Ragam Bahasa Indonesia
Bahasa Indonesia yang amat luas wilayah pemakaiannya dan bermacam ragam penuturnya, mau tidak mau, takluk pada hukum perubahan. Arah perubahan itu tid selalu terelakan karena kita pun dapat mengubah bahasa secara berencana.
Faktor sejarah dan perkembangan masyarakat turut pula
berpengaruh pada timbulnya sejumlah ragam bahasa Indonesia. Ragam bahasa yang
beraneka macam itu masih tetap disebut “bahasa Indonesia” karena masing-masing
berbagi teras atau inti sari bersama yang umum.
Ciri dan kaidah tata bunyi, pembentukan kata, dan tata
makna umumnya sama. Itulah sebabnya kita masih dapat memahami orang lain yang
berbahasa Indonesia walaupun di saping itu kita dapat mengenali beberapa
perbedaan dalam perwujudan bahasa Indonesianya. Marilah kita ikhtisarkan berbagai
ragam bahasa itu.
Baca Juga: Hakikat Bahasa
Pertama-tama yang harus dikenali yakni ragam menurut
golongan penutur bahasa dan ragam menurut jenis pemakaian bahasa. Kita akan
melihat bahwa ragam-ragam itu bertautan. Ragam yang ditinjau dari sudut pandang
penutur dapat diperinci menurut patokan daerah, pendidikan, dan sikap penutur.
Ragam Daerah sejak lama dikenal dengan nama logat dan dialek. Bahasa yang menyebar luas selalu mengenal logat. Masing-masing dapat dipahami secara timbal balik oleh penuturnya, sekurang-kurangnya oleh penutur dialek yang daerahnya berdampingan.
Jika di dalam wilayah pemakaiannya
orang tidak mudah berhubungan, misalnya karena tempat kediamannya dipisahkan
oleh pegunungan, selat, atau laut, maka lambat laun logat itu dalam
perkembangannya akan banyak berubah sehingga akhirnya dianggap bahasa yang
berbeda.
Baca juga: Hakikat Bahasa: Sebagai Perekam Gagasan
Hal tersebut pernah terjadi dahulu kala dengan
logat-logat bahasa Nusantara Purba
yang sekarang disebut bahasa Batak, Jawa, Sunda, Bali, dan Tagalog. Logat
daerah bahasa Indonesia yang sekarang kita kenal, berkat perhubungan yang lebih
sempurna lewat kapal, pesawat, mobil, radio, surat kabar, dan televisi, agaknya
tidak akan berkembang menjadi bahasa tersendiri.
Logat Daerah adalah yang paling kentara karena tata bunyinya yang mudah dikenali. Logat Indonesia-Batak yang dilafalkan oleh putra Tapanuli dapat dikenali, misalnya, karena tekanan kata yang amat jelas; logat Indonesia orang Bali karena pelafalan buyi /t/ dan /d/-nya.
Baca juga: Mengenal Bagaimana Manusia Memperoleh Bahasa Secara Sintaksis, Semantik,dan Fonologi
Ciri khas yang meliputi tekanan, turun-naiknya nada, dan
panjang-pendeknya bunyi bahasa membangun aksen
yang berbeda-beda. Perbedaan kosakata dan variasi gramatikal tertentu ada juga
walaupun mungkin kurang tampak. Ragam dialek dengan sendirinya erat hubungannya
dengan bahasa ibu si penutur.
Berapa banyak jumlah logat Indonesia?
Jawaban atas pertanyaan tersebut tergantung pada tingkat kecermatan yang kita terapkan dalam pengamatan dan pada keakraban dengan tata bunyi atau tata bahasa berbagai bahasa daerah Nusantara.
Orang Bugis yang belum
pernah mendengar bahasa Lampung akan berpendapat bahwa logat Indonesia orang
Lampung tidak beraksen kedaerahan. Sebaliknya, orang Lampung mungkin dapat membedakan logat Indonesia di daerahnya
yang dipengaruhi oleh dialek Abung, Komering, atau Krui.
