Mata Dibalas Mata Karya Meutia Swarna Maharani

Cerpen Mata Dibalas Mata karya Meutia Swarna Maharani

Saat Dinda memutuskan sudah saatnya untuk ia menikah, syarat dari Mama hanya satu; wali nikahnya haruslah Daim. Bagi Mama,  Daim dilangkahi adiknya dalam urusan jodoh merupakan satu yang haram.

Walau Daim sudah bilang berkali-kali bahwa ia tak ambil pusing soal siapa yang menikah duluan, Mama tetap tidak mau tahu urusan. Daim wajib untuk datang menjadi wali nikah Dinda sebagai bentuk restunya.

Jadilah dua hari sebelum ijab kabul, Daim kembali ke rumah. Tidak terkira senangnya hati Mama melihat si sulung ternyata masih ingat jalan pulang setelah tahunan lamanya merantau di ibukota. Dinda pun tak kalah berseri-seri menyambut Daim. “Kukira kau sudah tak sayang aku!” serunya sambil bergelayutan manja di lengan Daim.

Hanya aku yang diam termangu di teras, bingung harus bersikap bagaimana. Apakah aku harus mengecup punggung tangannya lalu bermanja-manja seperti yang Dinda lakukan? Ataukah meniru tindakan Mama yang langsung memeluknya? Akhirnya kuputuskan untuk mencium punggung tangannya dan sekadar berbasa-basi menanyakan perjalanan di pesawat tadi, agar aku tak dilihatnya sebagai si bungsu yang tak tahu adab sopan santun pada kakak tertua. Daim masuk ke dalam, dengan tiap selangkah sekali membaui udara seolah berusaha mengingat apa saja yang masih tersisa di rumah ini.

“Tak apa kau tak datang saat baantaran [l]—ada Amang Zul yang bisa menggantikan posisimu sementara. Kecuali jika kau tak ada ketika Dinda ijab kabul. Hm, lebih baik tak usah dilanjutkan perkawinannya,” guyon Mama, disahuti rajukan Dinda dan gumaman maklum Daim.

Di malam kepulangan Daim, Mama menggoreng patin dan membuat semangkuk besar sayur bening. Makanan kesukaan Daim dan almarhum Abah, ingat Mama yang diucapnya berkali-kali saat aku ikut membantunya di dapur. Makan malam sederhana, dibuat oleh Mama dengan cinta yang luar biasa.

“Tak ada yang bisa menggoreng patin selezat Mama,” puji Daim.

Dusta, batinku. Warung di ujung gang yang sering kusinggahi untuk makan malam bersama pacarku itu punya patin goreng dengan kulit yang lebih renyah dan bumbu yang lebih meresap. Tapi dengan cepat aku menggeleng. Mungkin di ibukota sana memang tak ada yang bisa membuat patin goreng dengan lezat.

“Makanya cepat menikah, Daim. Berapa usiamu sekarang? Kau sudah kalah dari Dinda. Setidaknya bawa calon untuk Mama, biar bisa kuajarkan dia cara menggoreng patin supaya kau betah di rumah,” ujar Mama sembari mengambilkan seekor patin goreng lagi untuk Daim. Aku menikmati pergerakan tangan Mama dengan hati-hati, agar Mama tak tahu hatiku dalam artian sebenarnya sedang menyahuti perkataan Mama barusan setengah meledek; “Bahkan patin goreng yang katanya favorit Daim saja dulu tak mampu menahannya minggat dari rumah, Ma!”

Daim menggeleng-geléngkan kepala mendengar perkataan Mama barusan. Setelah mengucapkan terima kasih atas patin goreng yang diambilkan Mama, matanya sibuk mengitari ruangan, mencari-cari entah apa sebelum akhirnya terhenti padaku. Kulihat ia tersenyum sekilas sebelum kutundukkan kepala. Bodoh, bodoh—jangan-jangan ia sudah pernah belajar ilmu baca pikiran?

Kami melanjutkan makan dengan sunyi. Maksudnya, hanya aku dan Daim yang saling diam. Mama dan Dinda masih bersemangat berbicara tentang rangkaian acara yang sudah dan akan berlangsung. Besok adalah acara bamandi-mandi [2], lusa pagi ijab kabul dan dilanjutkan resepsi di sore harinya. Daim pun merespons sesekali dengan tidak kalah antusiasnya.

 “Danum, kalau bamandi-mandi besok, jangan diam di kamar saja. Coba kau tunjukkan sedikit kepedulian pada kakakmu. Lagipula, kan ada Daim juga di sini. Keluarlah sesekali.” Mama menyentuh lenganku tiba-tiba, membuatku mendongak dan dengan enggan mengangguk. Aku benci keramaian, dan melihat banyak orang hilir-mudik di rumah beberapa minggu belakangan membuatku pusing. Aku lebih senang di kamar. bercakap dengan foto almarhum Abah guna membunuh rindu.

Pandangan Mama kemudian kembali teralih pada Daim. Raut wajahnya yang semula agak keras padaku, kini meraut khawatir menatap Daim. “Betul tak apa kau?”

