Merawat Ayah karya SR Pono | Cerpen

Cerpen Merawat Ayah karya SR Pono terbitan Padang Ekspres
Ilustarsu Pixabay

Ayahku sudah pergi. Tanpa basa-basi. Tak ada suara-suara emosi. Dia hilang begitu saja. Terakhir aku melihatnya menjelang senja. Biasanya, waktu-waktu begitu ia sibuk menghitung deretan angka. Ia percaya dengan begitu bisa cepat kaya.

Ayahku seorang kuli bangunan. Kerja pagi pulang petang. Malamnya, ia naik pangkat menjadi tukang di atas meja warung tepi jalan. Begitu setiap hari. Pulangnya pasti sudah larut malam. Kadang, ia sudah mabuk karena pesta tuak literan.

Begitulah keseharian ayahku. Tak pernah kulihat ia berwudhu, apalagi sholat. Namun nasibnya tetap mujur. Apa yang diharapkannya terkabul. Angka-angka yang disusunnya setiap senja mendatangkan uang juga. Heboh orang sekampung dibuatnya.

“Si Payan, tabuak angkonyo. Samiliar pitih nan kaditarimonyo.” Itu saja perkataan orang yang berseliweran di nagari tempat tinggalku.

Pantas menjelang senja terakhir aku melihat ayah, begitu senang tampak raut wajahnya. Namun kenapa ia tak bersuara, kalau ia mendadak kaya? Apa karena tak ingin aku bersama ibu dan adik-adikku menikmati uang haramnya?

***

Sejak ayah pergi dari rumah, kami benar-benar merasakannya tiada. Jangankan sepintas melihat wajahnya, suaranya pun tak pernah terngiang di telinga. Kata adik bungsuku, cerita orang-orang kepadanya, ayah pergi menjemput uangnya ke kampung Cina.

Ibuku mengangguk saja mendengar cerita anak bungsunya itu. Ia tak ingin putri satu-satunya itu terluka hatinya di usia balita. Setiap adikku bertanya untuk memastikan itu, ibu selalu mengajaknya membaca Iqra.

“Doaan, ayah sehat dan ndak lupo sumbayang. Sahinggo Allah menjaganyo taruih,” kata ibu kepada Aisyah, adikku yang berusia hampir 4 tahun itu.

***

Sudah 5 tahun ayahku tak pulang. Tidak satu pun kudengar kabar yang ia kirimkan. Selama itu, tentu ibu yang menjadi tulang punggung keluargaku. Benar-benar pahit selama 5 tahun itu.

Tak ada tempat kami mengadu. Ibu tak punya keluarga, karena ia anak satu-satunya yang tersisa di ranji keturunannya. Tak mungkin hidup bergantung pada tetangga. Apalagi mengharapkan sedekah. Haram bagi ibuku meminta-minta.

Untuk keluarga kami bertahan, ibu berladang di belakang rumah. Di tanah yang sempit itu, ibu menanam apa yang ia bisa. Ada cabai, ubi kayu, tomat, dan sayuran.

Jelang tanaman itu panen, ibu bekerja serabutan. Akhirnya, ia bertahan sebagai pencuci piring di kedai nasi goreng seberang jalan dekat rumah kami. Kerjanya mulai setelah Maghrib hingga hampir jam 12 malam.

Ibu digaji 30 ribu setiap harinya. Ditambah 2 bungkus nasi goreng. biasanya, aku datang setiap pukul 8 malam, sebagaimana diminta ibu setiap jelang ia pergi bekerja. Di jam itu, aku selalu membawa pulang 1 bungkus nasi goreng untuk kumakan berdua dengan Aisyah.

Sedangkan nasi goreng yang 1 bungkus lagi, biasanya dibawa ibu sepulangnya bekerja. Nasi itu selalu dibungkusnya dengan rapat dalam kantong plastik. Paginya ia akan sedikit menyangrai nasi goreng itu di dalam kuali, untuk sarapan kami pergi sekolah.

“Aisyah, ini, beli makan yang mengenyangkan saat jam istirahat sekolah.” Begitulah ibu selalu mengingatkan adikku ketika memberikan jajan uang 5 ribu jelang berangkat sekolah.

Sedangkan kepadaku, ibu tidak lagi mengingatkan hal itu. Ia memberi uang 20 ribu untuk ongkos dan jajan selama di sekolah.

“Imam, jangan terlalu beraktivitas selain daripada belajar. Nanti, fisiknya tak sanggup di sekolah hingga jam 3 sore.” Nah, itulah pesan ibu yang tak pernah disampaikannya kepadaku ketika hendak berangkat ke sekolah.

Begitulah selama keseharian hidup keluarga kami. Kondisi itu sedikit berbeda ketika ladang kecil di belakang rumah mulai berubah. Aku dan Aisyah tidak saja diberi sarapan nasi goreng setiap pagi, tetapi dibungkuskan bekal ubi kayu yang direbus ibu usai sholat Subuh.

“Jajan kalian ibu kurangi ya. Jadi bisa ditabung untuk Imam lanjut kuliah nanti, dan untuk beli seragam Aisyah ketika masuk SMP,” ujar ibu dengan senyum kecil terpancar di bibirnya yang pucat.

Aisyah tak protes soal keputusan itu. Sebab, ia memang sangat jarang membelanjakan uang yang diberi ibu. Mentok-mentok, ia sesekali memakai uang belanjaannya di sekolah sebanyak 2 ribu saja. 3 ribu sisanya, selalu diam-diam dimasukkan Aisyah ke celengan di bawah tempat tidur ibu.

***

Sedangkan aku, langsung bertekuk lutut setelah mendengar keputusan ibu. Entah kenapa, keteguhanku goyah. Tak dapat aku membendung amarah air mata. Pagi itu aku menangis sembari memeluk kaki ibuku.