Sikap penutur bahasa Indonesia terhadap aksen penutur
lain berbeda-beda. Aksen itu dapat disenangi dan atau tidak disenangi. Umumnya
dapat dikatakan bahwa kita berlapang hati terhadap kelainan aksen orang selama
bahasa Indonesianya masih dapat dipahami. Mungkin karena bahasa Indonesia belum
terlalu lama berperan sebagai bahasa persatuan, kita belum melihat proses
polarisasi logat yang jelas.
Baca juga: Asal-Usul Bahasa
Ragam penutur pendidikan formal, yang bersilang dengan
ragam dialek, menunjukkan perbedaan yang jelas antara kaum yang berpendidikan
formal dan yang tidak. Tata bunyi bahasa Indonesia golongan kedua itu berbeda
dengan fonologi kaum terpelajar. Bunyi /f/ dan gugus konsonan akhir /-ks/,
misalnya, sering tidak terdapat dalam ujaran orang yang tidak bersekolah atau
hanya berpendidikan rendah.
Bentuk fadil,
fakultas, film, fitnah, dan kompleks,
yang dikenal di dalam orang terpelajar, bervariasi dengan padil, pakultas, pilem, pitnah, dan komplek dalam ragam orang yang tidak mujur dapat menikmati
pendidikan yang cukup di sekolah.
Perbedaan kedua ragam itu juga tampak pada tata bahasa.
Kalimat Saya mau tulisan itu surat ke
pamanku cukup jelas maksudnya, tetapi bahasa yang apik menuntut agar
berbentuk menjadi Saya mau menulis surat
itu kepada paman saya. Rangkaian kata Indonesia dapat disusun menjadi
kalimat Indonesia, tetapi tidak tiap kalimat Indonesia termasuk kalimat yang
apik.
Baca juga: Fungsi, Struktur, dan Tata Bahasa
Ali yang berpakaian lusuh dan koyak, atau Ali yang
berdandan dengan rapi, tetapi disebut Ali juga. Akan tetapi, sebaiknyalah ia
memelihara badannya dan berpakaian bersih. Itulah sebabnya bahasa orang yang
berpendidikan –yang lazimnya ditautkan dengan bahasa persekolahan- pada umumnya
memperlihatkan pemakaian bahasa yang apik.
Badan pemerintah, lembaga perwakilan rakyat, badan
kehakiman, penyiar radio, televisi, mimbar agama, dan profesi ilmiah hendaknya
menggunakan ragam bahasa orang berpendidikan yang lazim digolongkan dan
diterima sebagai ragam baku.
Ragam bahasa menurut sikap penutur mencakup sejumlah corak bahasa Indonesia yang masing-masing pada asasnya tersedia bagi tiap pemakai bahasa. Ragam ini, dapat disebut langgam atau gaya, pemilihannya bergantung pada sikap penutur terhadap orang yang diajak berkomunikasi atau terhadap pembacanya.
Sikap tersebut dipengaruhi oleh umur dan kedudukan orang yang
disapa, tingkat keakraban antarpenutur, pokok persoalan yang hendak
disampaikannya, dan tujuan penyampaian informasinya.
Dalam hal ragam bahasa menurut sikap penutu, kita berhadapan dengan pemilihan bentuk-bentuk bahasa tertentu yang menggambarkan sikap kita yang kaku dan resmi, adab, dingin, hambar, hangat, akrab, atau santai. Perbedaan berbagai gaya itu tercermin dalam kosa kata dan tata bahasa.
Perhatikanlah, misalnya gaya bahasa kita jika sedang memberikan laporan kepada
atasan, memarahi orang, membujuk anak, menulis surat kepada kekasih, atau
mengobrol dengan sahabat karib.
Ada pula sementara orang yang dalam usahanya untuk menunjukkan kesopanan yang tinggi memanfaatkan bahasa daerah yang kebetulan menjadi bahasa ibu lawan bicara. Misalnya, seorang dosen yang berbicara dengan seorang direktur jendral yang kebetulan berasal dari daerah yang sama, misalnya Jawa, bisa saja memakai kalimat seperti Saya dengar Bapak gerah beberapa waktu yang lalu.
