Suatu Pengantar: Mengenal Sosiologi Lebih Dekat

Seorang awam yang untuk pertama kali mempelajari Sosiologi, sesungguhnya secara tidak sadar telah mengetahui sedikit tentang Sosiologi. Selama hidupnya, dirinya telah menjadi anggota masyarakat dan sudah mempunyai pengalaman-pengalaman dalam hubungan sosial atau hubungan antarmanusia.

Sejak lahir di  dunia, dia sudah berhubungan dengan orangtuanya misalnya. Semakin meningkat usianya, bertambah luas pula pergaulannya dengan manusia lain di dalam masyarakat. Dirinya juga menyadari bahwa kebudayaan dan peradaban dewasa ini merupakan hasil perkembangan masa-masa yang silam.

Secara sepintas lalu, dirinya pun mengetahui bahwa di dalam pelbagai hal dirinya mempunyai persamaan-persamaan dengan orang-orang lain. Sedangkan dalam hal-hal lain, dirinya mempunyai sifat-sifat yang khas berlaku bagi dirinya sendiri sehingga berbeda dengan orang lain.

Semuanya merupakan pengetahuan yang bersifat sosiologis karena dirinya ikut serta di dalam hubungan-hubungan sosial dalam membentuk kebudayaan masyarakat dan kesadaran akan adanya persamaan dan perbedaan dengan orang-orang lain memberikan gambaran tentang objek yang dipelajarinya, yaitu sosiologi.

Akan tetapi, semuanya itu belum berarti bahwa dirinya merupakan seorang ahli sosiologi. Pasti dirinya belum mengetahui dengan sesungguhnya apa ilmu itu. Oleh karena itu, akan ditinjau terlebih dahulu apakah sosiologi tersebut.

Sosiologi merupakan suatu ilmu yang masih muda, walau telah mengalami perkembangan yang cukup lama. Sejak manusia mengenal kebudayaan dan peradaban, masyarakat manusia sebagai proses pergaulan hidup telah menarik perhatian. Awal mulanya, orang-orang meninjau masyarakat hanya tertarik pada masalah-masalah yang menarik perhatian umum. Misalnya, kejahatan, perang, kekuasaan golongan yang berkuasa, keagamaan, dan lain sebagainya.

Dari pemikiran serta penilaian yang demikian itu, orang kemudian meningkat pada filsafat kemasyarakatan, di mana orang menguraikan harapan-harapan tentang susunan serta kehidupan masyarakat yang diingini atau yang ideal. Dengan demikian timbullah perumusan nilai-nilai dan kaidah-kaidah yang seharusnya ditaati oleh setiap manusia dalam hubungannya dengan manusia lain dalam suatu masyarakat. Yang dimaksud untuk menciptakan kehidupan yang bahagia dan damai bagi semua manusia selama hidup di dunia ini.

Hal tersebut merupakan idaman manusia di kala itu yang pada umumnya bersifat utopis. Artinya, orang harus mengakui bahwa nilai-nilai dan kaidah-kaidah masyarakat yang diidam-idamkan itu tidak selalu sesuai dengan kenyataan yang ada di dalam masyarakat pada suatu waktu yang tertentu.

Perbedaan yang tidak jarang menimbulkan pertentangan antara harapan dengan kenyataan memaksa para ahli pikir untuk mencari penyebab-penyebabnya dengan jalan mempelajari kenyataan-kenyataan di dalam masyarakat. Sehingga timbul berbagai macam teori tentang masyarakat.

Lambat laun, teori-teori tersebut dipelajari dan dikembangkan secara sistematis dan netral, terlepas dari harapan-harapan pribadi para sarjana yang mempelajarinya dan juga dari penilaian baik atau buruk mengenai gejala-gejala atau unsur yang dijumpai di dalam tubuh masyarakat itu sehingga timbullah ilmu pengetahuan mengenai masyarakat.

Filsafat biasanya dipandang sebagai induk ilmu pengetahuan atau ilmu pengetahuan yang umum. Pythagras menyatakan sebagai cinta kebijaksanaan karena kata “philein” (bahasa Yunani) adalah cinta dan “shopia” merupakan kebijaksanaan. Filsafat dicari untuk kebijaksanaan dan kebijaksanaan dicarikan.