“Aku sangat bersyukur ibu telah berjuang keras untukku hingga mampu melanjutkan pendidikan ke SMA saat ini,” ucap yang mungkin tak jelas lafalnya, karena bercampur raungan.

“Jadi, izinkan aku mulai berbakti pada ibu setamat SMA ini. Kalau ibu hendak bercita-cita, cukuplah untuk Aisyah saja,” harapku kepada ibu.

Ibu pun memegang kedua bahuku. Ia angkat tubuhku sekuat tenaganya. Terasa tangannya bergetar, kakinya sempoyongan. “Imam dan Aisyah harus mencapai cita-cita. Kalian berprestasi,” tegas ibu kepadaku dengan tatapan yang membuatku habis kata-kata.

Aisyah yang dari dapur, juga spontan memeluk kaki ibuku. Entah tahu atau tidak penyebab diriku menangis, dan ibu dengan wajah berang berlinangkan air mata.

“Ibu, Aisyah pergi ke sekolah ya bu. Ibu jangan menangis. Aisyah tidak apa-apa sekolah tanpa jajan ibu. Aisyah bahkan lebih senang ibu bungkus ubi ini,” kata Aisyah yang sudah pasti tak tahu apa yang aku bicarakan dengan ibu.

Ibu pun memegang kepala kami berdua. “Pergilah kalian sekolah, nanti telat. Belajarklah dengan baik. Ibu percaya kalian akan mencapai cita-cita,” kata ibu dengan nada lembut. Aku dan Aisyah pun bergantian mencium tangan ibu.

Cerpen berikut ini juga recommended untuk di baca:

Tok, tok, tok.

“Silakan masuk.”

Kepala perawat memasuki ruang kerjaku. Ia melaporkan tentang seorang pasien di ruang rawat VIP lantai 4 rumah sakit. Katanya, pasien ini sejak kemarin tak ada keluarganya yang tiba.

“Pasien itu dua hari lalu diantarkan seorang wanita paruh baya, Pak,” lapor kepala perawat rumah sakit kepadaku.

“apakah petugas tidak meminta data atau nomor ponsel wanita tersebut?” tanyaku kepada kepala perawat.

“Sudah, Pak, wanita itu namanya Wulan. Berdasarkan fotokopo KTP, ia tinggal di Perumahan Usaha Sejahtera di pusat kota, Pak,” jelas kepala perawat.

“Namun, nomor ponselnya saat kita hubungi tidak aktif sampai sekarang, Pak,” tambahnya.

Jika mendengar penjelasan kepala perawat, sudah pasti wanita itu orang kaya. Sebab, domisilinya di kompleks elit.

“Kalau identitas pasien bagaimana?” tanyaku lagi kepada kepala perawat.

“Pasien bernama Hendro, Pak. Usianya 65 tahun. Domisili beliau juga sama dengan wanita yang mengantarkannya. Sepertinya, beliau suami dari wanita tersebut,” paparnya.

“Baiklah, sebentar lagi saya akan pulang ke ruang perawatan pasien tersebut,” kataku kepada kepala perawat yang meminta izin keluar dari ruangan kerjaku.

Aku pun mengambil jas putih di gantungan dan memakainya. Lalu, menggantungkan fotoku bersama ibu dan Aisyah. Namun, sebelum aku mengecup wajah ibu yang pada potret kami 5 tahun lalu itu. Setelah itu, aku bergegas menuju lanati 4 rumah sakit, untuk melihat kondisi pasien di ruang VIP tersebut.

Entah kenapa, aku berpikir keheranan kenapa seorang pasien VIP tidak ada yang membesuknya. Parahnya ditelantarkan oleh keluarganya sendiri. “Tapi, kenapa mesti menelantarkannya di rumah sakit?” Aku sangat bingung atas kejadian ini.

Sesampaiku di ruang rawat VIP itu, jantungku tersentak. Detaknya yang teramat kencang, membuat darahku mendidih. Ternyata, pasien yang dilaporkan kepala perawat bernama Hendro, adalah Paris Wayan alias Payan. Pria yang menghitung deretan angka di kala senja. Pria yang menelantarkan istri dan anaknya 27 tahun lalu.

Ingin rasanya aku terapkan saja SOP rumah sakit kepada pria ini. Yakni meminta petugas memulangkannya jika tak ada kabar dari keluarganya. Atau membiarkannya terlanjar dalam kondisi layaknya mayat hidup ini.

“Pastikan bapak ini dirawat dengan baik. Dia adalah ayah saya,” pesan saya kepada dokter dan perawat di ruangan tersebut, sembari keluar dari ruangan VIP tersebut.

Dokter dan perawat yang mendengarkan itu tampak sangat kebingungan. Wajah mereka bagaikan orang pikun, layaknya wajah pasien yang mereka kenal bernama Hendro tersebut.

***

Aku memilih keluar dari ruangan itu, karena tak sanggup menahan gejolak dalam hati dan pikiranku. Sesampai di ruang kerja, aku kembali mengambil fotoku bersama ibu dan Aisyah, adikku satu-satunya.

“Terima kasih ibu. Insya Allah, ibu tenang di surga.” Air mataku menetes sembari membelai wajah wanita yang melahirkanku tersebut. setelah itu, aku menelepon Aisyah yang kini menjadi tenaga pengajar di salah satu perguruan tinggi di Eropa.***

 

Cerpen Merawat Ayah karya SR Pono diteritkan Padang Ekspres edisi 05 Februari 2023)

Ruang Literasi dan Edukasi

Post a Comment

© Untaian Abjad. All rights reserved. Developed by Jago Desain