Pemakaian kata Jawa gerah yang sangat halus ini dimaksudkan
untuk menunjukkan kepada yang diajak bicara suatu sikap yang sangat
menghormati.
Kemampuan menggunakan berbagai gaya itu pada hakikatnya
terjangkau oleh tiap orang dewasa. Namun, kemahiran itu tidak datang dengan
sendirinya, tetapi harus diraih lewat pelatihan dan pengalaman. Untuk mencapai
maksud itu diperlukan kematangan, kepekaan, dan kearifan yang memungkinkan si
penutur mengamati dan mencontoh gaya orang yang dianggapnya cocok pada suasana
tertentu.
Penerapan gaya yang sama dalam situasi yang berlainan,
seperti halnya dengan anak kecil yang menguasai satu gaya –yang dipakaianya
dalam lingkungan keluarganya- dapat menimbulkan kesan kemiskinan batin. Di
pihak lain, penguasaan satu gaya bahasa semata-mata di kalangan masyarakat luas, misalnya gaya pidato atau gaya
interaksi, dapat menimbulkan anggapan bahwa dengan bahasa Indonesia orang
seakan-akan tidak menimbulkan anggapan bahwa
dengan bahasa Indonesia orang sean-akan tidak dapat bergaul dengan
akrab, hangat, dan mesra.
Ragam bahasa menurut jenis pemakaiannya dapat dirinci
menjadi tiga macam, yaitu.
- Ragam dari sudut pandang bidang atau pokok persoalan.
- Ragam menurut sarananya.
- Ragam yang mengalami percampuran.
Setiap penutur bahasa hidup dalam lingkungan masyarakat
yang adat istiadat atau tata cara pergaulannya berbeda-beda. Perbedaan itu
terlihat pula dalam pemakaian bahasanya sesuai dengan atau bergantung pada
pergaulan, pendidikan, profesi, kegemaran, dan/atau pengalamannya.
Orang yang ingin turut terlibat dalam pembicaraan bidang
tertentu atau yang ingin membicarakan pokok persoalan yang berkaitan dengan itu
harus memilih salah satu ragam yang dikuasainya dan sesuai dengan bidang atau
pokok pembicaraan. Bidang yang dimaksudkan itu, misalnya, ialah agama, politik,
ilmu, teknologi, pertukangan, perdagangan, seni rupa, seni sastra, olahraga,
perundang-undangan, atau angkatan bersenjata.
Perbedaan ragam itu terlihat, antara lain, dalam
pemakaian sejumlah kata atau istilah tertentu yang dihubungkan dengan
bidangnya, misalnya kata akidah, akad
nikah, dan nabi untuk bidang
agama; atom, nuklir, dan radiasi untuk bidang fisika; serta libero, wasit, dan maraton untuk bidang olahraga. Di
samping itu, ada juga variasi tata bahasa pada setiap ragam.
Perhatikanlah bangun kalimat yang tersusun dalam,
misalnya, uraian resep dapur, wacana ilmiah, surat keputusan, undang-undang,
wawancara, doa, iklan, dan susastra. Penulis karya ilmiah, misalnya, sering
menghindari pemakaian kata aku, saya,
atau bahkan pengarang itu dan
menggantinya dengan kami atau penulis ini.
Penulis karya ilmiah lebih suka menggunakan kalimat pasif
sehingga bentuk verbanya hampir selalu menggunakan awalan di-. Sementara itu, pemakaian kosakata dan tata bahasa dalam seni
kata yang menghasilkan ragam susastra tidak terlalu diatur.
Dalam pemakaian ragam menurut bidang atau pokok persoalan
yang dibicarakan itu, ada praanggapan pemakaian ragam bahasa yang lain.
