Makna 'Sapa Salah Seleh' [Mutiara Budaya Leluhur Jawa]

Makna 'Sapa Salah Seleh'

 

Orang Jawa memiliki nasihat mengesankan yang merupakan pengendali terhadap perbuatan tercela. Di samping itu, nasihat itu juga berperan dalam mengembalikan sikap seseorang untuk segera kembali pada 'kebenaran' ketika dia telah melakukan kesalahan, baik kesalahan dalam kaitannya dengan diri sendiri, keluarga, orang lain, bangsa, atau bahkan Tuhannya. 

Tidak diharapkan seseorang tetap dalam kondisi negatif sepanjang hidupnya. Ungkapan nasihat itu adalah sapa salah seleh (siapa yang berbuat salah, akan mendapatkan akibat buruk). 

Ungkapan ini pun efektif untuk meredam emosi seseorang ketika menghadapi perbuatan orang lain yang merugikan dirinya. 

Dengan menyadari bahwa semua kesalahan akan mendapatkan imbalan, seseorang tidak perlu bersikap pendendam, ingin membalas terhadap orang-orang yang telah menyakiti dan merugikan diri kita, keluarga kita, masyarakat kita, dan sebagainya. 

Ia yakin bahwa kejahatan orang tersebut ditentukan balasan oleh Tuhan, entah balasan itu diberikan di dunia atau di akhirat, tetapi pasti perbuatan tercela itu akan berbalas kejahatan. 

Orang-orang tua sering memberi nasihat kepada seseorang yang melakukan kesalahan dengan unen-unen (ungkapan): jangan melakukan itu karena sapa salah bakal seleh (siapa bersalah akan menanggung akibatnya). 

Selain itu, ketika kita menghadapi persoalan yang tidak dapat diselesaikan secara normatif (benar-salah), kita harus yakin bahwa kesalahan pasti akan berbuah keburukan. Dalam tingkat yang lebih tinggi lagi, usaha mencari siapa yang benar dan siapa yang salah tidak begitu penting. 

Kita harus berpendirian bahwa orang lain boleh mengaku sebagai pihak yang benar (sewaktu kita mengetahui bahwa orang tersebut salah) dan diri kita dinilai sebagai pihak yang salah (walaupun sebenarnya kita pada posisi benar). 

Dalam situasi perbuatan 'kebenaran' yang sulit dibuktikan dengan bukti-bukti empirik-objektif, orang Jawa akan mengatakan sapa salah seleh (siapa yang bersalah akan menerima akibat buruk dari perbuatannya).

Tampaknya ungkapan sapa salah seleh sangat efektif dalam meredam egoisme berkenan dengan perbuatan 'kebenaran' dengan pihak lain. Dalam kondisi 'kebenaran' yang sulit dibuktikan, alangkah lebih baiknya jika perseteruan diakhiri. 

Oleh sebab itu, orang Jawa selalu mengaitkan setiap perbuatan dengan balasan dari Sang Pencipta. 

Orang salah boleh mengaku bahwa dirinya benar, pencuri dapat mengelak tuduhan karena tidak ada bukti otentik, penipu dapat menangkis tuduhan karena tidak ada sanksi, koruptor dapat mengelak tuduhan bahwa dirinya bersih di hadapan orang lain. 

Akan tetapi, orang Jawa sangat yakin bahwa Tuhan mengetahui apa yang dilakukannya. Sewaktu bukti-bukti kebenaran dan kesalahan sulit ditentukan dan tidak ada bentuk solusi yang memiliki kepastian, orang Jawa akan mengambil solusi sangat arif, sapa salah seleh (siapa bersalah akan menerima akibatnya).

Sebaliknya, bagi pihak yang menerima ucapan pihak lawan seperti itu, seharusnya merasa gelisah jika dirinya memang berbuat salah. Umumnya, ungkapan sapa salah seleh diucapkan oleh pihak yang benar dalam arti yang sebenarnya, benar-benar bahwa ia benar. 

Dengan demikian, pihak lawan yang mendengar supata (sumpah serapah) itu akan merenungkan dan mengoreksi diri. Tidak tertutup kemungkinan bahwa dirinya dapat mengakui bahwa ia telah berbuat salah. Kata seleh sering dipahami pula dalam arti mendapat musibah atau mengalami penderitaan (sakit, kecelakaan, kehilangan, dan sebagainya). 

Sumber saduran Mutiara Budaya Jawa; Pardi Suratno, Edi Setiyanto, Warih Jatirahayu.

Ruang Literasi dan Edukasi

Post a Comment