Kudengar helaan panjang napas Dinda. Ia terdengar begitu letih di sampingku, namun suara Mama tadi terdengar jauh lebih lelah untuk diabaikan.

“Ma, namanya jodoh siapa yang tahu. Kalau memang waktunya Dinda menikah lebih cepat dariku, ya sudah. Aku sungguh tak apa. Aku juga sudah pernah bilang ini berkali-kali kan?” Daim tersenyum menenangkan Mama. “Jika setelah ini ternyata giliran Danum yang mau menikah juga, aku pun tak keberatan jadi wali.”

Daim menatapku lagi, kini tanpa kedip sampai aku jengah dibuatnya. Sumpah mati, aku tak mau dia jadi wali nikahku nanti.

“Nanda dan Danum belum sarjana,” gumam Mama, mengisyaratkan penolakan.

Kini aku yang ganti menatap Daim, menunggu reaksinya. Tapi ia terlihat biasa, mulutnya malah lanjut mengunyah.

“Nanda malam ini jadi datang, Ma. Dia mau bantu Danum mengecek kue untuk besok di rumah Amang Zul.” Aku mengatakannya pada Mama, namun mataku tak lepas dari Daim.

“Cepatlah. Jangan kemalaman biar kalian tidurnya tidak larut juga.”

“Iya, Ma, tidak akan lama. Daim juga sepertinya ingin temu kangen dengan Nanda.”

Pancinganku berhasil. Daim menatapku tajam—hanya sedetik sebelum tatapan itu kembali melunak. Ia menatapku seperti orang mengaku kalah, seperti minta ampun. Sayangnya aku belum puas.

“Pastilah Daim rindu sekali. Bagaimana tidak, jika dulu saja tiap sore ia mengajari Nanda matematika cuma-cuma. Aku juga minta diajari waktu itu, tapi ia minta upah lima ribu. Daim membelikan Nanda layang-layang, padahal aku juga ingin -” aku menahan napas sebentar, menahan getar di suaraku.

“ – padahal aku adiknya.” Kuselesaikan kalimatku dengan tawa getir.

Mendadak suasana di meja makan terasa dingin membekukan. “Kau kenapa, sih?” pecah Dinda kemudian, menatapku heran.

Aku menggeleng, lalu kembali menunduk seperti yang biasa kulakukan. Aku terbiasa menunduk dalam menghadapi siapapun, dan itu membuatku terlihat lemah. Sungguh, aku benci disangka lemah.

Aku juga benci saat-saat dulu kudapati Daim memberikan Nanda es krim. Tak kalah menyebalkannya jika adegan Daim menyeka sisa es krim di sudut bibir Nanda terulang jelas dalam otakku. Waktu Daim dengan sengaja mengelus rambut Nanda saat jawaban soal matematikanya benar – ck, rasanya seluruh amarahku memuncak saat itu juga.

Dan lihatlah sekarang, si sulung kebanggaan Mama dan Dinda masih memilih untuk pura-pura bodoh.

Atau perlu kuingatkan lagi padanya ketika selesai ujian akhir sekolah dasar, aku dan Nanda saling membalap karena ingin memperlihatkan padanya nilai kami adalah dua yang terbaik dari siswa lain, ia hanya menyambut Nanda, mengecup pipinya ringan sebagai bentuk selamat seolah itu bukan perkara besar.

Mataku memerah. Aku menangis karena aku suka Nanda, tetangga yang juga teman sekelasku yang teramat menyebalkan karena suka mengganggu. Aku bahkan belum datang bulan saat itu dan aku ingin pula mengecup pipi Nanda. Tapi aku lebih sayang Daim—dulu ia juga si sulung yang selalu kupuja, aku tidak suka melihat Daim lebih sayang Nanda. Jadi aku lari ke pelukan Abah, mengadu sambil tersedu.

Abah kala itu menenangkanku. Diangkatnya tubuhku tinggi dan pipiku dihujaninya kecupan tak terhitung. Janggut yang Abah biarkan tumbuh panjang membuatku geli, lalu aku tertawa dibuatnya. Abah ikut tertawa bersamaku sambil berbisik, “Daim juga sayang kau, Danum!”

Malamnya, aku terbangun karena gelegar suara Abah. Di rumah saat itu hanya ada Abah beserta aku dan Daim. Mama dan Dinda tengah menginap di rumah Amang Zul menjenguk Nini yang sedang sakit. Aku tidak berniat mencuri dengar pembicaraan Abah dan Daim. Tapi telingaku memang dirancang untuk bisa mendengar, suara mereka juga tidak cukup pelan untuk tidak didengar.

“Kau laki-laki, Daim!”

“Aku juga tidak meminta lahir seperti ini, Abah!”

Abah meraung frustrasi. Kudengar beberapa benda jatuh yang entah apa dan kenapa. Antara penasaran dan takut, aku mengintip dari lubang kunci. Abah terduduk di lantai, Daim sedang berdiri menghadap Abah. Keduanya sama-sama tengah mencengkeram rambut masing-masing. Beberapa buku berserakan di sekitar mereka. Pastilah itu suara benda-benda yang terjatuh atau dijatuhkan tadi.