Misalnya, kalimat yang berkaitan dengan topik dalam bidang ekonomi atau
manajemen juga mengisyaratkan pemakaian ragam bahasa orang yang terpelajar.
Ragam bahasa menurut sarananya lazim dibagi atas ragam
lisan atau ujaran dan ragam tulis. Karena setiap masyarakat bahasa memiliki
ragam lisan, sedangkan ragam tulis baru muncul kemudian, masalah yang perlu
ditelaah ialah bagaimana orang menuangkan ujarannya ke dalam bentuk tulisan.
Bahasa Melayu sejak dahulu dianggap berperan sebagai lingua franca. Bahasa bersama itu, untuk
sebagian besar penduduk Indonesia, berupa ragam lisan untuk keperluan yang agak
terbatas. Sampai masa kini pun, bagi berjuta-juta orang yang masih buta huruf,
bahasa Indonesia yang dikuasainya hanyalah ragam lisan.
Sehubungan dengan perbedaan antara ragam lisan dan ragam
tulis, ada dua hal yang perlu diperhatikan,
yaitu suasana peristiwa dan cara yang digunakan dalam ujaran.
Dalam hal suasana peristiwa, bahasa yang digunakan dalam ragam tulis harus lebih jelas dan eksplisit daripada ragam lisan. Bahasa yang digunakan dalam ragam tulis tidak dapat disertai gerak isyarat, pandangan, atau gerak tubuh seperti yang lazim digunakan dalam bahasa lisan sebagai tanda penegasan agar mitra wicara atau pendengar lebih mudah memahami.
Itulah sebabnya kalimat dalam ragam tulis harus
disusun secara lebih cermat. Fungsi gramatikal -seperti subjek, predikat, dan
objek- dan hubungan di antara fungsi-fungsi itu masing-masing harus jelas.
Sementara itu, di dalam ragam lisan fungsi-fungsi tersebut kadangkadang dapat ditanggalkan karena kalimat ragam lisan itu dapat disertai gerak isyarat, pandangan, atau gerak tubuh pembicara sebagai penegas. Orang yang halus rasa bahasanya sadar bahwa kalimat yang ditulisnya berlainan dengan kalimat yang di jarkannya karena dapat dibaca ulang, dikaji, dan dinilai oleh orang secara mudah.
Oleh karena
itu, bahasa ragam tulis sepatutnya diusahakan agar lebih tertata dan lebih elok
daripada ragam lisan. Itulah sebabnya versi akhir bahasa ragam tulis tidak
jarang merupakan hasil beberapa kali penyuntingan.
Dalam hal cara yang digunakan dalam ujaran, yang
membedakan ragam lisan dari ragam tulis adalah tinggi rendah dan panjang pendek
suara serta irama kalimat yang sulit dilambangkan dengan ejaan dan tata tulis.
Penulis acap kali perlu merumuskan kembali kalimatnya jika ingin menyampaikan
jangkauan makna yang sama lengkapnya atau ungkapan perasaan yang sama telitinya
dengan kalimat ragam lisan.
Misalnya, ujaran Darto
tidak mengambil uangmu, yang diwujudkan dengan intonasi khusus, dalam
tulisan mungkin sama maksudnya dengan Bukan
Darto yang mengambil uangmu.
Harus ditambahkan di sini bahwa ragam tulis juga
mempunyai kelebihan. Kaidah-kaidah bahasa tulis yang mengatur, misalnya,
pemakaian huruf kapital, huruf miring, tanda kutip, dan paragraf atau alinea
tidak mengenal padanan yang sama jelasnya dalam ujaran.
Setiap penutur bahasa pada dasarnya dapat memanfaatkan
ragam lisan dan ragam tulis sesuai dengan keperluannya apa pun latar
belakangnya. Meskipun demikian, kemampuan setiap orang berbeda dalam
menggunakan ragam tulis sesuai dengan tingkat pendidikannya. Pokok pengajaran
bahasa di sekolah pada hakikatnya berkisar pada upaya meningkatkan keterampilan
dalam menggunakan kedua ragam itu.
