Penyebaran Pengajaran dan Mobilitas Sosial pada Bagian Pertama Abad 20

Didirikannya sekolah-sekolah pada zaman kolonial sudah tentu tujuan utamanya ialah untuk kepentingan pemerintah kolonial.

Didirikannya sekolah-sekolah pada zaman kolonial sudah tentu tujuan utamanya ialah untuk kepentingan pemerintah kolonial. Jenis, tingkat, dan mutu sekolah tersebut juga disesuaikan dengan kebutuhan pada waktu itu. Terutama untuk memperoleh tenaga-tenaga bawahan (kasar) yang terdidik. Hal tersebut dikarenakan menjelang akhir abad 19 sekolah yang disebut “modern” terbatas sekali.

Mula-mula diperkenalkan kepada rakyat pribumi ada dua macam sekolah dasar, yaitu.

  1. Sekolah Kelas Dua, ialah sekolah untuk mendidik calon-calon pegawai rendah; muridnya berasal dari golongan masyarakat biasa.
  2. Sekolah Kelas Satu, ialah sekolah khusus anak-anak dari golongan masyarakat menengah.

Untuk anak-anak Eropa dan orang asing lainnya didirikan sekolah yang hanya khusus untuk mereka.

Baca juga ragam artikel SEJARAH biar tidak melupakan Jas Merah.

Sejak awal abad 20 diperkenalkan sistem sekolah desa. Penyelenggaraan sekolah ini tergantung kepada kemampuan masyarakat setempat. Pemerintah hanya memberikan subsidi dan pengawasan.

Mata pelajaran yang diajarkan ialah membaca, menulis, dan berhitung. Jadi sangat terbatas sekali. Namun, murid-murid yang terpandai dan terpilih dapat melanjutkan ke sekolah sambungan.

Anak-anak golongan atas didirikan sekolah HIS (Sekolah Dasar). Pada sekolah ini bahasa Belanda juga menjadi bahasa pengantar. Setelah lulus, mereka dapat melanjutkan ke MULO (SMP) dan seterusnya ke AMS (SMA).

Baca juga Perubahan Struktur Sosial-Ekonomis pada Bagian Pertama Abad 20

Namun, tidak semua murid yang lulus dapat melanjutkan pelajarannya. Ada beberapa syarat tertentu yang harus dipenuhi oleh mereka. Syarat-syarat tersebut antara lain ialah harus mengikuti testing serta ditinjau kedudukan dan penghasilan orang tuanya.

Untuk melanjutkan ke perguruan tinggi pada mulanya tentu harus ke Eropa (Negeri Belanda). Sejak 1920 keadaan itu agak berkurang karena beberapa perguruan tinggi telah ada di Indonesia. Misalnya, sekolah kedokteran, hukum, pertanian, dan teknik.

Di samping sekolah umum juga ada sekolah kejuruan, seperti sekolah pamongpraja, sekolah guru, sekolah teknik, sekolah dagang, dan sebagainya.

Baca juga beragam artikel Sudut Pandang dari berbagai tokoh berpengaruh, akademisi, dan para pemikir atau ahli

Sudah tentu di samping adanay sekolah pemerintah juga ada sekolah swasta. Baik swasta asing maupun swasta pribumi. Sekolah yang diusahakan swasta asing, yaitu missi dan zending, di beberapa daerah bahkan mengalahkan peranan sekolah pemerintah. Seperti di daerah Sulawesi Utara dan Tapanuli.

Sekolah swasta pribumi biasanya didirikan oleh organisasi partai atau organisasi keagamaan. Seperti sekolah-sekolah yang didirikan Sarekat Islam dan Muhammadiyah. Selai itu, juga terkenal sekolah-sekolah Taman Siswa, Ksatrian Institut, Perguruan Rakyat, adn INS Kayutanam.

Penyebaran pegajaran melalui sekolah, walaupun tidak merata, telah terjadi di seluruh Indonesia. Daerah di mana kekuasaan pemerintah telah berakar sampai ke desa-desa, penyebarannya sudah luas sekali. Umumnya antara 1910-1930 merupakan masa subur bagi perluasan pengajaran.

Baca juga artikel serupa di SINAU KEWARGANEGARAAN

Sesudah 1930 karena adanya penghematan anggaran belanja pemerintah, pertumbuhan dan perluasan pengajaran agak menurun. Bila ditinjau dengan angka dapat diperoleh data-data sebagai berikut.

  1. Sekolah Desa: 1910= 71.239; 1920=423.314; 1930=1.229.666; dan 1940=2.186.374 murid pribumi.
  2. Sekolah Menengah Umum: 1910=50; dan 1930 7.776 murid pribumi.
  3. Perguruan Tinggi: dari seluruh mahasiswa sejak dibukanya perguruan tinggi yaitu 3.242 di antaranya 1.489 dari glongan pribumi, sisasnya dari golongan Eropa dan Cina.

Walaupun bila dilihat dengan angka jumlahnya besar, tetapi yang lulus hanya beberapa persen saja. Bahkan secara keseluruhan jumlah ini adalah kecil bila dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia. Dalam sensus penduduk 1930 di antara 60 juta rakyat Indonesia yang bisa membaca dan menulis hanya 6,44%.

Baca juga Politik Kolonial Sampai Akhir Hindia Belanda

Didirikannya sekolah-sekolah tersebut sangat menarik perhatian masyarakat. Sampai pada akhirnya, tujuannya kemudian menyimpang dari semula.

