Ketidakmerdekaan Finansial Dosen Indonesia | Agung Gunawan
BEBERAPA waktu lalu, jagad media sosial Twitter dihebohkan cuitan seorang dosen yang menyampaikan bahwa susahnya dosen ditemui oleh mahasiswa, terutama yang sedang bimbingan skripsi, ada kaitannya dengan kecilnya gaji dosen.
Persoalan gaji dosen sebenarnya sudah lama disuarakan dalam berbagai forum, meskipun tidak se-viral demo buruh setiap 1 Mei, yang selalu menggaungkan kenaikan upah minimum provinsi/regional (UMP/UMR).
Rentang gaji dosen di berbagai perguruan tinggi memang sangat jauh. Ada disparitas antara perguruan tinggi swasta (PTS) bonafide dengan PTS kecil. Untuk perguruan tinggi negeri (PTN) mengikuti standar gaji pokok PNS yang berada pada kisaran Rp 2,3 juta - Rp 2,7 juta untuk dosen baru dengan kualifikasi pendidikan S2 yang disetarakan dengan golongan 3b.
Penambahan penghasilan biasanya didapatkan dari kelebihan mengajar, dana hibah penelitian ataupun diikutkan dalam kegiatan-kegiatan di kampus. Jabatan fungsional asisten ahli yang merupakan entry-level untuk dosen pemula berkualifikasi lulusan S2 baru bisa didapatkan pada tahun kedua/ketiga kerja dan itu pun hanya Rp 375.000.
Baca artikel lainnya tentang Sudut Pandang
Untuk sertifikasi dosen yang dihargai satu kali gaji pokok, biasanya baru bisa dinikmati pada tahun 4-5 tahun karier dengan proses yang tidak mudah karena harus melewati pelatihan dan standar bahasa Inggris tertentu.
Sedangkan PNS non-dosen dengan kualifikasi lulusan S1 bisa menikmati tunjangan kinerja (tukin) selepas mendapatkan status 100 persen PNS yang biasanya hanya membutuhkan waktu satu tahun kerja.
Dalam pasal 51 ayat 1 poin a UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen sebenarnya sudah termaktub dengan jelas bahwa, “Dalam melaksanakan tugas keprofesionalannya, dosen berhak: a. memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial.”
Namun, hingga hari ini, amanat UU tersebut sepertinya terlupakan oleh Negara, terutama Kemendikbud dan Kemenag, dua kementerian yang mengurusi sebagian besar lembaga pendidikan tinggi.
Baca artikel lainnya tentang Seluk-Beluk Dunia Pendidikan
Pola pikir yang dianut oleh Kementerian Keuangan dalam pemberikan tunjangan jabatan atau fungsional kepada PNS adalah semakin besar risiko pekerjaan untuk terjerat dalam kubangan korupsi dan penyuapan, maka semakin tinggi level tunjangan yang diberikan. Makanya untuk profesi tertentu seperti pegawai pajak, hakim dan pegawai KPK, ditetapkan tunjangan yang lumayan tinggi.
Sementara itu, Kemenpan-RB memberlakukan sistem birokrasi sewarna antara dosen dengan non-dosen. Di mana jam kantor pukul 8.00 - 16.00 juga mengikat untuk dosen PNS dan dosen non PNS yang bekerja di PTN sebagai bagian dari pengukuran tingkat kedisplinan pegawai.
Efek Gaji Rendah
“Dosen Proyek” adalah istilah yang sangat dikenal sebelum tahun 2010 untuk “menyindir” para dosen yang lebih banyak bekerja sebagai konsultan untuk proyek-proyek pemerintah sehingga sering absen memberikan kuliah. “Dosen Ngamen” merupakan “ledekan” buat dosen yang mengajar lebih dari satu perguruan tinggi demi mendapatkan tambahan penghasilan.
Tentu saja, banyak hal lain yang dilakukan oleh para dosen untuk memenuhi kebutuhan hidup seperti berbisnis, menulis, menjadi narasumber, youtuber dan lain sebagainya. Di internal, para dosen akan berebutan menyantumkan namanya dalam surat-surat tugas (ST) kegiatan kampus agar bisa menutupi gaji pokok yang di bawah UMR.
Baca artikel lainnya tentang Sosok
Dosen-dosen muda dipaksa untuk melakukan politik PDKT kepada pejabat kampus agar bisa diikut-sertakan dalam berbagai ST. Pejabat-pejabat kampus untuk mencapai level kesejahteraan terpaksa melakukan otak-atik anggaran dan tak jarang menerima suap atas penerimaan mahasiswa baru jalur mandiri.
