Saya yang Membakar Kota M Sekali Lagi karya M. Aan Mansyur
SAYA membakar Kota M
meskipun para penduduknya yang tersisa sudah bersusah payah membangunnya
kembali. Tiga tahun silam kota ini tidak lebih dari tumpukan abu karena ulah
sekelompok anak muda dungu dan berapi-api.
Saya tidak melakukannya
sendiri. Saya percaya tidak ada satu pun pekerjaan di dunia ini mampu
diselesaikan hanya dengan dua tangan dan satu kepala, apalagi perkara besar
seperti membakar kota. Dengan uang yang saya kumpulkan kurang-lebih dua tahun
bekerja sebagai penyedia waktu di Perpustakaan Terakhir, saya membayar dua
puluh satu pemuda yang tidak tahu dan tidak mau tahu untuk apa mereka hidup.
Menemukan pengangguran putus harapan seperti mereka sama mudahnya dengan
melontarkan umpatan tidak bertanggung jawab terhadap kebodohan orang lain.
Mereka lahir dari orang tua
yang gila kuasa dan tidak pernah membiarkan anak mereka menentukan satu pun
pilihan untuk hidup mereka sendiri. Para pemuda itu bahkan tidak bisa
menyebutkan jenis musik yang mereka gemari.
Jika kalian bertanya mengapa
saya membakar Kota M, demi apa pun yang selalu mengusik pikiranmu sebelum
tidur, kepala saya sudah retak oleh pertanyaan yang sama, dan itulah alasan
saya menuliskan pengakuan ini. Saya kerap menulis semata-mata demi
menyelamatkan nyawa saya, untuk menjawab pertanyaan saya sendiri tentang
hal-hal yang saya anggap genting, dan beberapa kali saya berhasil. Mendiang
bapak saya seorang penulis. “Belajarlah menulis seolah hidup ini memaksamu
untuk memberikan bantuan pernapasan kepada dirimu sendiri,” katanya kepada saya
beberapa bulan sebelum ia mati bunuh diri dengan melompat dari lantai tiga
hotel di pinggir laut milik mantan wali kota yang dia benci.
Hanya sedikit manusia di
dunia ini yang tidak dibenci oleh bapak saya dan, menurut dia, menjadi penulis
adalah jalan paling aman bagi para pembenci, terutama bagi mereka yang membenci
diri sendiri. Satu hal yang saya tahu betul mengenai Kota M: seluruh penduduknya
tidak pernah berhasil menghindarkan diri mereka dari kenangan. Mereka—termasuk
saya—tidak lebih dari sekawanan manusia yang hidup berjalan mundur. Seluruh
warga Kota M menganggap hal-hal indah hanya ada di masa lalu. Masa depan hanya
angan-angan dan sama sekali tidak layak menjadi tujuan.
Di Perpustakaan Terakhir, di
jantung Kota M, tempat yang sebetulnya lebih tepat disebut kafe, 372 hari yang
lalu, Jiwa melamar saya dan, meskipun sedikit bimbang dengan keputusan saya
sendiri, saya menerimanya. Tidak ada rak berisi buku di Perpustakaan Terakhir.
Tidak ada komputer di mana pengunjung bisa menemukan buku elektronik. Sama
sekali tidak ada buku yang bisa dipinjam atau dibaca sebagaimana umumnya
perpustakaan yang kita kenal selama ini. Sejak Kota M dibakar oleh para pemuda
dungu sialan itu, tidak ada lagi orang yang memiliki waktu untuk membaca buku.
Atau, jika mengikuti cara Luri selalu menjelaskannya, setiap orang di kota ini
telah menjelma jadi buku tebal yang menyedihkan dan butuh orang lain untuk membacanya
karena telah lelah membaca kesedihan mereka sendiri.
Bangunan berlantai dua yang
hampir seluruh dindingnya terbuat dari kaca buram karena jarang dibersihkan itu
berisi meja dan kursi besi yang dicat dan ditata sekenanya—satu meja diapit dua
kursi—dan kalian bisa memesan minuman atau makanan layaknya di kafe biasa.
Perpustakaan Terakhir sesungguhnya tidak pernah betul-betul ramai, kecuali
sesekali di akhir pekan, karenanya tidak membutuhkan lebih dari dua orang
pegawai untuk mengurusnya.
