhirnya, dengan berat hati TRI mengosongkan kota Bandung. Sebelum keluar dari Bandung pada 23 Maret 1946, para pejuang RI menyerang markas Sekutu dan membumihanguskan Bandung bagian selatan. Untuk mengenang peristiwa tersebut, Ismail Marzuki mengabadikannya dalam sebuah lagu yaitu Hallo-Hallo Bandung.

Pertempuran Margarana

Pada 2-3 Maret 1946, Belanda mendaratkan pasukannya di Bali. Saat itu, Letnan Kolonel I Gusti Ngurah Rai sedang mengadakan perjalanan ke Yogyakarta untuk mengadakan konsultasi dengan Markas Tertinggi TRI mengenai pembinaan Resimen Sunda Kecil dan cara-cara menghadapi Belanda.

Sekembalinya dari Yogyakarta, kesatuan resimennya dalam keadaan terpencar. I Gusti Ngurah Rai menggalang kekuatan dan menggempur Belanda pada 18 November 1945. Karena kekuatan pasukan tidak seimbang dan persenjataan yang kurang lengkap, akhirnya pasukan Ngurah Rai dapat dikalahkan dalam pertempuran “Puputan” di Margarana sebelah utara Tabanan Bali, hingga I Gusti Ngurah Rai gugur bersama anak buahnya.

Perlawanan terhadap Agresi Militer Belanda

Belanda selalu berusaha menguasai Indonesia dengan berbagai cara. Berbagai perundingan yang dilakukan sering kali dilanggar dengan berbagai alasan. Untuk menguasai seluruh wilayah Indonesia, Belanda melancarkan agresi militer sebanyak dua kali. Agresi Militer I dilaksanakan pada 21 Juli 1947, dengan menguasai daerah-daerah yang dikuasai oleh Republik Indonesia di Sumatra, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.

Indonesia secara resmi mengadukan agresi militer ini kepada PBB dan akhirnya atas tekanan resolusi PBB tercapai gencatan senjata.  Agresi kembali dilakukan pada 19 Desember 1948 yang diawali dengan serangan terhadap Yogyakarta, ibu kota Indonesia saat itu, serta penangkapan Soekarno, Mohammad Hatta, Sjahrir, dan beberapa tokoh lainnya.

Jatuhnya ibu kota negara ini, menyebabkan dibentuknya Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Sumatra yang dipimpin oleh Sjafruddin Prawiranegara. Setelah Yogyakarta dikuasai Belanda, perlawanan bangsa Indonesia dilakukan dengan mengubah strategi dengan cara perang gerilya. 

Salah satu hasil perang gerilya adalah Serangan Umum 1 Maret 1949, yang dipimpin oleh Jenderal Sudirman. Serangan ini memberi dampak bagi dunia internasional tentang keberadaan NKRI.

Perang Gerilya

Perlawanan bangsa Indonesia juga menggunakan strategi perang gerilya, yaitu perang dengan berpindah-pindah tempat. Sewaktu-waktu menyerang berbagai posisi tentara Belanda, baik di jalan maupun di markasnya. Salah satu perang gerilya, dipimpin oleh Jenderal Soedirman. 

Ia bergerilya dari luar kota Yogyakarta selama delapan bulan ditempuh kurang lebih 1.000 Km di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tidak jarang, Soedirman harus ditandu atau digendong karena dalam keadaan sakit keras. Setelah berpindah-pindah dari beberapa desa, rombongan Soedirman kembali ke Yogyakarta pada 10 Juli 1949.

Kolonel A. H. Nasution, selaku Panglima Tentara dan Teritorium Jawa, menyusun rencana pertahanan rakyat Totaliter yang kemudian dikenal sebagai Perintah Siasat Nomor I, salah satu pokok isinya ialah tugas pasukan-pasukan yang berasal dari daerah-daerah federal untuk menyusup ke belakang garis musuh dan membentuk kantong-kantong gerilya sehingga seluruh Pulau Jawa akan menjadi medan gerilya yang luas.

Salah satu pasukan yang harus menyusup ke belakang garis musuh adalah pasukan Siliwangi. Pada 19 Desember 1948, bergeraklah pasukan Siliwangi dari Jawa Tengah menuju daerah-daerah kantong yang telah ditetapkan di Jawa Barat. Perjalanan ini dikenal dengan nama Long March Siliwangi, yaitu sebuah perjalanan yang jauh, menyeberangi sungai, mendaki gunung, menuruni lembah, melawan rasa lapar dan letih, serta dibayangi bahaya serangan musuh.

Ruang Literasi dan Edukasi

Post a Comment

© Untaian Abjad. All rights reserved. Developed by Jago Desain