Asal-usul filsafat merupakan penjelasan rasional secara semuanya. Prinsip-prinsip atau asas-asas yang dijelaskan terhadap semua fakta adalah filsafat. Dengan demikian, walaupun filsafat merupakan induk pengetahuan, filsafat berbeda dengan ilmu pengetahuan.

Selanjutnya, filsafat merupakan asas-asas dari eksistensi dan yang menduga kenyataan yang terpenting. Kala itu, filsafat adalah ilmu tentang ilmu pengetahuan, kritik dan sistematika pengetahuan, penyimpulan ilmu pengetahuan empiris, pengajaran rasional, akal pengalaman, dan seterusnya.

Dengan demikian, filsafat mencakup ontologi, deontologi, epistemologi, dan aksiologi. Ontologi yang menjadi cabang filsafat tentang sifat kenyataan riil dan deontologi adalah sifat kenyataan idiil. Epistemologi merupakan dasar-dasar dan batas-batas pengetahuan. Sementara itu, aksiologi adalah evaluasi atau penilaian dasar-dasar kenyataan.

*

Timbulnya sosiologi, semua ilmu pengetahuan yang dikenal pada dewasa ini menjadi bagian dari filsafat yang dianggap sebagai induk dari segala ilmu pengetahuan (Master Scientiarum). Filsafat pada masa itu mencakup pula segala usaha pemikiran mengenai masyarakat.

Seiring dengan perkembangan zaman dan peradaban manusia, pelbagai ilmu pengetahuan semua tergabung dalam filsafat memisahkan diri, yaitu astronomi (ilmu tentang bintang-bintang) dan fisika (ilmu alam). Astronomi dan fisika merupakan cabang-cabang filsafat yang pertama kali memisahkan diri, kemudian diikuti oleh ilmu kimia, biologi, dan geologi.

Pada abad ke-19, dua ilmu pengetahuan baru muncul, yaitu psikologi (ilmu yang mempelajari perilaku dan sifat-sifat manusia) dan sosiologi (ilmu yang mempelajari masyarakat).

Astronomi pada mulanya merupakan bagian dari filsafat yang bernama kosmologi, sedangkan filsafat alamiah, filsafat kejiwaan, dan filsafat sosial, masing-masing menjadi fisika, psikologi, dan sosiologi. Dengan demikian, timbullah sosiologi sebagai ilmu pengetahuan yang di dalam proses pertumbuhannya dapat dipisahkan dari ilmu-ilmu kemasyarakatan lainnya, seperti ekonomi, sejarah, ilmu jiwa sosial, dan sebagainya.

Perkembangan perhatian terhadap masyarakat seperti diuraikan di atas, terjadi pada tiap masyarakat-masyarakat dunia.

*

Pemikiran terhadap masyarakat lambat laun mendapat bentuk sebagai suatu ilmu pengetahuan yang kemudian dinamakan Sosiologi, pertama kali terjadi di benua Eropa. Banyak usaha, baik yang bersifat ilmiah maupun yang bersifat non ilmiah, yang membentuk sosiologi sebagai ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri. Beberapa faktor yang menjadi pendorong utama adalah meningkatnya perhatian terhadap kesejahteraan masyarakat dan perubahan-perubahan yang terjadi di dalam masyarakat.

Berbeda dengan yang ada di Eropa, Sosiologi di Amerika Serikat dihubungkan dengan usaha-usaha untuk meningkatkan keadaan sosial manusia dan sebagai suatu pendorong untuk menyelesaikan persoalan yang ditimbulkan oleh kejahatan, pelanggaran, pelacuran, pengangguran, kemiskinan, konflik, peperangan, dan masalah-masalah sosial lainnya.

Pada abad ke-19, seorang ahli filsafat bangsa Prancis bernama Auguste Comte menulis beberapa buah buku yang berisikan pendekatan umum untuk mempelajari masyarakat. Comte berpendapat bahwa ilmu pengetahuan mempunyai urut-urutan tertentu berdasarkan logika, dan setiap penelitian dilakukan melalui tahap-tahap tertentu untuk kemudian mencapai tahap akhir, yaitu tahap ilmiah.

