Lelaki yang Menderita Bila Dipuji Karya Ahmad Tohari | Cerpen

Lelaki yang Menderita Bila Dipuji Ilustrasi Hari Budiono/Kompas
Lelaki yang Menderita Bila Dipuji/ Ilustrasi Hari Budiono/ Kompas

Mardanu seperti kebanyakan lelaki, senang bila dipuji. Tetapi akhir-akhir ini dia merasa risi bahkan seperti terbebani. Pujian yang menurut Mardanu kurang beralasan sering diterimanya. Ketika bertemu teman-teman untuk mengambil uang pensiun, ada saja yang bilang, “Ini Mardanu, satu-satunya teman kita yang uangnya diterima utuh karena tak punya utang.” Pujian itu sering diiringi acungan jempol. Ketika berolahraga jalan kaki pagi hari mengelilingi alun-alun, orang pun memujinya, “Pak Mardanu memang hebat. Usianya tujuh puluh lima tahun, tetapi badan tampak masih segar. Berjalan tegak, dan kedua kaki tetap kekar.”

Kedua anak Mardanu, yang satu jadi pemilik kios kelontong dan satunya lagi jadi sopir truk semen, juga jadi bahan pujian, “Pak Mardanu telah tuntas mengangkat anak-anak hingga semua jadi orang mandiri.” Malah seekor burung kutilang yang dipelihara Mardanu tak luput jadi bahan pujian. “Kalau bukan Pak Mardanu yang memelihara, burung kutilang itu tak akan demikian lincah dan cerewet kicaunya."

Mardanu tidak mengerti mengapa hanya karena uang pensiun yang utuh, badan yang sehat, anak yang mapan, bahkan burung piaraan membuat orang sering memujinya. Bukankah itu hal biasa yang semua orang bisa melakukannya bila mau? Bagi Mardanu, pujian hanya pantas diberikan kepada orang yang telah melakukan pekerjaan luar biasa dan berharga dalam kehidupan. Mardanu merasa belum pemah melakukan pekerjaan seperti itu. Dari sejak muda sampai menjadi kakek-kakek dia belum berbuat jasa apa pun. Ini yang membuatnya menderita karena pujian itu seperti menyindir-nyindirnya.

Enam puluh tahun yang lalu ketika bersekolah, dinding ruang kelasnya digantungi gambar para pahlawan. Juga para tokoh bangsa. Tentu saja mereka telah melakukan sesuatu yang luar biasa bagi bangsanya. Mardanu juga tahu dari cerita orang-orang, pamannya sendiri adalah seorang pejuang yang gugur di medan perang kemerdekaan. Orang-orang sering memuji mendiang paman. Cerita tentang sang paman kemudian dikembangkan sendiri oleh Mardanu menjadi bayangan kepahlawanan; seorang pejuang muda dengan bedil bersangkur, ikat kepala pita merah-putih, maju dengan gagah menyerang musuh, lalu roboh ke tanah dan gugur sambil memeluk bumi pertiwi.

Mardanu amat terkesan oleh kisah kepahlawanan itu. Maka Mardanu kemudian mendaftarkan diri masuk tentara pada usia sembilan belas. Ijazahnya hanya SMP, dan dia diterima sebagai prajurit tamtama. Kegembiraannya meluap-luap ketika dia terpilih dan mendapat tugas sebagai penembak artileri pertahanan udara. Dia berdebar-debar dan melelehkan air mata ketika untuk kali pertama dilatih menembakkan senjatanya. Sepuluh peluru besar akan menghambur ke langit dalam waktu satu detik. “Pesawat musuh pasti akan meledak kemudian rontok bila terkena tembakan senjata yang hebat ini,” selalu demikian yang dibayangkan Mardanu.

Bayangan itu sering terbawa ke alam mimpi. Suatu malam dalam tidurnya Mardanu mendapat perintah siaga tempur. Persiapan hanya setengah menit. Pesawat musuh akan datang dari utara. Mardanu melompat dan meraih senjata artilerinya. Tangannya berkeringat, jarinya lekat pada tuas pelatuk. Matanya menatap tajam ke langit utara. Terdengar derum pesawat yang segera muncul sambil menabur tentara payung. Mardanu menarik tuas pelatuk dan ratusan peluru menghambur ke angkasa dalam hitungan detik. Ya Tuhan, pesawat musuh itu mendadak oleng dan mengeluarkan api. Terbakar. Menukik dan terus menukik. Tentara payung masih berloncatan dari perut pesawat dan Mardanu mengarahkan tembakannya ke sana.