Bagi golongan bawah (rakyat jelata) perluasan pengajaran dipandang sebagai jembatan ke arah lingkungan hidup baru. Artinya, hidup dalam kepegawaian (priyayi); bagi golongan menengah dipandang dapat memperkuat kedudukannya.

Pandangan ini kemudian berpengaruh pada penunjukan pejabat-pejabat atau pegawai pemerintah. dengan demikian anak priyayi maupun anak bangsawan yang berpendidikan sekolah akan mudah diterima sebagai pegawai  pemerintah.

Penyebaran pengajaran yang bercorak Barat, di mana pelbagai macam ilmu diajarkan, memperluas pula dengan cepat lapangan kerja baru. Seseorang akan menjadi ahli hanya apda ilmu yang dipelajarinya dan ia akan bekerja sesuai dengan ilmu yang dimilikinya.

Baca juga Politik Etis: Politik Kolonial pada Peralihan Abad 19-20

Di samping itu, pelajar-pelajar dan mahasiswa yang berasal dari lingkungan dan adat istiadat yang berbeda kini memiliki pola berpikir yang sama. Dengan demikian komunikasi antar mereka menjadi lebih mudah.

Hal ini sangat menguntungkan dalam Pergerakan Nasional. Selain itu, dengan ilmu yang mereka terima menjadi lebih dapat mengenal lingkungan masing-masing.

Oleh karena tujuan pengajaran kolonial telah ditentukan maka arahnya sangat bersifat kepegawaian. Artinya, mereka dididik untuk keperluan menjadi pegawai kolonial.

Ada kecenderungan waktu itu, bahwa kerja dan kedudukan tidak semata-mata tergantun kepada kemampuan otak seseorang, tetapi selalu berkait erat dengan ras (warna kulit) dan keturunan. 

Hal tersebut berarti walaupun mempunyai kecerdasan yang sama orang berkulit putih harus ditamakan dan orang yang berpangkat harus didahulukan. Akibatnya timbul orang-orang terpelajar dan tenaga terdidik yang berada di luar sasaran semula. 

Oleh karena kepincangan tersebut, kemudian mereka menolak sistem kolonial. Mereka inilah yang kemudian terpanggil untuk memimpin Pergerakan Nasional.

Baca juga CERPEN dan PUISI untuk menghibur dan memotivasi jiwa dan pikiranmu setelah seharian lelah beraktivitas, bekerja, atau belajar.

Pertumbuhan corak pendidikan modern yang diusahakan oleh pemerintah juga mempengaruhi tumbuhnya sekolah swasta. Beberapa perguruan swasta seperti Taman Siswa, Ksatrian Institut, INS Kayutanam, dan Perguruan Rakyat berusaha juga mengembangkan budaya nasional untuk mengimbangi pengaruh budaya Barat.

Di samping itu sekolah-sekola agama mulai pula memperbaharui sistem dan metode pengajaran mereka. Berbagai jenis pengajaran umum mulai diperkenalkan, terutama sekolah-sekolah yang diusahakan oleh pembaharu-pembaharu Islam.

Di beberapa daerah, sekolah jenis ini berkembang dengan pesat, seperti sekolah-sekolah Islam di Sumatra Barat dan sekolah yang diusahakan oleh Muhammadiyah. Kebanyakan sekolah swasta Pribumi bersikap nasionalis yang anti kolonial.

Baca juga Cerpen Guru Honorer Karya Muhammad Abdul Hadi

Akibat lain daripada meluasnya pengajaran ini ialah berkembangnya pelbagai ideologi. Hal tersebut dikarenakan pelajar berasal dari pelbagai daerah dan lingkungan budaya serta tingkat sosial dan ekonomi yang berbeda. Cara mereka menilai lingkungan pun berbeda-beda pula. Oleh karena itu, rumusan cita-cita mereka berbeda-beda pula, sebagian dari mereka mengkaitkan diri dengan kebangkitan Islam.

Dengan ilmu yang diperoleh, perubahan status sosial mereka dapat terlaksana. Seorang anak dari pegawai rendah atau dari golongan/lapisan bawah dengan kelebihan ilmu yang dimilikinya dapat meningkatkan status di dalam pergaulan masyarakat. 

Pada akhirnya, kemudian terjadi pergeseran atau pertentangan dalam pergaulan dalam kaum bangsawan (lapisan elite tradisional) yang tetap mempertahankan lambang status mereka. Begitulah perkembangan pengajaran dan pengaruh penerobosan ekonomi-uang telah menimbulkan dua macam mobilisasi sosial.

Pertama, mobilisasi vertikal, artinya perubahan status seseorang naik dari tingkat bawah ke tingkat yang leih atas. Umpamanya anak seorang guru sekolah dasar dapat menjadi guru sekolah menengah atau jadi dokter, sarjana hukum atau sarjana ekonomi.

Kedua, mobilitas horizontal, artinya perubahan status seseorang dapat berubah-ubah dalam tingkat yang sama. Umpamanya petani dapat menjadi karyawan perkebunan, pabrik atau tukang yang dalam masyarakat lama belum ada.

Baca juga Menyusu Ibu Karya Dian Supangat

*Disarikan dari buku Sejarah Nasional Indonesia terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 1981

Ruang Literasi dan Edukasi

Post a Comment

© Untaian Abjad. All rights reserved. Developed by Jago Desain