Sepanjang menjadi penyedia
waktu di Perpustakaan Terakhir, saya selalu memesan kopi. Hanya kopi. Sebab,
kalian tahu, hal paling penting bagi orang yang susah tidur seperti saya adalah
minum kopi. Dan, satu-satunya pegawai yang akan melayani seluruh kebutuhan pengunjung
Perpustakaan Terakhir adalah Luri, perempuan pendiam yang senang menulis puisi
dan mengidap misophonia parah. Dia selalu menyumbat kedua telinganya dengan
kapas jika ada pengunjung sedang makan. Bunyi decap lidah orang yang mengunyah
makanan serta-merta bisa membuat dia gila dan ingin jadi pembunuh. Luri yang
menyeduh kopi—dia paham betul selera saya—dan memasak makanan pesanan para
pengunjung. Dia pula yang mengatur jadwal pertemuan antara para penyedia waktu
dan anggota perpustakaan yang membutuhkan. Perpustakaan Terakhir adalah Luri.
Satu-satunya yang bisa
dipinjam di Perpustakaan Terakhir adalah waktu dan hanya itu alasan kenapa
disebut perpustakaan. Waktu, kata Luri, adalah buku atau buku adalah
waktu—terserah mana yang kalian piker tepat atau terdengar lebih indah. Jangan
membayangkan kisah fiksi ilmiah atau novel dan film pascakiamat. Di
Perpustakaan Terakhir ada beberapa orang seperti saya yang bekerja menyediakan
waktu beberapa jam setiap minggu untuk dipinjam oleh siapa pun yang butuh didengarkan—atau
dibaca, jika kalian setuju dengan cara pandang Luri. Kebutuhan pokok penduduk
Kota M, kata Luri ketika saya mendaftarkan diri jadi penyedia waktu, adalah
dibaca. Semua orang memiliki kisah yang panjang dan berat. Mereka butuh pembaca
yang betah dan tabah—dan, terutama, mereka rela membayar mahal untuk itu.
Kebutuhan itulah yang menggerakkan bisnis waktu di Perpustakaan Terakhir.
Di sela-sela pekerjaan utama
sebagai penjaga toko pakaian, saya memutuskan menjadi penyedia waktu sejak
Perpustakaan Terakhir dibuka. Dan, barangkali seperti yang kalian sudah duga,
Jiwa adalah salah seorang penduduk Kota M yang sering dan senang menyewa waktu
saya. Jika kalian bertanya mengapa saya jadi penyedia waktu, saya bisa menyebut
sederet alasan yang barangkali terdengar lebih masuk akal dan tidak memancing
rentetan pertanyaan lain, seperti yang selalu saya katakana kepada orang-orang.
Misalnya, tentu saja, untuk mengisi waktu senggang sambil mencari penghasilan
tambahan—dan memang keduanya tidak salah. Tetapi, kepada Jiwa, dan hanya dia,
saya mengutarakan sejujur-jujurnya alasan utama saya.
Saya ingin mendengarkan
sebanyak mungkin kisah sedih yang lebih sedih daripada kisah hidup saya supaya
bisa memaafkan—atau, tepatnya, menenangkan—diri saya sendiri. Luri pernah mengatakan
hal ini kepada saya dan saya percaya: “Jika kau masih ingin hidup, cara paling
ampuh menyembuhkan satu luka adalah menutupinya dengan luka yang lebih besar.”
Sesungguhnya diam-diam saya
mulai sadar telah jatuh mencintai Jiwa pada pertemuan ketiga di pojok favorit
kami, di balkon belakang Perpustakaan Terakhir, dan membuat saya semakin benci
diri sendiri karena merasa begitu mudah jatuh hati. Saya seperti menemukan
laki-laki yang saya cintai lahir kembali dari dalam diri Jiwa. Laki-laki yang
saya maksud adalah kekasih Alika, saudara kembar saya. Alika dan laki-laki yang
saya dan dia cintai tersebut ikut hangus terbakar dan mayat mereka tidak pernah
ditemukan. Kadang-kadang dengan sungguh-sungguh geram saya bayangkan mereka
mati sambil berpelukan di bilik penginapan murah. Tubuh telanjang mereka
dilumat api hingga habis.