Ya Tuhan, tiga parasut yang sudah mengembang mendadak kuncup lagi kena terjangan peluru Mardanu. Tiga prajurit musuh meluncur bebas jatuh ke bumi. Tubuh mereka pasti akan luluh-lantak begitu terbanting ke tanah. Mardanu hampir bersorak namun tertahan oleh kedatangan pesawat musuh yang kedua. Mardanu memberondongnya lagi. Kena. Namun pesawat itu sempat menembakkan peluru kendali yang meledak hanya tiga meter di sampingnya. Tubuh Mardanu terlempar ke udara oleh kekuatan ledak peluru itu dan jatuh ke lantai kamar tidur sambil mencengkeram bantal.

Ketika tersadar Mardanu kecewa berat; mengapa pertempuran hebat itu hanya ada dalam mimpi. Andaikata itu peristiwa nyata, maka dia telah melakukan pekerjaan besar dan luar biasa. Bila demikian Mardanu mau dipuji, mau juga menerima penghargaan. Meski demikian, Mardanu selalu mengenang dan mengawetkan mimpi itu dalam ingatannya. Apalagi sampai Mardanu dipindahtugaskan ke bidang administrasi teritorial lima tahun kemudian, perang dan serangan udara musuh tidak pernah terjadi.

Pekerjaan administrasi adalah hal biasa yang begitu datar dan tak ada nilai istimewanya. Untung Mardanu hanya empat tahun menjalankan tugas itu, lalu tanpa terasa masa persiapan pensiun datang. Mardanu mendapat tugas baru menjadi anggota Komando Rayon Militer di kecamatannya. Di desa tempat dia tinggal, Mardanu juga bertugas menjadi Bintara Pembina Desa. Selama menjalani tugas teritorial ini pun Mardanu tidak pernah menemukan kesempatan melakukan sesuatu yang penting dan bermakna sampai dia pada umur lima puluh tahun.

Pagi ini Mardanu berada di becak langganannya yang sedang meluncur ke kantor pos. Dia mau ambil uang pensiun. Kosim si abang becak sudah ubanan, pipinya mulai lekuk ke dalam. Selama mengayuh becak napasnya terdengar megap-megap. Namun seperti biasa dia mengajak Mardanu bercakap-cakap.

“Pak Mardanu mah senang ya, tiap bulan tinggal ambil uang banyak di kantor pos,” kata Si Kosim di antara tarikan napasnya yang berat. Ini juga pujian yang terasa membawa beban. Dia jadi ingat selama hidup belum pernah melakukan apa-apa; selama jadi tentara belum pemah terlibat perang, bahkan belum juga pernah bekerja sekeras tukang becak di belakangnya. Sementara Kosim pernah bilang, dirinya sudah beruntung bila sehari mendapat lima belas ribu rupiah. Beruntung, karena dia sering mengalami dalam sehari tidak mendapatkan serupiah pun.

Masih bersama Kosim, pulang dari kantor pos Mardanu singgah ke pasar untuk membeli pakan burung kutilangnya. Sampai di rumah, Kosim diberinya upah yang membuat tukang becak itu tertawa. Kemudian terdengar kicau kutilang di kurungan yang tergantung di kaso emper rumah. Burung itu selalu bertingkah bila didekati majikannya. Mardanu belum menaruh pakan ke wadahnya di sisi kurungan. Dia ingin lebih lama menikmati tingkah burungnya; mencecet, mengibaskan sayap dan merentang ekor sambil melompat-lompat. Mata Mardanu tidak berkedip menatap piaraannya. Namun mendadak dia harus menengok ke bawah karena ada sepasang tangan mungil memegangi kakinya. Itu tangan Manik, cucu perempuan yang masih duduk di Taman Kanak-kanak.

“Itu burung apa, Kek?” tanya Manik. Rasa ingin tahu terpancar di wajahnya yang sejati.

“Namanya burung kutilang. Bagus, kan?”

Manik diam. Dia tetap menengadah, matanya terus menatap ke dalam kurungan.

“O, jadi itu burung kutilang, Kek? Aku sudah lama tahu burungnya, tapi baru sekarang tahu namanya. Kek, aku bisa nyanyi. Nyanyi burung kutilang.”

“Wah, itu bagus. Baiklah cucuku, cobalah menyanyi, Kakek ingin dengar.”

