Menyusu Ibu Karya Dian Supangat | Cerpen
![]() |
Ilustrasi: Budiono/Jawa Pos |
Putrimasih menyusu ibunya. Ia berusia tiga puluh empat tahun. Ibunya pun
sukarela menyusuinya. Kulitnya sebersih daging kelapa muda. Wajahnya sesejuk
kemboja merah muda yang ditanam di hotel-hotel mahal. Saat kau dekat dengannya,
aromanya semerbak melati-melati yang dulu jadi pagar rumah tetanggamu.
Bunga-bunga melati yang diam-diam kau petik sepulang mengaji.
Putri tumbuh serupa kersen yang ramping. Pohon yang buah-buahnya tak sempat
merah karena burung gereja berebut dengan tangan-tangan bocah memetiknya. Putri
tangguh meski tumbuh sendirian. Tanpa saudara. Bapaknya mati saat ia SMA. Saat
ia terlampau malam pulang berlatih pementasan drama.
Bapak menunggunya di muka pintu. Bapaknya diam, namun Putri paham itu
marahnya yang paling dalam. Mereka berdebat dalam diam dan bertengkar dalam
sunyi. Kanker hati merenggut nyawa bapaknya. Putri meraung-raung. Ia
satu-satunya perempuan yang mengantar bapaknya ke kuburan hari itu. Bapaknya
dimakamkan dalam tradisi perempuan tak boleh datang ke pemakaman. Putri menatap
mata-mata lelaki yang melengos saat ditentangnya.
Putri memikat banyak lelaki. Lelaki-lelaki dari negeri jauh. Jauh berbeda
dari bapaknya. Lelaki yang dibesarkan untuk menjelajahi banyak benua. Lelaki
yang dilepas sedini mungkin dari rumah. Lelaki yang melihat gadis-gadis Timur
sebagai sesuatu yang eksotis. Lelaki-lelaki yang menyihirnya bagai ensiklopedia
terbuka. Putri bisa bermain sepuasnya dalam berbagai kisah mereka. Kisah-kisah
yang didengarnya saat kecil. Dalam versi yang lebih gila.
Lelaki-lelaki yang mengajari ia boleh berbahagia bagi dirinya sendiri.
Lelaki yang menganggap dunia ini adalah samudra. Mereka bisa berenang ke sana
kemari. Putri merekah menjelajahi benua mereka. Lalu, waktu berlalu. Putri dan
lelaki-lelaki itu tumbuh ke arah berbeda. Mereka jauh merenangi samudra. Putri
mendekati pantai. Ia rindu rumah. Putri rindu menyusu ibu.
Bunga-bunga angsana tumpah di jalan raya. Senja bersekongkol dengan langit
menjadi lebih indah kala musim hujan. Putri masih menyusu ibunya. Ibunya
tergelak karena teman-teman Putri telah menjadi susu bagi anak-anak mereka. Putri
dimintanya tak lagi menyusu.
Ibu yang ditentangnya setelah bapaknya tak ada. Ibu yang membesarkannya
dalam diam. Ia dan ibunya tumbuh dalam kesepian. Putri kembali ke rumah. Susu
ibu tersedia di sana. Tak berubah. Malah berlebih kini. Putri meyakinkan ibunya
dengan cerita-cerita tentang menyusu yang samar-samar dipanggil muncul ke
permukaan ingatannya. Sebuah cerita tentang seorang perempuan yang tubuhnya
ditanam bersama fondasi sebuah menara. Tiga bersaudara yang membangun menara
meyakini menara tak bisa berdiri tegak jika tak ada tubuh yang menjadi tumbal.
Mereka bertiga sepakat untuk tak bicara apa pun pada ketiga istri mereka. Istri
siapa pun yang datang membawa makan siang keesokan hari, maka tubuhnya yang
akan ditanam di menara. Si sulung dan saudara kedua mengancam istri-istri
mereka untuk tidak pergi ke menara. Sedang si bungsu hanya menutup mukanya dan
sesenggukan semalaman. Ia tak berkata suatu pun kepada istrinya.
Istri si bungsulah yang mengantar makanan hari itu. Si suami tak mampu
mencegah saat kedua saudaranya menanam tubuh istrinya melekat dengan tembok
menara. Istri si bungsu punya syarat. Ia rela semua bagian tubuhnya ditanam,
kecuali dua buah payudara dan kedua matanya. Ia ingin payudaranya menyusui
bayinya sampai masa sapih. Ia ingin melihat bayinya menyusu dengan kedua bola
matanya. Suaminya meraung-raung. Si istri memintanya membawa bayi mereka saat
pagi dan senja agar bisa menyusu kepadanya.
