Septinus George Saa; Kisah Sang Jenius dari Tanah Papua
![]() |
Gelar sarjana di bidang teknik penerbangan di Florida, AS. Sumber Gambar : bbc.com |
….Saya ingin jadi ilmuwan. Sebenarnya ilmu itu untuk mempermudah hidup. Ilmu pengetahuan dan teknologi itu membuat hidup manusia menjadi nyaman. Saya berharap kalau saya menjadi ilmuwan, saya dapat membuat hidup manusia menjadi lebih nyaman – Septinus George Saa
Septinus George Saa adalah seorang
pemenang lomba First Step to Nobel Prize in Physics pada tahun 2004 dari
Indonesia. Makalahnya ilmiahnya berjudul Infinite Triangle and Hexagonal
Lattice Networks of Identical Resisto. Bahkan ia pun menemukan rumus Penghitung
Hambatan antara Dua Titik Rangkaian Resistor yang kemudian diberi namanya
sendiri yaitu “George Saa Formula”.
Prestasi pemuda berusia 19 tahun ini
sangat mengagumkan. Rumus yang ditemukannya berhasil memenangkan First Step to
Nobel Prize in Physic yang itu mengungguli ratusan paper dari 73 negara yang
masuk ke meja juri. Para juri yang terdiri dari 30 jawara fisika dari 25 negara
itu hanya membutuhkan waktu tiga hari untuk memutuskan pemuda 17 tahun asal
Jayapura ini menggondol emas.
Septinus George Saa lahir di Manokwari pada 22 September 1986. Sejak kecil, dia sering tinggal berpindah-pindah mengikuti orang tuanya. Bahkan, tak jarang dia hidup terpisah dari orang tua. Ia lahir dari keluarga sederhana. Ayahnya, Silas Saa, adalah Kepala Dinas Kehutanan Teminabuhan, Sorong.
Oge lebih senang menyebut ayahnya petani ketimbang
pegawai. Sebab, untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, Silas, dibantu
isterinya, Nelce Wofam, dan kelima anak mereka, harus mengolah ladang, menanam
umbi-umbian.
Kelima anak Silas mewarisi keenceran
otaknya. Silas adalah lulusan Sekolah Kehutanan Menengah Atas tahun 1969,
sebuah jenjang pendidikan yang tinggi bagi orang Papua kala itu. Apulena Saa,
puteri sulung Silas, mengikuti jejak ayahnya. Ia adalah Sarjana Kehutanan
lulusan Universitas Cendrawasih. Franky Albert Saa, putera kedua, saat ini
tengah menempuh Program Magister Manajemen pada Universitas Cendrawasih.
Yopi Saa, putera ketiga, adalah mahasiswa kedokteran Universitas Kristen Indonesia, Jakarta. Agustinus Saa, putera keempat, mahasiswa Fakultas Kehutanan Universitas Negeri Papua, Manokwari. Sementara si Bungsu, Oge, meraih emas di panggung internasional.
“Semua anak mama tidak manja dengan uang, sebab kami tidak punya uang,” tutur
mama Nelce usai menemani puteranya menerima penghargaan dari Departemen
Kehutanan, Selasa (22/6/2004), di Departemen Kehutanan, Jakarta.
Ia bertutur, karena minimnya ekonomi
keluarga, Oge sering tidak masuk sekolah ketika SD hingga SMP. Jarak dari rumah
ke sekolah sekitar 10 km. Oge harus naik “taksi” (angkutan umum) dengan ongkos
Rp 1.500 sekali jalan. Itu berarti Rp 3.000 pulang pergi. “Tidak bisa jajan.
Untuk naik “taksi” saja mama sering tidak punya uang. Kalau Oge mau makan harus
pulang ke rumah,” katanya.
Bagi Oge prestasi tidak selalu berarti
karena uang. Pemuda yang dikenal sebagai playmaker di lapangan basket ini
adalah orang yang haus untuk belajar. Selalu ada jalan untuk orang-orang yang
haus seperti Oge. Prestasinya di bidang fisika bukan semata-mata karena ia
menggilai ilmu yang menurut sebagian anak muda rumit ini.
“Saya tertarik fisika sejak SMP. Tidak
ada yang khusus kenapa saya suka fisika karena pada dasarnya saya suka belajar
saja. Lupakan saja kata fisika, saya suka belajar semuanya,” katanya. “Semua
mata pelajaran di sekolah saya suka kecuali PPKN (Pendidikan Pancasilan dan
Kewarganegaraan).
Pelajaran itu membosankan dan terlalu
banyak mencatat. Saya suka kimia, sejarah, geografi, matematika, apalagi bahasa
Indonesia. Saya selalu bagus nilai Bahasa Indonesia,” tambahnya. Selepas SD dan
SMP yang kerap diwarnai bolos sekolah itu, Oge diterima di SMUN 3 Buper
Jayapura. Ini adalah sekolah unggulan milik pemerintah daerah yang menjamin
semua kebutuhan siswa, mulai dari seragam, uang saku, hingga asrama.
Kehausan intelektualnya seperti
menemukan oase di sini. Ia mulai mengenal internet. Dari jagad maya ini ia
mendapat macam-macam teori, temuan, dan hasil penelitian para pakar fisika
dunia.