“Kenapa harus laki-laki… bocah ingusan pula!” Bahu Abah berguncang. Abah terisak-isak sambil mengucap nama Tuhan berkali-kali. “Aku tadinya cuma mau memintamu memperlakukan Nanda dan adikmu dengan adil. Tidak kusangka akan mendapat pengakuan seperti ini.”

Aku ingin sekali berlari memeluk Abah, mengingatkannya agar tidak menangis berlebihan. Abah tidak boleh stres, kalau tidak sakit jantungnya akan muncul lagi. Terlebih lagi, Abah menangis membawa namaku. Abah tidak boleh menangis karenaku.

Nyatanya, kakiku tetap terpaku di tempat. Apalagi saat napas Abah mulai terlihat tidak beraturan, rasanya seperti ada perekat yang sangat kuat di bawah kaki hingga aku tak bisa bergerak. Abah jatuh begitu saja. Daim hanya melihat dengan datar. Beberapa detik setelah Abah rebah dengan sempurna, aku teriak begitu kencang. Kubawa tubuhku berlari untuk memanggil tetangga, namun Daim langsung memerangkapku dalam pelukannya terlalu cepat sebelum aku sempat menolak.

“Jangan bilang siapa-siapa soal ini, Danum!” Aku berani bersumpah, ia hampir saja meremukkan tulang-tulang kecilku.

Para tetangga pikir, aku masih terlalu muda untuk dimintai keterangan. Jadilah mereka bertanya pada Daim. “Abah kena serangan jantung,” jawab Daim berulang-ulang pada siapapun yang bertanya.

Selepas tujuh harian Abah, Daim memutuskan untuk pergi. Waktu itu ia belum tahu ke mana, yang penting ke tempat jauh katanya. Orang-orang pikir Daim merupakan anak yang paling patah hati atas kepergian Abah hingga memutuskan untuk pergi jauh. Mereka selalu menitipkan belasungkawa hanya pada Daim jika berpapasan dengan keluarga kami. Mereka mungkin tidak tahu bahwa Dinda selalu membawa-bawa sarung salat Abah ke mana pun ia pergi selama setahun penuh sejak meninggalnya Abah. Mereka lupa perihal aku yang sampai sekarang masih suka berbicara sendiri dengan foto Abah.

Sejak saat itu, aku selalu menyumpah-nyumpahi Daim lewat segala doa yang kupanjatkan. Di antara harapan-harapan baik tentang kelapangan kubur Abah, juga bahagia hidup Mama dan Dinda, serta sedikit pesan cinta pada Nanda, selalu kuselipkan sumpah serapah barang satu atau dua kata khusus untuk Daim. Tuhan Maha Mengerti, maka aku yakin pasti dipahami.

Ketika sekarang sedang menyumpahinya lewat mata, kurasakan getaran telepon genggamku di permukaan meja makan. Nama Nanda beserta simbol hati yang kusimpan tertera jelas di layar, membuat Mama bersuara, “Nanda sudah sampai di depan, mungkin? Angkat teleponnya dulu sana.”

Kugeser layar untuk menjawab panggilan telepon. Mulutku berbicara dengan Nanda, menyuruhnya langsung masuk saja karena memang ia sudah menunggu di luar. Tapi kedua mataku tak bisa dikontrol. Mereka malah memilih untuk bilang pada mata Daim seperti ini, “Aku sudah tidak punya kamu sejak kita kecil. Kamu merebut Abah dariku. Sekarang, Nanda punyaku—aku tidak akan membiarkanmu merebut apapun dariku lagi.”

Untuk pertama kalinya, aku puas melihatnya menatapku nanar—aku merasa menang.

Depok, 7 Oktober 2019

*Dimuat di Kompas, 3 November 2019

Catatan

[1] Prosesi hantaran adat Banjar sebelum melangsungkan pernikahan

[2] Prosesi siraman adat Banjar

Meutia Swarna Maharani, akrab disapa Ara, lahir di Jakarta, 6 September 2001. Ia tumbuh besar di Banjarbaru, Kalimantan Selatan, dan kini tengah menempuh pendidikan Sastra Indonesia di Universitas Indonesia. Menulis satu buku kumpulan cerpen berjudul Melukis Pelangi (2011) dan novel berjudul Langkah Kecil (2017). Cerpennya “Baruna” termasuk dalam buku Cerpen Pilihan Kompas 2018.

Antonius Kho, lahir tahun 1958 di Klaten, Jawa Tengah. Menempuh pendidikan seni rupa di Bandung, melanjutkannya di Koln, Jerman. Menerima sejumlah penghargaan, antara lain 1st Prize “Mask in Venice” Art Addiction Annual di Venesia (1998) Gold Masks “Diploma of Excellence”, Palazzo Correr di Venesia (1989). Sejak 2004 , mendirikan Liang Art Space (Wina Gallery), di Ubud, Bali.

Ruang Literasi dan Edukasi

Post a Comment

© Untaian Abjad. All rights reserved. Developed by Jago Desain