BUNGA WIJAYAKUSUMA [Cerita Rakyat]
Pada zaman dahulu, ada setangkai bunga yang tidak pernah layu. Bunga langka itu, konon tidak hanya berkhasiat menyembuhkan segala penyakit, tetapi juga bisa menghidupkan orang yang sudah mati. Orang-orang percaya asal muasal bunga ajaib itu dari benang sari Bunga Wijaya Kusuma milik dewa Wisnu di kayangan yang jatuh dan tumbuh di dunia. Bunga inilah yang kemudian dicari orang untuk dijadikan jimat agar pemiliknya hidup abadi di dunia.
Pada suatu ketika, ada seorang raja dari Tanah Jawa yang
bermimpi menemukan bunga Wijaya Kusuma tumbuh di sebuah pulau karang di laut
selatan. “Aku bermimpi! Aku tak bisa mati!” teriak raja dalam tidurnya.
“Ada apa, Kanda? Siapa yang tak bisa mati?” tanya
permaisuri yang terbangun karena teriakan suaminya.
“Ah, Dinda. Kita akan hidup selamanya. Aku tahu di mana tempat Kembang Wijaya Kusuma berada,” jawab baginda yang kemudian menceritakan perihal mimpinya.
Keesokan harinya, raja tersebut segera memanggil semua
prajurit kepercayaannya. Raja memerintahkan untuk memetik Bunga Wijaya Kusuma
yang tumbuh di Pulau Karang di Laut Selatan, yang dikenal sebagai Pulau Karang
Badong.
“Tetapi Baginda, bunga itu tidak bisa dipetik pada
sembarang waktu,” kata penasihat istana.
“Apa maksudmu tidak bisa dipetik sepanjang waktu?” tanya
raja tidak senang.
“Maksudnya bunga itu hanya bisa dipetik ketika cuaca di
langir sedang cerah dan Laut Selatan sedang tenang…”
“Ah, kamu sungguh bodoh, kalau aku menunggu saranmu, bunga itu sudah diambil orang!” kata raja tak dapat dibantah lagi.
Akhirnya, serombongan prajurit kerajaan berangkat
meninggalkan istana menuju Laut Selatan. Sebenarnya, mereka pergi dengan
dibayangi rasa takut. Petugas istana pernah menyatakan bahwa siapa pun yang
melanggar pantangan akan mendapat malapetaka, bukan panjang umur.
Sesampai di pantai Laut Selatan, perasaan mereka bertambah kecut. Ketika itu, tinggi ombak pantai Laut Selatan setinggi bukit. Pulau Karang Badong yang ada di tengah samudera kadang tampak dan kadang lenyap terhalang gelombang. Suasana yang demikian memang bukan saat yang tepat memenuhi perintah raja.
Di tengah rasa bingung, mereka melihat seorang nelayan
duduk merenung sambil memandangi laut yang bergelora. Para prajurit kerajaan
itu segera menghampirinya. “Kenapa engkau duduk melamun seorang diri di sini?
Mana nelayan yang lain?” tanya para punggawa utusan raja itu.
“Oh, maafkan hamba, Gusti. Hamba hanya sedang merenungi
nasib,” jawab nelayan itu terbata-bata dan tidak mengingat pertanyaan para
utusan raja itu.
“Merenungi nasib? Memangnya kenapa dengan nasibmu?” desak
para punggawa raja.
“Hamba benar-benar menjadi nelayan yang tak berguna, Gusti.
Hamba seorang nelayan, tetapi tidak memiliki perahu,” ujar nelayan itu mengiba.
Mendengar jawaban nelayan itu, para utusan raja berseri-seri wajahnya. mereka menemukan pemecahan masalah yang dihadapinya. “Baik, aku akan mengubah nasibmu,” kata para utusan raja itu bersungguh-sungguh.
“Mengubah nasib hamba, Gusti?”
“Benar. Jangankan perahu, lebih dari itu kamu akan
memilikinya. Asalkan…”
“Asalkan apa, Gusti. Katakanlah…,” sahut nelayan itu tak
sabar.
“Asalkan kamu bisa mengambil Kembang Wijaya Kusuma…,”
“Kembang Wijaya Kusuma yang tumbuh di Pulau Karang Badong
itu, Gusti?” tegas nelayan itu.
“Benar, apakah kamu tahu?” “Hamba tahu gusti, tetapi sangat berbahaya sekarang ini untuk pergi ke sana,” jawab nelayan itu.
Namun, pada akhirnya, nelayan itu pergi karena tergiur
banyaknya hadiah yang akan diterima. Dengan meminjam perahu milik saudaranya,
nelayan itu nekat menempuh ganasnya ombak Pantai Laut Selatan menuju Pulau
Karang Badong, tempat tumbuhnya Kembang Wijaya Kusuma.
Nelayan itu harus benar-benar mengerahkan seluruh keberanian dan keterampilannya agar bisa sampai ke Pulau Karang Badong. Begitu sampai, nelayan itu cepat-cepat mendaki tebing tinggi untuk segera bisa memetik bunga langka itu. Akan tetapi, begitu dia berhasil memetiknya, tiba-tiba saja di sekelilingnya sudah berdiri wajah-wajah menyeramkan. Wajah-wajah setan juga ingin memiliki bunga dewata agar bisa hidup selamanya.
“Ha…apakah kamu sudah bosan hidup berani memetik bunga itu!
Ayo serahkan bunga itu?” teriak setan-setan berwajah seram itu.
“Tidak, bunga ini untuk raja,” kata nelayan itu sambil
berlari menerobos kepungan setan-setan itu dengan senjata parangnya.
Nelayan berlari menuju perahunya. Namun, ia melihat
perahunya sudah hancur dihantam ombak di antara baru karang. Tubuh nelayan itu
langsung menggigil ketakutan membayangkan nasibnya, mati ditelan ganasnya ombak
Laut Selatan, atau dibunuh oleh setan penunggu Pulau Karang Badong.
Akhirnya,ketika para setan yang mengejarnya semakin dekat,nelayan itu tidak
punya pilihan lagi.
“Oh Dewa, tolonglah hambamu ini!” teriak nelayan itu dan
kemudian menceburkan diri ke dalam ombak yang bergulung-gulung. Tubuh nelayan
itu timbul tenggelam dalam gulungan ombak. Namun jiwa nelayannya menjadikan dia
tidak menyerah. Dengan sekuat tenaga, dia berenang meraih sebuah papan yang
rupanya berasal dari pecahan perahu miliknya.
Nasib baik masih bersama nelayan itu. Dengan memeluk erat-erat pecahan papan,tubuh nelayan itu ditemukan oleh para prajurit dalam keadaan sekarat. Namun, para utusan raja itu ternyata tidak bertanggung jawab para utusan raja itu hanya mengambil Kembang Wijaya Kusuma, sementara tubuh nelayan yang malang itu dibiarkan begitu saja.
Namun, pada akhirnya, raja dan punggawa yang telah berani
melanggar pantangan itu harus menanggung akibatnya. Satu per satu prajurit raja
itu mati tanpa diketahui sebabnya yang pasti. Sementara itu, raja sendiri
menjadi gila dan meninggalkan istana. Nelayan yang semula begitu mengutuk para
utusan raja yang telah membohonginya, akhirnya masih dapat bersyukur. Dia
bersyukur meskipun tidak mendapatkan perahu. Jiwanya masih selamat.
Lalu, bagaimana nasib Kembang Wijaya Kusuma itu? Bunga itu
menghilang secara gaib,kembali kepada para dewa.
Post a Comment