Manik berdiri diam. Barangkali anak TK itu sedang mengingat cara bagaimana guru mengajarinya menyanyi.

Di pucuk pohon cempaka, burung kutilang bernyanyi… Manik menyanyi sambil menari dan bertepuk-tepuk tangan. Gerakannya lucu dan menggemaskan. Citra dunia anak-anak yang amat menawan. Mardanu terpesona, dan terpesona. Nyanyian cucu terasa merasuk dan mengendap dalam hatinya. Tangannya gemetar. Manik terus menari dan menyanyi.

Selesai menari dan menyanyi, Mardanu merengkuh Manik, dipeluk dan direngkuh ke dadanya. Ditimang-timang, lalu diantar ke ibunya di kios seberang jalan. Kembali dari sana Mardanu duduk di bangku agak di bawah kurungan kutilangnya. Dia lama terdiam. Berkali-kali ditatapnya kutilang dalam kurungan dengan mata redup. Mardanu gelisah. Bangun dan duduk lagi. Bangun, masuk ke rumah dan keluar lagi. Dalam telinga terulang-ulang suara cucunya; Di pucuk pohon cempaka, burung kutilang bernyanyi….

Ketika Manik datang lagi ke rumah Mardanu beberapa hari kemudian, dia menemukan kurungan itu sudah kosong.

“Kek, di mana burung kutilang itu?” tanya Manik dengan mata membulat.

“Sudah kakek lepas. Mungkin sekarang kutilang itu sedang bersama temannya di pepohonan.”

“Kek, kenapa kutilang itu dilepas?” Mata Manik masih membulat.

“Yah, supaya kutilang itu bisa bernyanyi di pucuk pohon cempaka, seperti nyanyianmu.”

Mata Manik makin membulat. Bibirnya bergerak-gerak, namun belum ada satu kata pun yang keluar.

“Biar kutilang itu bisa bernyanyi di pucuk pohon cempaka? Wah, itu luar biasa. Kakek hebat, hebat banget. Aku suka Kakek.” Manik melompat-lompat gembira.

Mardanu terkesima oleh pujian cucunya. Itu pujian pertama yang paling enak didengar dan tidak membuatnya menderita.

Manik kembali berlenggang-lenggok dan bertepuk-tepuk tangan. Dari mulutnya yang mungil terulang nyanyian kegemarannya. Mardanu mengiringi tarian cucunya dengan tepuk tangan berirama. Entahlah, Mardanu merasa amat lega. Plong. 

Ahmad Tohari, labir di Banyumas, 13 Juni 1948. Sekarang menetap di Desa Tinggarjaya, Jatilawang, Purwokerto, Jawa Tengah. Karyanya yang paling populer novel trilogi Ronggeng Dukuh Paruk. Kumpulan cerpennya, Senyum Kaiyamin, Nyanyian Malam, dan Mata yang Enak Dipandang. Buku-buku lainnya berupa novel: Kubah (1982), Di Kaki Bukit Cibalak (1977), Bekisar Merah (1993), Lingkar Tanah Lingkar Air (1995), Belantik (2001), dan Orang-orang Proyek (2002).

Hari Budiono, lulus Sekolah Tinggi Seni Rupa “ASRI” Yogyakarta tahun 1985. Tahun 1978 tergabung dalam komunitas Seni Kepribadian Apa (P1PA) di Yogyakarta. Ketika tahun 1982 Jakob Oetama mendirikan Bentara Budaya di Yogyakarta, bersama Sindhunata, GM Sudarta. JB Kristanto, Hajar Satoto, dan Ardus M Sawega, menjadi pelaksana angkatan pertama. Sekarang sebagai kurator pada Bentara Budaya, lembaga kebudayaan milik Kompas Gramedia.

Cerpen Karya Ahmad Tohari, Dimuat di KOMPAS edisi 07 Oktober 2018

Ahmad Tohari, lahir di Banyumas, 13 Juni 1948. Sekarang menetap di Desa Tinggarjaya, Jatilawang, Purwokerto, Jawa Tengah. Karyanya yang paling populer novel trilogi Ronggeng Dukuh Paruk. Kumpulan cerpennya, Senyum Karyamin, Nyanyian Malam, dan Mata yang Enak Dipandang. Buku-buku lainnya berupa novel: Kubah (1982), Di Kaki Bukit Cibalak (1977), Bekisar Merah (1993), Lingkar Tanah Lingkar Air (1995), Belantik (2001), dan Orang-orang Proyek (2002).