Dalam teks biografi Septinus George Saa
diketahui bahwa kebrilianan otak mutiara hitam dari timur Indonesia ini mulai
bersinar ketika pada 2001 ia menjuarai lomba Olimpiade Kimia tingkat daerah.
Karena prestasinya itu, ia mendapat beasiswa ke Jakarta dari Pemerintah
Provinsi Papua.
Namun mamanya melarang putera bungsunya
berangkat ke Ibu Kota. Prestasi rupanya membutuhkan sedikit kenakalan dan
kenekatan. Dibantu kakaknya, Frangky, Oge berangkat diam-diam. Ia baru
memberitahu niatnya kepada mama tercinta sesaat sebelum menaiki tangga pesawat.
Mamanya menangis selama dua minggu menyadari anaknya pergi meninggalkan tanah
Papua.
Oge kemudian membuktikan bahwa
kepergiannya bukan sesuatu yang sia-sia. Tangis sedih mamanya berganti menjadi
tangis haru ketika November 2003 ia menduduki peringkat delapan dari 60 peserta
lomba matematika kuantum di India. Prestasinya memuncak dengan menggenggam emas
hasil riset fisikanya. Mamanya pun tidak pernah menangis lagi.
Di Jakarta, ia digembleng khusus oleh
Bapak Fisika Indonesia, Profesor Yohanes Surya. Awal November 2006 ia harus
mempresentasikan hasil risetnya di depan ilmuwan fisika di Polandia. Ia harus
membuktikan bahwa risetnya tentang hitungan jaring-jaring resistor itu adalah
orisinil gagasannya.
Setelah itu, ia akan mendapat
kesempatan belajar riset di Polish Academy of Science di Polandia selama
sebulan di bawah bimbingan fisikawan jempolan. Setelah menerima penghargaan
itu, George diganjar banyak fasilitas. Menteri pendidikan saat itu, Malik
Fadjar, meminta George memilih perguruan tinggi mana pun di Indonesia tanpa
tes.
Kampus tempat dia kuliah juga
diwajibkan memberikan fasilitas belajar. George sempat bingung memilih kampus
sebelum utusan Direktur Eksekutif Freedom Institute Rizal Mallarangeng
mendatangi dirinya. ”Saya diminta menemui Pak Aburizal Bakrie,” ungkap pria
kelahiran 22 September 1986 tersebut.
Freedom Institute menawari George
kuliah di luar negeri. Memilih negara mana pun akan dikabulkan. Mau di benua
Amerika, Eropa, bahkan Afrika sekali pun, terserah George. Beasiswa tersebut
bukan hanya uang kuliah, tapi juga uang saku serta biaya hidup. Pria penghobi
basket itu sempat bingung memilih negara.
Rizal Mallarangeng mengusulkan agar
dirinya memilih Amerika. Sebab, negara pimpinan Barack Obama tersebut bagus
untuk belajar dan melakukan penelitian. George lantas mendaftar ke jurusan
aerospace engineering di Florida Institute of Technology.
Kampus di pesisir timur Amerika di
Brevard County. Kampus itu berdekatan dengan Kennedy Space Center dan tempat
peluncuran pesawat NASA (National Aeronautics and Space Administration). Dalam
Biografi Septinus George Saa, diketahui bahwa di jurusan aerospace engineering
alias teknik dirgantara itu, George mempelajari semua hal tentang pesawat
terbang, baik pesawat terbang di angkasa maupun luar angkasa.
Dia juga mempelajari ilmu yang
supersulit di jagat aerospace, yakni rocket science. ”Saking sulitnya, orang
Amerika sering bilang, you don’t need rocket science to figure it out,” katanya
lantas terkekeh. Di antara 200-an mahasiswa seangkatan, hanya 40 orang yang
lulus. George mempelajari semua hal tentang pesawat terbang. Mulai struktur
pesawat, aerodinamika, daya angkat, hingga efisiensi berat dalam teknologi pembuatan
burung besi itu.
Ada alasan khusus dirinya suka pesawat terbang. Selain memang mengagumi presiden ketiga Indonesia B.J. Habibie yang gandrung pesawat itu, lelaki bertubuh gempal tersebut semula ingin menjadi pilot. Namun, karena kedua matanya minus 3,25, dia harus mengalihkan impiannya.
”Kalau nggak bisa menerbangkan pesawat, saya harus bisa membuat pesawat.
Setidaknya, memahami teknologi pesawat terbang,” tegasnya.
Tahun pertama di Amerika sangat sulit
bagi George. Sebab, dia belum fasih berbahasa Inggris. Pernah, dia tertahan
sejam di bagian imigrasi. ”Saya hanya duduk dan diam selama sejam gara-gara
tidak bisa bahasa Inggris,” tuturnya.
Karena itu, tahun pertama, George tak
langsung kuliah. Dia belajar bahasa di sekolah bahasa Inggris English Language
Service di Cleveland, negara bagian Ohio, AS. Selama setahun dia ngebut belajar
bahasa. Mulai pukul 08.00 hingga pukul 17.00, dia melahap materi-materi bahasa
Inggris.
”Saya mempelajari lagi grammar dan kosakata,” jelas anak bungsu pasangan Silas Saa dan Nelly Wafom itu. George lulus pada akhir 2009. Kini, dia bekerja di perusahaan internasional yang bergerak di bidang migas sembari bantu-bantu di lembaga yang memberinya beasiswa, Freedom Institute.
Post a Comment