Dia mempunyai anggapan saatnya telah tiba bahwa semua penelitian terhadap permasalahan kemasyarakatan dan gejala-gejala masyarakat memasuki tahap akhir, yaitu tahap ilmiah. Oleh sebab itu, dia menyarankan agar semua penelitian terhadap masyarakat ditingkatkan menjadi suatu ilmu tentang masyarakat yang berdiri sendiri.

Nama yang diberikan tatkala itu adalah Sosiologi (1839) yang berasal dari kata Latin “socius” yang berarti kawan, dan kata Yunani “logos” yang berarti kata atau bicara. Jadi, sosiologi berarti berbicara mengenai masyarakat.

Bagi Comte, sosiologi merupakan ilmu pengetahuan kemasyarakatan umum yang merupakan hasil terakhir perkembangan ilmu pengetahuan. Sosiologi lahir pada saat-saat terakhir perkembangan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, sosiologi didasarkan pada kemajuan-kemajian yang telah dicapai oleh ilmu-ilmu pengetahuan lainnya (William dan Meyer, 1964).

Selanjutnya, Comte berkata bahwa sosiologi harus dibentuk berdasarkan pengamatan dan tidak pada spekulasi-spekulasi perihal keadaan masyarakat.  Hasil-hasil observasi tersebut harus disusun secara sistematis dan metodologis, tetapi sayang sekali Comte tidak menjelaskan bagaimana caranya menilai hasil-hasil pengamatan masyarakat tersebut.

Lahirnya sosiologi, tercatat pada 1842, tatkala Auguste Comte menerbitkan jilid terakhir dari bukunya yang berjudul Positive-Philosophy yang tersohor itu.

Seorang ahli filsafat dan ahli pikir kemasyarakatan dari Inggris, John Stuart Mill menyarankan istilah “Ethology” bagi ilmu pengetahuan yang baru itu. Akan tetapi istilah tersebut tidak pernah populer di dalam masa-masa selanjutnya.

Sejak Herbert Spencer mengembangkan suatu sistematika penelitian masyarakat dalam bukunya yang berjudul Principles of Sociology setengah abad kemudian, istilah sosiologi  menjadi lebih populer dan berkat jasa Herbert Spencer pula sosiologi berkembang dengan pesatnya.

Sosiologi berkembang dengan pesat pada abad ke-20, terutama di Prancis, Jerman, dan Amerika Serikat. Namun, arah perkembangannya di ketiga negara tersebut berbeda satu sama lain. Walaupun John Stuart Mill dan Herbert Spencer merupakan orang Inggris, ilmu tersebut tidak begitu pesat perkembangannya di negara tersebut, berbeda dengan keadaan di Amerika Serikat pada masa itu.

Nama-nama seperti Auguste Comte (Perancis), Herbert Spencer (Inggris), Karl Marx (Jerman), Vilfredo Pareto (Italia), Pitrim A. Sorokin (Rusia), Max Weber (Jerman), Steinmetz (Belanda), Carles Horton Cooley (Amerika Serikat), Lester F. Ward (Amerika Serikat), dan lain sebagainya merupakan nama-nama terkemuka dalam perkembangan ilmu sosiologi di benua Eropa dan Amerika.

Dari Eropa, ilmu sosiologi kemudian menyebar ke benua dan negara-negara lain termasuk Indonesia.

*

Sejarah sosiologi berasal dari Ilmu Filsafat (Master Scientiarum) yang lahir pada saat-saat terakhir perkembangan ilmu pengetahuan. Sosiologi menjadi ilmu yang berdiri sendiri karena meningkatnya perhatian terhadap kesejahteraan masyarakat dan perubahan yang terjadi di masyarakat. Sosiologi, menurut Comte, harus dibentuk berdasarkan pengamatan terhadap masyarakat bukan merupakan spekulasi.

 

Reverensi Utama:
Soerjono Soekanto. 2014. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers
William F. Ogburn dan Meyer F. Nimkoff. 1964. Sociologi. Boston: Haugton Mifflin Company