Perjuangan Diplomasi Mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
Selain melalui perjuangan
fisik, para pahlawan bangsa pun berjuang melalui jalur diplomasi. Perjuangan
melalui jalur diplomasi ini dilakukan melalui berbagai perundingan terutama
dengan Belanda.
Tujuannya yakni agar Belanda mengakui kedaulatan Indonesia sebagai sebuah negara yang merdeka dan mempunyai kedudukan yang sama dengan negara lainnya yang sudah terlebih dahulu merdeka.
Berikut ini beberapa perundingan yang dilakukan oleh Indonesia dengan Belanda
pada masa revolusi kemerdekaan.
Perjanjian Linggar Jati
Perundingan Linggarjati adalah
suatu perundingan antara Indonesia dan Belanda di Linggarjati, Jawa Barat pada
10-15 November 1946 yang menghasilkan persetujuan mengenai status kemerdekaan
Indonesia. Hasil perundingan ini ditandatangani di Istana Merdeka Jakarta pada 15 November 1946 dan ditandatangani secara sah
oleh kedua negara pada 25 Maret 1947.
Baca juga artikel lainnya materi Pendidikan Kewarganegaraan Kelas IX
Indonesia diwakili oleh Sutan
Syahrir, sedangkan Belanda diwakili oleh tim yang disebut Komisi Jenderal dan
dipimpin oleh Wim Schermerhorn dengan anggota H.J. van Mook. Dalam perundingan
tersebut, Lord Killearn dari Inggris bertindak sebagai mediator. Hasil
perundingan terdiri dari 17 pasal yang antara lain berisi hal-hal berikut.
- Belanda mengakui secara de facto wilayah Republik Indonesia,
yaitu Jawa, Sumatra, dan Madura.
- Belanda harus meninggalkan
wilayah RI paling lambat tanggal 1 Januari 1949.
- Pihak Belanda dan Indonesia
sepakat membentuk negara Republik Indonesia Serikat (RIS).
- Dalam bentuk RIS, Indonesia harus tergabung dalam Commonwealth atau Persemakmuran Indonesia-Belanda dengan mahkota negeri Belanda sebagai kepala uni.
Perjanjian Renville
Perjanjian Renville diambil dari nama sebutan kapal perang milik Amerika Serikat
yang dipakai sebagai tempat perundingan antara pemerintah Indonesia dan pihak
Belanda, dengan Komisi Tiga Negara (Amerika Serikat, Belgia, dan Australia)
sebagai perantaranya.
Dalam perundingan itu, delegasi
Indonesia diketuai oleh Perdana Menteri Amir Syarifuddin dan pihak Belanda menempatkan
seorang warga Indonesia yang bernama Abdulkadir Wijoyoatmojo sebagai ketua
delegasinya.
Penempatan Abdulkadir
Wijoyoatmojo ini merupakan siasat pihak Belanda dengan menyatakan bahwa
pertikaian yang terjadi antara Indonesia dengan Belanda merupakan masalah dalam
negeri Indonesia dan bukan menjadi masalah intenasional yang perlu adanya
campur tangan negara lain.
Adapun isi Perjanjian Renville,
itu di antaranya sebagai berikut.
- Belanda tetap berdaulat sampai
terbentuknya Republik Indonesia Serikat (RIS).
- Republik Indonesia sejajar
kedudukannya dalam Uni Indonesia Belanda.
- Sebelum Republik Indonesia
Serikat terbentuk, Belanda dapat menyerahkan kekuasaannya kepada pemerintah
federal sementara.
- Republik Indonesia menjadi negara
bagian dari Republik Indonesia Serikat.
- Antara enam bulan sampai satu
tahun, akan diselenggarakan pemilihan umum untuk membentuk Konstituante RIS.
- Tentara Indonesia di daerah pendudukan Belanda (daerah kantong) harus dipindahkan ke daerah Republik Indonesia
Perjanjian Renville berhasil ditandatangani oleh kedua belah pihak pada 17 Januari 1948. Perjanjian Renville ini menyebabkan kedudukan Republik Indonesia semakin tersudut dan daerahnya semakin sempit. Hal ini merupakan akibat dari diakuinya garis Van Mook sebagai garis perbatasan baru hasil Agresi Militer Belanda I.
Sementara itu, kedudukan Belanda semakin bertambah kuat dengan terbentuknya negara-negara boneka. Setelah penandatanganan Perjanjian Renville, pihak Pemerintahan Indonesia menghadapi tantangan sangat berat dan mengakibatkan Kabinet Amir Syarifuddin jatuh. Kabinet Amir Syarifuddin kemudian digantikan oleh Kabinet Hatta.
Namun, di bawah pemerintahan
Hatta, muncul banyak rongrongan dan salah satunya dilakukan oleh bekas Perdana
Menteri Amir Syarifuddin dengan organisasinya yang bernama Front Demokrasi
Rakyat. Puncak dari pergolakan itu adalah pemberontakan PKI Madiun pada 1948.
Keadaan seperti itu, dimanfaatkan pihak Belanda untuk melancarkan Agresi
Militer II.
Perundingan Roem Royen
Titik terang dalam sengketa
penyelesaian konflik antara pihak Indonesia-Belanda terlihat. Hal ini
dikarenakan kedua belah pihak bersedia untuk maju ke meja perundingan.
Keberhasilan membawa masalah Indonesia-Belanda ke meja perundingan, tidak
terlepas dari inisiatif komisi PBB untuk Indonesia.
Pada 4 April 1949, dilaksanakan perundingan di
Jakarta di bawah pimpinan Merle Cochran, anggota komisi dari Amerika Serikat.