Sejak pertemuan ketiga
dengan Jiwa, saya selalu berpikir bahwa saya telah mengkhianati orang-orang
yang saya cintai, termasuk diri saya sendiri. Terdengar tolol memang, saya
tahu. Setiap detik hidup saya berubah menjadi pelajaran—sebab terlalu
berlebihan dan konyol menyebutnya perjuangan—mengendalikan diri.
Namun, ibu saya yang malang
dan sangat mencintai mendiang bapak saya pernah bilang, “Cinta adalah
penderitaan yang tidak mampu dielakkan oleh siapa pun. Cinta adalah bencana
yang tidak peduli dan indah.”
Ibu saya juga ikut ditelan
api bersama rematiknya yang amat gampang kumat. Waktu kebakaran terjadi, saya
meletakkan tubuh ibu saya di tengah jalan setelah saya kehabisan tenaga menggendongnya
dan berusaha menyeret dan menyelamatkan diri sendiri. Tempat itu tidak jauh
dari rumah kami; di depan kantor polisi yang selalu kosong. Kadang-kadang,
kalian tahu, saya sedih sekali dan ingin bunuh diri jika mengingat kejadian
itu.
SAYA yang membakar kembali
Kota M tujuh bulan setelah menikah dengan Jiwa. Sampai di bagian ini, saya
belum tahu mengapa saya melakukan kebodohan yang sebelumnya dengan baik telah
ditunjukkan oleh sekelompok pemuda goblok yang sampai sekarang masih sering
membuat saya gondok.
Sebelum kebakaran oleh ulah
para pemuda dungu itu, yang berlangsung selama sembilan hari, setidaknya ada
800.000 manusia menghuni kota ini. Hanya seperempat dari mereka yang sempat
selamat. Kalian bisa menghitung sendiri berapa banyak manusia yang hangus dan
berubah jadi tumpukan abu. Sungguh, demi kebaikan kalian, jangan sekali-kali
mencoba membayangkan wajah dan aroma udara Kota M selama beberapa minggu
selepas peristiwa itu.
“Neraka pernah menunjukkan
diri dengan sempurna di sini. Dante, andai dia termasuk warga yang selamat,
akan mengumpat maut yang membiarkannya lepas,” kata Luri. Saya tidak tahu siapa
Dante dan apa hubungannya dengan kebakaran hebat itu.
Penduduk yang berhasil lolos
tidak punya pilihan selain membesar-besarkan hati sendiri—mereka mengatakan
kobaran api suci telah membersihkan kota dan hidup mereka dari kenistaan—dan
mulai membangun kembali puing-puing kota dan kemudian bersepakat menyebutnya
Kota M. Mereka membiarkan nama lama yang lucu musnah bercampur dengan abu dan menjadi
alas tempat kota baru berdiri.
Dulu, sebelum dibakar oleh
para pemuda yang menamai diri mereka Front Penyelamat Kota, siapa pun pasti
terpingkal-pingkal setiap kali mendengar atau membaca nama kota ini. Setiap
hari ada kebodohan yang tidak bisa diterima akal manusia terjadi dan tersiar di
media yang memang mencari hidup dari perihal semacam itu. Dan, demi
menghentikan lelucon itu, segerombolan pemuda tolol membakar kota mereka
sendiri. Mereka tidak menyangka bisa menciptakan neraka. Mereka tidak menduga
bisa menghabisi kota dan membunuh ratusan ribu manusia, termasuk keluarga
mereka, hanya dalam waktu sembilan hari. Mereka tidak bisa menerima ketololan
mereka dan memutuskan ramai-ramai bunuh diri sehari setelah kobaran api
akhirnya padam sendiri.
Orang-orang tidak tahu harus
tertawa atau menangis ketika mendengar nama asli Kota M tidak sengaja
disebutkan—sebab, kata Luri dalam salah satu puisinya, kadang-kadang kenangan
datang bagai badai dari dalam diri, tidak terduga dan tidak bisa dihindari,
untuk menyeret dan memasukkanmu ke dalam celah sempit antara keriangan dan
kesedihan.