Begitulah, setiap pagi dan sore, bayi si istri bungsu dibawa suaminya untuk
menyusu. Secara ajaib air susunya tetap memancar untuk sang anak sampai
tersapih.
“Apa Ibu ingin aku tak lagi menyusu setelah mendengar cerita itu?’’
Putri lalu bercerita tentang seorang pemuda miskin di sebuah desa di India.
Ia tak bersekolah dan hanya merawat dua sapi saudagar kaya. Si saudagar kaya
meminta tetangga-tetangga miskinnya untuk merawat sapi-sapinya yang berjumlah
ratusan.
Sejak kecil ia diajak ayahnya menggembalakan dua sapi yang menjadi sumber
penghasilan mereka. Ayah dan kedua adik perempuannya mati keracunan suatu hari.
Ibunya bunuh diri, tak tahan akan kemiskinan mereka. Ia selamat karena mengalah
untuk tak makan hari itu. Ia berumur sepuluh tahun. Si saudagar mendatanginya,
hendak mengambil dua sapi miliknya. Si bocah memohon untuk terus menggembalakan
kedua sapi. Si saudagar setuju asal ia bekerja lebih keras daripada ayahnya.
Ia tak punya waktu untuk menangisi kepergian ayah dan adik-adiknya. Ia
mengambil rumput lebih banyak. Semua orang India memperlakukan sapi dengan
kemanjaan dan kemuliaan. Si bocah dua kali lipat melakukannya. Kedua sapi itu
adalah sahabat terbaiknya. Susu-susu sapi itulah penyambung napasnya. Susu-susu
itu juga yang membuatnya tumbuh menjadi lelaki desa yang menawan. Kulitnya
cokelat mengilat. Membersihkan sapi dan memandikan mereka membuat otot-ototnya
kuat. Ia tumbuh menjadi remaja dengan gurat-gurat keperkasaan yang mencuat.
Si saudagar melihat bocah yang menjelma Bima dengan tubuh sekokoh trembesi.
Si saudagar melihat tubuh binaragawan. Si saudagar menawarinya semua fasilitas
untuk membuatnya ikut kompetisi binaragawan. Si bocah rela asal ia bisa tetap
merawat sapi-sapi itu. Si saudagar dan si bocah sepakat.
Si bocah lalu tumbuh menjadi pemuda likat. Dadanya menonjol. Lengannya
seperti gumpalan awan mengembang padat. Perutnya rapat. Kaki-kakinya pun kokoh.
Susu-susu sapi kesayangannya mengalir deras dalam tubuhnya.
Tibalah saatnya si pemuda berkompetisi. Si pemuda melewati berbagai
kompetisi. Kejuaraan nasional dimenanginya. Hadiah-hadiah berlimpah baginya.
Hadiah-hadiah yang lebih menarik bagi si saudagar. Pria dan wanita memujanya.
Tak sedikit yang ingin berteman dengannya. Namun, semua itu tak penting bagi si
pemuda. Hanya kedua sapi yang bersama sejak ia kecil yang terpenting baginya.
Seantero negeri mengenalnya. Wartawan datang ke desanya, hendak meliput. Ia
tak suka menjawab pertanyaan. Si pemuda hanya sepakat diliput dengan satu
alasan. Ia akan dipotret bersama kedua sapinya. Ia memeluk dan menciumi
sapi-sapinya. Ia mengalungkan medali di leher mereka. Ia selamanya menyusu kepada
sapi-sapi itu. Seorang wartawan bertanya, “Apa kau selamanya akan menyusu
kepada sapi-sapi itu? Sampai kapan kau akan menyusu kepada sapi-sapi itu?”
“Selamanya. Akulah anak mereka. Bukankah seorang anak harus menyusu kepada
ibunya?”
***
Putri masih akan menceritakan kisah susu lain kepada ibunya. Putri berdiri
di luar ruang operasi. Susu ibu kini tak ada lagi. Akar-akar kanker
payudaranya.
Cerpen Menyusu Ibu karya Dian Supangat diterbitkan pertama oleh Jawa Pos
edisi Minggu 02 Februari 2023. Dian merupakan Peserta Menulis Fiksi Bersama
Okky Madasari yang dihelat Jawa Pos pada 12 Desember lalu. Dian adalah seorang
guru dengan semangat murid. Gemar membaca dan menulis cerpen. Bebrapa kali juga
membagikan tulisan perjalanan di media.
Post a Comment