Delegasi Republik Indonesia dipimpin oleh Mr. Mohammad Roem.
Dalam perundingan Roem-Royen,
pihak Republik Indonesia tetap berpendirian bahwa pengembalian pemerintahan
Republik Indonesia ke Yogyakarta, merupakan kunci pembuka untuk perundingan
selanjutnya. Sebaliknya, pihak Belanda menuntut penghentian perang gerilya oleh
Republik Indonesia.
Akhirnya, pada 7 Mei 1949, berhasil dicapai persetujuan
antara pihak Belanda dengan pihak Indonesia. Kemudian, disepakati kesanggupan
kedua belah pihak untuk melaksanakan Resolusi Dewan Keamanan PBB pada tanggal
28 Januari 1949 dan persetujuan pada 23
Maret 1949.
Pernyataan pemerintah Republik
Indonesia dibacakan oleh Ketua Delegasi Indonesia Mr. Mohammad Roem yang antara
lain berisi sebagai berikut.
- Pemerintah Republik Indonesia
akan mengeluarkan perintah penghentian perang gerilya.
- Kedua belah pihak bekerja sama
dalam hal mengembalikan perdamaian dan menjaga keamanan serta ketertiban.
- Belanda turut serta dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) yang bertujuan mempercepat penyerahan kedaulatan lengkap dan tidak bersyarat kepada negara Republik Indonesia Serikat.
Pernyataan Delegasi Belanda
dibacakan oleh Dr. J.H. van Royen, yang berisi antara lain sebagai berikut.
- Pemerintah Belanda menyetujui
bahwa Pemerintah Republik Indonesia harus bebas dan leluasa melakukan kewajiban
dalam satu daerah yang meliputi Karesidenan Yogyakarta.
- Pemerintah Belanda membebaskan
secara tidak bersyarat para pemimpin Republik Indonesia dan tahanan politik
yang ditawan sejak tanggal 19 Desember 1948.
- Pemerintah Belanda menyetujui
bahwa Republik Indonesia akan menjadi bagian dari Republik Indonesia Serikat
(RIS).
- Konferensi Meja Bundar (KMB) akan diadakan secepatnya di Den Haag sesudah Pemerintah Republik Indonesia kembali ke Yogyakarta
Setelah tercapainya Perundingan
Roem-Royen, pada 1 Juli 1949, Pemerintah Republik Indonesia secara resmi
kembali ke Yogyakarta. Selanjutnya, disusul dengan kedatangan para pemimpin
Republik Indonesia dari medan gerilya. Panglima Besar Jenderal Sudirman tiba
kembali di Yogyakarta pada 10 Juli 1949.
Setelah pemerintahan Republik
Indonesia kembali ke Yogyakarta, pada 13 Juli 1949 diselenggarakan sidang
kabinet. Dalam sidang tersebut, Syafruddin Prawiranegara mengembalikan mandat
kepada Wakil Presiden Moh Hatta. Dalam sidang tersebut juga diputuskan Sri
Sultan Hamengku Buwono IX diangkat menjadi menteri pertahanan merangkap
koordinator keamanan.
Konferensi Meja Bundar
Konferensi Meja Bundar (KMB) yang berlangsung di Den Haag pada 23 Agustus sampai 2 November 1949, berhasil mengakhiri konfrontasi fisik antara Indonesia dengan Belanda.
Hasil konferensi tersebut yang paling utama adalah
”pengakuan dan penyerahan” kedaulatan dari Pemerintah Belanda kepada Pemerintah
Indonesia 27 Desember 1949, yang disepakati akan disusun dalam struktur
ketatanegaraan yang berbentuk negara federal, yaitu negara Republik Indonesia
Serikat.
Di samping itu, terdapat empat
hal penting lainnya yang menjadi isi kesepakatan dalam KMB. Pertama,
pembentukan Uni Belanda-Republik Indonesia Serikat yang dipimpin oleh Ratu
Belanda secara simbolis. Kedua, Soekarno dan Moh. Hatta akan menjabat sebagai
Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia Serikat untuk periode 1949-1950,
dengan Moh. Hatta merangkap sebagai perdana menteri.
Ketiga, Irian Barat masih
dikuasasi Belanda dan tidak dimasukkan ke dalam Republik Indonesia Serikat
sampai dilakukan perundingan lebih
lanjut. Keempat, Pemerintah Indonesia harus menanggung hutang negeri Hindia
Belanda sebesar 4,3 miliar gulden.
Di satu sisi, hasil KMB
tersebut harus dianggap sebagai sebuah kemajuan. Karena sejak saat itu Belanda
”mengakui dan menyerahkan” kedaulatan kepada bangsa Indonesia. Dengan demikian,
secara resmi Indonesia menjadi negara merdeka dan terlepas dari cengkeraman
Belanda.
Namun, di sisi lain,
kesepakatan yang dihasilkan dalam KMB tidak serta merta menyelesaikan
permasalahan bagi Indonesia. Terlebih bentuk negara federal, yaitu Republik
Indonesia Serikat adalah produk rekayasa van Mook yang suatu saat dapat
dijadikan strategi untuk merebut kembali Indonesia melalui politik devide et impera.
Perjuangan melalui perundingan,
membuktikan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang cinta damai. Kita tidak
mengutamakan kekerasan dalam
menyelesaikan persoalan. Hal ini sesuai dengan budaya bangsa Indonesia
yang tercermin dalam ideologi Pancasila. Kita mengutamakan persatuan dan
kesatuan, mengutamakan musyawarah mufakat.
Post a Comment