SAYA dan Jiwa dua di antara
penduduk Kota M yang selamat dari kebakaran dan harus menanggung kutukan hidup
sebagai buku tebal. Kisah kami sama-sama sedih, namun Jiwa memiliki kisah yang
jauh lebih sedih dan kadang-kadang saya berpikir itulah alasan mengapa saya
menerima lamarannya.
Pada pertemuan ketujuh kami,
beberapa menit sebelum matahari terbenam, untuk kali pertama saya melihat Jiwa
tersenyum. Dia menyodorkan kopi dengan tangan sedikit gemetar. Saya merasakan
getaran tubuhnya menjalar lembut di lengan saya—juga, andai mau sedikit lebih
puitis, menggetarkan bagian paling dalam diri saya. Ada sesuatu yang tumbuh
dari sepasang mata Jiwa. Saya seperti menyaksikan matahari terbit berkali-kali
hanya dalam tempo beberapa detik—dan tanpa sadar malam sudah jatuh menyelebungi
balkon Perpustakaan Terakhir. Jauh dari dalam diri saya merekah kebahagiaan dan
kesedihan. Serempak. Jiwa, saya tahu, melihat keduanya pecah di mata saya.
“Saya minum terlalu banyak
kopi hari ini. Semalam saya tidak bisa tidur,” kata Jiwa.
“Siapa yang mengacaukan
pikiranmu?”
“Pertemuan ini dan Akila.”
Jiwa menyebut nama saya
untuk pertama kalinya di depan saya dan membuat saya tertawa. Dia tampak heran.
“Jangan tatap mata saya
seperti itu. Saya benci mengalihkan pembicaraan,” kata saya.
“Dengar, Akila, saya ingin
menikah denganmu.”
Saya tidak terkejut.
Sejak pertemuan ketiga kami,
entah kenapa, saya merasa cepat atau lambat Jiwa pasti akan mengucapkan kalimat
itu.
“Saya telah menyodorkan
kerumitan baru kepadamu. Saya tahu,” kata Jiwa.
“Sudah pukul sembilan, Luri
harus menutup perpustakaan. Besok hari libur, saya punya waktu empat jam yang
bisa kau pinjam.”
“Bukan hari libur. Besok
hari ulang tahun saya,” katanya.
“Besok saya punya waktu dua
belas jam. Semuanya untukmu. Cuma-cuma,” kata saya. “Dan
“Dan?”
“Saya siap jadi istrimu.”
Luri memadamkan satu demi
satu mata lampu di ruang dalamperpustakaan. Saya dan Jiwa beranjak meninggalkan
balkon. Sebelum masuk dan melewati pintu, tidak jauh dari tangga, Jiwa menarik
tangan saya dan mengecup punggungnya dan saya mendongak.
Langit dipenuhi
bintang-bintang. Tidak ada bulan.
SAYA yang membakar ulang
Kota M tujuh hari setelah Jiwa bunuh diri. Sungguh mati, saya tidak paham
kenapa dia mengakhiri hidupnya dan meninggalkan saya dengan cara yang begitu
menyedihkan. Saya telah berusaha semampu saya mencari tahu penyebabnya. Tidak
ada satu pun petunjuk yang bisa membantu saya untuk mengerti apa yang
sesungguhnya terjadi.
Kebingungan saya mencapai
puncaknya, sehari setelah pemakaman Jiwa, saat Luri menyerahkan selembar surat
wasiat dan kunci Perpustakaan Terakhir. Sehari setelah itu, Luri menghilang
entah ke mana. Dalam surat wasiat tersebut, Jiwa mengatakan Perpustakaan
Terakhir sekarang sah menjadi milik saya.
Betapa tolol saya tidak
mengetahui bahwa Jiwa adalah pemilik Perpustakaan Terakhir!
Malam itu, dari jantung
kota, di balkon belakang Perpustakaan Terakhir, saya mulai menyalakan api. Para
pemuda harapan yang saya bayar melakukan hal yang sama dari sudut-sudut berbeda
yang sudah ditentukan.
SAYA yang membakar Kota M
sekali lagi dan, sampai di sini, saya sama sekali belum tahu mengapa saya
melakukannya.
Cerpen M. Aan Mansyur, Pustakawan di Katakerja di Makassar. Dimuat Koran Tempo, edisi 23-24 Januari 2016Makassar, 2015
Post a Comment