Di dalam penggunaan ragam lisan dan tulis masih terdapat
kendala atau hambatan lain. Artinya, ada bidang atau pokok persoalan yang lebih
mudah dituangkan ke dalam ragam yang satu daripada yang lain.
Misalnya, laporan keuangan dengan tabel bilangan dan
grafik, uraian kimia yang berisl lambang unsur dan rumus hidrolisis, atau
peraturan perundangundangan yang struktur kalimatnya bersusun-susun lebih mudah
disusun dan dibaca dalam ragam tulis. Sebaliknya, laporan pandangan mata
tentang pertandingan olahraga yang disampaikan dalam bentuk lisan sulit
dipahami orang jika ditranskripsikan sebagaimana adanya ke dalam bentuk
tulisan.
Walaupun diakui adanya proses saling memengaruhi di
antara bahasa yang digunakan secara berdampingan, seperti halnya di Indonesia,
interaksi kebahasaan itu ada batasnya. Selama pemasukan unsur suatu bahasa ke
dalam bahasa yang lain dimaksudkan untuk mengisi kekosongan kosakata atau
memperkaya kesinoniman, gejala itu dianggap wajar. Akan tetapi, apabila unsur
bahasa yang bersangkutan itu mengganggu keefektifan penyampaian informasi,
ragam bahasa yang tercampur unsur itu hendaknya dihindari.
Itulah yang disebut ragam bahasa yang mengalami gangguan
pencampuran atau interferensi. Tentu saja tidak terlalu jelas batas antara
pencampuran yang mengganggu dan yang tidak. Banyaknya unsur pungutan yang
berasal dari bahasa Jawa, misalnya, dianggap memperkaya bahasa Indonesia,
tetapi masuknya unsur pungutan bahasa Inggris oleh sebagian orang dianggap
mencemari keaslian dan kemurnian bahasa Indonesia. Lafal Indonesia yang
kesunda-sundaan masih dapat diterima orang.
Tingkat kemahiran orang dalam mewujudkan berbagai ragam
bahasa -yang sama teras atau inti sari bersamanya- dalam suatu uraian
berbeda-beda. Pertanyaan yang mungkin perlu diajukan, "Apakah seseorang
dapat menguasai semua ragam yang terpakai dalam bahasanya?"
Dalam teori, jika masyarakat bahasa yang bersangkutan
sangat sederhana dan serba beragam perikehidupannya, tidak mustahil orang
mencapai kemahiran itu. Akan tetapi, jika masyarakat bahasa sudah majemuk
coraknya dan sistem bagi-kerjanya sudah amat berkembang, hampir tidak mungkin
orang mengenal dan menguasai semua ragam bahasa dengan lengkap.
Bertalian dengan hal tersebut, perlu disadari bahwa
jumlah ragam yang dipahami biasanya lebih besar daripada jumlah ragam yang
dikuasai. Hal itu juga berlaku bagi pengetahuan tentang kosakata dan sintaksis.
Dalam praktik tidak semua ragam bahasa yang tersedia perlu dipelajari.
Sekolah, misalnya, tidak harus mengajarkan ragam
takformal. Ragam kelompok khusus, yang dikenal dengan istilah slang, juga tidak
perlu dimasukkan ke dalam bahan pengajaran bahasa. Perlu dikemukakan kepada
para siswa bahwa bahasa Indonesia bukan merupakan bongkahan emas murni,
melainkan gumpalan yang unsurnya berupa emas tulen, emas tua, emas muda, dan
mungkin juga tembaga.
Semua ragam itu termasuk bahasa Indonesia, tetapi tidak
semuanya dapat disebut bahasa yang baik dan henar. Apakah yang sebenarnya
dimaksudkan dengan bahasa yang baik dan benar? Sebelum menjawab pertanyaan itu,
berturut-turut akan ditelaah situasi diglosia dan hakikat bahasa baku atau bahasa
standar.
Referensi: Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia dan literatur kredibel lainnya.
Post a Comment