Widji Thukul, dari Penjual Koran Hingga Menjadi Aktivis dan Sastrawan

Widji Widodo adalah nama asli dari Widji Thukul. Nama Thukul sendiri diberikan oleh Cempe Lawu Warta, salah satu guru teater Jejebihan Agawe Genepe Akal Tumindak (JAGAT) yang sangat berpengaruh dalam perjalanannya menggeluti dunia sastra.

Thukul lahir pada tanggal 26 Agustus 1963 di Sorogenen, Solo. Ia lahir dari keluarga yang kurang mampu. Ayahnya seorang pengayuh becak dan ibunya menjual ayam bumbu di pasar Sorogenen. Thukul adalah anak pertama dari tiga bersaudara, Statusnya menjadi anak sulung menuntutnya menjadi panutan bagi keluarga terutama bagi adiknya.

Setelah selesai dari sekolah dasar, Thukul melanjutkan belajarnya ke Sekolah Menengah Pertama (SMP) Neegri 8 dan Sekolah Menengah karawitan Indonesia (SMKI). Tahun 1981, ia masuk di teater (JAGAT). Awalnya Thukul hanya ikut-ikutan, tetapi setelah berhenti sekolah karena alasan biaya yang menjadi hambatan, ia malah banyak menghabiskan waktunya untuk menulis puisi atau belajar teater di Jagat. Pada tahun 1985 Thukul pernah mengikuti program jurusan seni topeng di Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI) yang sekarang sudah menjadi ISI Surakarta.

Dari latar kesederhanaannya, Thukul banyak menangkap akar imajinasi dan ide-ide yang bisa menjadi bahan untuk dituangkan dalam puisi-puisinya. Baginya, menulis puisi itu tidak berbeda dengan beribadah di gereja, ada pengalaman religius yang ia dapatkan. Selain puisi, ia juga menulis cerpen esai dan resensi.

Sehari-hari, selepas sekolah, Thukul menjadi calo karcis bioskop. Bahkan juga menjadi tukang plitur dan penjual koran. Di antara beberapa pekerjaannya itu, yang ia senangi hanyalah menjual Koran. Sebab, ia bisa sekalian membaca sepuasnya sampai akhirnya ia juga mengirimkan tulisannya ke media-media, seperti Kedaulatan Rakyat, Suara Merdeka, Surabaya post, Bernas, Swadesi, Mutiara hingga Nova. Hingga terbitlah puisinya yang berjudul “Peringatan”. Puisi yang sangat terkenal pada masa itu hingga sekarang, kalimat terakhirnya: “hanya ada satu kata: Lawan!”

Banyak karya-karya puisi Widji Thukul yang sudah meraih penghargaan. Penghargaan pertamanya dari Wertheim Encourage Award diberikan oleh Wertheim Stichting di Belanda.

Tahun 1989, Thukul pernah diundang membacakan puisi oleh Geothe Institut di aula kedaulatan besar Jerman di Jakarta, tahun 1991. Ia tampil di pasar malam puisi yang diselenggarakan Erasmus Huis, semakin hari, berbagai karya yang dibuatnya banyak mendapatkan pujian dan apresiasi.

Nama Widji Thukul pun dikenal sebagai seorang sastrawan yang mampu menggentarkan Penguasa Orde Baru Presiden Soeharto dengan bait-bait puisinya. Melalui puisinya, orang-orang juga akan dipaksa melihat sebuah potret nasib para buruh yang tertindas.

Pada tahun 1994, Widji Thukul mendirikan organisasi yang diberi nama Jaringan Kesenian Rakyat (JAKER) sebagai wadah bagi para pekerja seni dan budaya yang peduli dengan nasib rakyat dan wadah untuk melakukan perlawanan.

Thukul juga dikenal sebagai aktivis yang mampu membakar semangat juang para demonstran. Hingga pada tanggal 1996 Thukul dituduh terlibat dalam kerusuhan 27 Juli. Ia pun memutuskan untuk melarikan diri dari Solo, dengan berpindah-pindah dengan harapan aparat tidak bisa menemukan keberadaannya. Dan pada akhirnya, Thukul dikabarkan hilang pada tanggal 10 Januari 1998 dan belum ditemukan hingga saat ini.

Oleh : Mohammad Cholis, di kolom teladan iqra.id