Pembakuan Bahasa dan Bahasa Baku
Pembakuan Bahasa
Dengan latar kerangka acuan kediglosian yang diuraikan pada artikel sebelumnya (Ciri Situasi Diglosia) masalah pembakuan bahasa Indonesia
memperoleh dimensi tambahan yang hingga kini tidak sering dipersoalkan, atau
yang memang dianggap tidak perlu diperhitungkan bagi keberhasilan usaha
pembakuan tersebut.
Hal yang sehubungan dengan itu yang perlu dibahas diantaranya yakni norma bahasa yang mana yang berlaku untuk bahasa Indonesia baku dan golongan penutur mana yang dapat dijadikan patokan bagi norma itu. Selanjutnya dapat dipersoalkan apakah bahasa Indonesia baku kelak harus menjalankan segala jenis fungsi kemasyarakatan.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan dibahas secara detail dalam artikel
ini.
Dalam situasi diglosia ada tradisi keilmuan yang memilih ragam pokok yang tinggi sebagai dasar usaha pembakuan. Di Indonesia, hal tersebut terjadi, bahkan dapat dikatakan bahwa ada kecenderungan untuk mendasarkan penyusunan tata bahasa itu pad aragam tinggi bahasa tulisan. Jika dulu ada anggapan bahwa norma bahasa baku didasarkan pada ragam tinggi Melayu-Riau, perkembangan bahasa Indonesia dewasa ini menunjukkan bahwa pemilihan norma itu tidak monosentris lagi.
Sambil merunut sejarah pengaruh kepustakaan Balai Pustaka yang redakturnya
banyak yang berbahasa ibu Minangkabau, bahasa pers dan bahasa persuratan
kepegawaian sebelum perang, serta bahasa media massa dewasa ini yang didukung
oleh penutur yang bermacam-macam bahasa ibunya. Maka dapat dikatakan bahwa
dasar penentuan norma bahasa Indonesia sudah majemuk sifatnya.
Baca juga: Kedudukan Bahasa Indonesia
Patokan yang bersifat tunggal (salah satu dialek) dan patokan yang majemuk
(gabungan beberapa dialek) tidak perlu bertentangan. Namun, pada saat norma itu
dikodifikasi dan dimekarkan oleh penuturnya, dasar itu boleh dikatakan tidk
dapat dikenali lagi asalnya.
Secara tentatif dapat dikemukakan pendapat bahwa dewasa ini ada dua perangkat norma bahasa yang bertumpang tindih. Yang satu berupa norma yang dikodifikasi dalam bentuk baku tata bahasa sekolah dan yang diajarkan kepada para siswa-siswinya. Yang lain ialah norma berdasarkan adat pemakaian (usage) yang belum dikodifikasi secara resmi dan yang antara lain dianut oleh kalangan media massa dan sastrawan muda.
Keduanya bertumpang tindih karena di samping berbagi inti bersama ada norma
yang berlau di sekolah, tetapi yang tidak diikuti oleh media massa dan
sebaliknya.
Tarikan yang terdapat di antara kedua pasang norma itu dapat dicontohkan dengan bentuk pengrusak. Katika timbul perbelahan di suatu sekolah tentang keberterimaan bentuk itu antara murid dan gurunya yang menuntut pemakaian bentuk perusak, murid itu berpendirian bahwa pengrusak-lah yang betul karena bentuk itu dapat dibaca di dalam surat kabar.
Contoh lain ialah perbedaan pemakaian kata penggolongan (classifier) nomina di dalam pembilang. Ada norma yang sedang berkembang yang membatasi kata penggolongan itu sampai tiga: orang, ekor, dan buah, yang antara lain dianut oleh penutur bahasa di kalangan media massa dan sastrawan.
Baca juga: Ragam Bahasa Indonesia
Norma yang di kaidahkan di dalam buku tata bahasa sekolah mencakupi
perangkat yang lebih lengkap. Selain ketiga bentuk yang disebut di atas,
termasuk juga bidang, bilah, bentuk,
butir, batang, helai, pucuk, sisir, utas, dan sebagainya. Kedua norma itu
dewasa ini tampaknya sedang bersaing.
Bahasa Baku
Ragam bahasa orang yang berpendidikan yakni bahasa dunia pendidikan,
merupakan pokok yang sudah agak banyak ditelaah orang. Ragam tersebut
kaidah-kaidahnya paling lengkap diperikan jika dibandingkan dengan ragam bahasa
yang lain. Ragam itu tidak saja ditelaah dan diperikan, tetapi juga diajarkan
di sekolah.