Sulitnya dosen ditemui untuk bimbingan skripsi hanyalah efek minimalis dari gaji rendah yang menimpa sebagian besar dosen di Indonesia. Dampak yang lebih parah sebenarnya adalah terjeratnya dosen pada permainan koruptif dan manipulatif untuk menjaga periuk nasi atau bisa punya mobil yang setara dengan mobil yang dibawa oleh para mahasiswanya ke kampus.
Mengharapkan dosen sebagai penjaga moral terakhir di negara ini sepertinya hanyalah impian semu karena dosen dipaksa untuk hidup “miskin”, sedangkan di sisi lain lingkungan sekitarnya memperlihatkan gelombang hedonistik.
Perbandingan dengan Negara Lain
Di tengah keinginan pemerintah untuk mengejar ketertinggalan Indonesia dalam lomba World Class University, ada baiknya kita melihat gaji dosen di beberapa negara yang banyak menempatkan kampus-kampusnya dalam ranking top dunia.
Di United Kingdom, misalnya, gaji dosen pemula berada pada angka 35.000-50.000 poundsterling per tahun (Rp 669 juta – Rp 950 juta) atau 2.900-4.100 poundsterling (Rp 55 juta – Rp 79juta) per bulan. Adapun living cost minimalis hidup per bulan di UK berada pada angka 1.200 poundsterling (Manchester) -1500 poundsterling (London).
Baca artikel lainnya tentang Budaya
Di Belanda, gaji dosen berada pada kisaran Rp 60 juta - Rp 85 juta per bulan dengan biaya hidup per bulan berada pada rentang Rp 13 juta - Rp 16 juta. Di Malaysia, gaji dosen menembus angka RM 8000 atau setara Rp 28 juta per bulan dengan kebutuhan bulanan di angka RM 5000.
Dari angka-angka di atas, kita bisa melihat bahwa dosen-dosen di UK, Belanda, dan Malaysia berada pada 1,5 sampai 4 kali biaya hidup minimalis di negaranya masing-masing. Artinya, mereka tidak perlu untuk melakukan dua atau bahkan tiga pekerjaan untuk bisa memenuhi kebutuhan hidup.
Penghasilan yang memberikan kenyamanan hidup meskipun tidak “kaya-kaya amat” membuat dosen di negara-negara tersebut bisa lebih fokus menjalani profesinya dengan dedikatif dan maksimal.
Membiarkan dosen dibayar underpaid di bawah UMR hanya membuat pendidikan tinggi kita bertarung dalam masalah yang sama dari tahun ke tahun. Dosen terpaksa mencari pekerjaan sampingan sehingga tak maksimal menjalankan tugasnya “melayani” mahasiswa dan rentan terjerat dalam praktik-praktik manipulatif-koruptif anggaran.
Oleh karena itu, sistem penggajian dosen di Indonesia harus dibuat khusus berbeda dari profesi lainnya serta mempertimbangkan posisi dosen sebagai pendidik anak-anak bangsa dan penjaga moral republik.
Baca juga Cerpen untuk menghibur jiwa dan pikiranmu.
Dalam sejarah dunia, bangsa-bangsa yang tidak memberikan reward layak kepada para pendidiknya akan tejerembab dalam persoalan-persoalan akut yang tak terselesaikan dan kualitas pendidikan tinggi cenderung jalan di tempat.
Lihatlah bagaimana Malaysia berhasil menempatkan banyak kampus-kampusnya dalam deretan kampus terbaik dunia. Bahkan University Malaya berhasil menduduki peringkat 70 besar dunia versi QS 2023.
Bandingkan dengan kampus dengan ranking terbaik di Indonesia, yaitu UI yang hanya mampu bertengger di 248 dunia. Hal pertama yang dilakukan oleh Malaysia untuk memperbaiki pendidikan tingginya adalah memperbaiki kesejahteraan para dosennya.
Sebuah anomali ketika Kemendikbud di bawah Mas Menteri Nadiem Makarim menyantumkan profil lulusan perguruan tinggi mendapatkan “Gaji 1,5 kali UMR”, sementara dosen yang mendidik mahasiswa malah menerima gaji di bawah UMR.
Pola penggajian dosen perlu dirumuskan kembali oleh kementerian-kementerian terkait jika negara ini serius menyiapkan generasi penerus menuju Indonesia Emas 2045.
Ditulis oleh Anggun Gunawan merupakan dosen tetap di Program Studi Penerbitan, Politeknik Negeri Media Kreatif Jakarta dan dosen part-time di Sekolah Vokasi Universitas Indonesia Depok. Ia menyelesaikan S2 bidang Publishing Media dari Oxford Brookes University UK tahun 2020 dan S1 bidang Ilmu Filsafat dari Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Pada tahun 2014, ia berkesempatan mendapatkan beasiswa untuk belajar "Translation Copyright Transanction" di Jakarta dan Frankfurt Jerman dari Goethe Institut Indonesia.
Editor : Sandro Gatra
Post a Comment