Apa yang dahulu disebut dengan bahasa Melayu Tinggi dikenal juga sebagai bahasa sekolah. Sejarah umum perkembangan bahasa menunjukkan bahwa ragam itu memperoleh gengsi dan wibawa yang tinggi karena ragam itu yang dipakai juga oleh kaum yang berpendidikan dan kemudian dapat menjadi pemuka di berbagai bidang kehidupan yang penting.
Pemuka masyarakat yang berpendidikan umumnya terlatih dalam ragam sekolah
tersebut. Ragam itulah yang dijadikan tolok bandingan bagi pemakaian bahasa
yang benar. Fungsinya sebagai tolok menghasilkan nama bahasa baku atau bahasa
standar lainnya.
Baca juga: Asal-Usul Bahasa
Proses tersebut terjadi di dalam banyak masyarakat bahasa yang terkemuka
seperti Prancis, Inggris, Jerman, Belanda, Spanyol, dan Italia. Di Indonesia
keadaannya agak berlainan. Pejabat tinggi, pemuka, dan tokoh masyarakatnya
dewasa ini berusia antara 50 dan 70 tahun dan tidak semuanya memperoleh
kesempatan memahiri ragam bahasa sekolah dengan secukupnya. Peristiwa revolusi
kemerdekaan kita nampaknya menjadi musabab hal tersebut.
Oleh karena itu, mungkin tidak amat tepat menyamakan bahasa Indonesia yang
baku dengan bahasa golongan pemimpin masyarakat secara menyeluruh. Masalahnya,
di Indonesia ialah kemahiran berbahasa yang benar, walaupun dihargai, belum
menjadi prasyarat untuk kedudukan yang terkemuka di dalam masyarakat kita. Mengingat
kenyataan tersebut di atas, kita perlu kembali ke dunia pendidikan yang menurut
adat menjadi persemaian para pemimpin.
Ragam bahasa yang diajarkan dan dikembangkan di dalam lingkungan itulah
yang akan menjadi ragam bahasa calon pemimpin kita kita sehingga pada suatu
saat bahasa Indonesia yang baku memang dapat disamakan dengan ragam bahasa
golongan pemuka yang memancarkan gengsi dan wibawa kemasyarakatan. Oleh sebab
itu, di Indonesia, semua proses pembakuan hendaknya bermula pada ragam bahasa
pendidikan dengan berbagai coraknya dari sudut pandang sikap, bidang, dan
sarananya.
Ragam bahasa standar memiliki sifat kemantapan
dinamis, yang berupa kaidah dan aturan yang tetap. Baku atau standar tidak
dapat berubah setiap saat. Kaidah pembentukan kata yang memunculkan bentuk perasa dan perumus dengan taat asas harus dapat menghasilkan bentuk perajin dan perusak,
bukan pengrajin dan pengrusak.
Baca juga: Hakikat Bahasa: Sebagai Perekam Gagasan
Kehomoniman yang timbul akibat penerapan kaidah itu bukan alasan yang cukup
kuat untuk menghalalkan penyimpangan itu. Bahasa mana pun tidk dapat luput dari
kehomoniman. Di pihak lain, kemantapan itu tidk kaku, tetapi cukup luwes
sehingga memungkinkan perubahan yang bersistem dan teratur di bidang kosakata
dan peristilahan serta mengizinkan perkembangan berjenis ragam yang diperlukan
di dalam kehidupan modern.
Misalnya, di bidang peristilahan muncul keperluan untuk membedakan pelanggan ‘orang yang berlanggan(an)’
dan langganan ‘orang yang menjual
barang kepada orang lain; hal menerima terbitan atau jasa atas pesanan secara
teratur’. Ragam baku yang baru, antara lain, dalam penulisan laporan, karangan
ilmiah, undangan, dan percakapan telepon perlu dikembangkan lebih lanjut.
Ciri kedua yang menandai bahasa baku ialah sifat kecendikiaan-nya. Perwujudan dalam kalimat, paragraf, dan satuan
bahasa lain yang lebih besar mengungkapkan penalaran atau pemikiran yang
teratur, logis, dan masuk akal. Proses pencekiaan bahasa itu amat penting
karena pengenalan ilmu dan teknologi modern, yang kini umumnya masih bersumber
apda bahasa asing, harus dapat dilangsungkan lewat buku bahasa Indonesia.
Akan tetapi, karena proses bernalar secara cendikia bersifat semesta dan
bukan monopoli suatu bangsa semata-mata, pencendikiaan bahasa Indonesia tidak
perlu diartikan sebagai pembaratan bahasa.
Baku atau standar berpraanggapan adanya keseragaman. Proses pembakuan
sampai taraf tertentu berarti proses penyeragaman
kaidah, bukan penyamaan ragam bahasa, atau penyeragaman variasi bahasa. Itulah
ciri ketiga ragam bahasa yang baku.
Referensi: Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia dan literatur kredibel
lainnya.
Post a Comment