Cerpen Terakhir Arswendo Atmowiloto: "Jas yang Kawin Dua Kali dan Celana yang Setia"

Ketika keinginannya
disampaikan kepada ibunya, perempuan yang menjanda sejak bapak lelaki muda itu
meninggal, tersenyum dan maklum.
“Kamu sudah besar. Ibarat
burung kalau sudah mulai menghias bulunya, dan memperhatikan sarang, itu
tandanya siap bertelor.”
Lelaki muda belum menyadari
artinya karena yang menyibuki sekarang ini adalah bahwa dengan memiliki jas
hitam, ia juga harus punya sepatu yang bersih, kaus kaki, baju putih, dan dasi.
Butuh waktu tertentu untuk menggenapi itu semua. Dan ketika waktunya tiba, ia
berkata kepada ibunya.
“Bu, kita potret bersama.
Menandai zaman baru, karena sekarang ada foto berwarna.”
Lalu mereka ke studio foto,
tapi harus menunggu semingguan atau dua, karena katanya proses mencetak
tergantung di laboratorium di Jakarta. Saat menunggu itulah ia bertemu
perempuan yang seusia, yang teman-temannya telah menikah dan beranak, dan
tampak sensual kalau hamil. Berkenalan dengan singkat, lalu keduanya sepakat
untuk menikah.
“Saya sudah punya jas,” kata
si lelaki.
“Urusannya bukan hanya jas
atau celana. Tapi di mana nanti kita tinggal? Bagaimana kita makan setiap
harinya.”
“Bukankah selama ini kita
punya tempat tinggal dan makan?”
“Tapi saya tak yakin apakah
kau mencintaku. Kamu tak pernah mengatakannya selama ini.”
“Ini yang saya katakan:
lelaki yang mengajakmu menikah dan benar-benar menikah adalah lelaki yang
mencintaimu. Dibandingkan lelaki yang mengatakan mencintai, mengajakmu tidur,
tapi tak kunjung menikahimu.”
Lalu mereka bertunangan, dan
menikah. Dengan jas dan setelan, lelaki itu berpotret bersama ibunya, bersama
istrinya. Potret berwarna yang belum banyak jumlahnya saat itu.
Namun, kisah berikutnya tak
ada dokumentasinya. Anak lahir, kebutuhan menambah dan penghasilan paspasan.
Suami-istri itu bekerja dalam bidangnya sendiri. Dia sendiri masih membuat apa
saja: tulisan, gambar lucu, ikut sayembara, ikut teka teki silang, ikut
berbagai lomba.
Dari sini, dia mendapat
honor yang dikirim melalui pos wesel, tanda pengiriman uang yang harus dicap di
kelurahan sebelum bisa dicairkan di kantor pos. Sementara istrinya, menjahit
apa saja yang dimaui pemberi jasa, yang bisa, menjadi pelanggan. Bisa baju,
bisa rok, bisa seprai, dengan imbalan yang beragam, dari berterima kasih dan
tanda persahabatan sampai yang benar-benar menggiurkan—kalau memesan kebaya,
tapi ini jarang.
“Istriku, kita jual saja jas
kebanggaan itu.”
“Masih ada cara lain. Aku
masih punya barang yang dijual.”
Barang lain itu bisa berupa
piring, bisa berupa termos, bisa selimut bayi, bisa gunting, bisa barang apa
saja yang disimpan dari kado pernikahan. Sebagian sudah dipakai, sebagian lebih
banyak dipandang. Selalu ada penadahnya, yang berjalan menelusuri kampung, siap
menampung barang apa saja, termasuk rontokan rambut. Rambut yang putus. Penjual
barang bekas ini bahkan akan datang, ikut memeriksa barang mana yang kira-kira
bisa dibeli. Itu yang terjadi, dan sementara jas serta celana itu
terselamatkan.
Sementara karena kemudian
kebutuhan makin mendesak, bukan dari kebutuhan mereka sendiri, melainkan karena
kebutuhan keluarga besar, kebutuhan sosial, kebutuhan berbasa basi. Dengan
sikap pasrah, keduanya menyetujui untuk melepas jas dengan celana. Untuk
terakhir kalinya lelaki itu mengenakan jas, becermin, tangannya dimasukkan ke
dalam saku. Dan ajaiblah. Dan heranlah. Tangannya menyentuh ujung saku dan
menemukan selembar duit.
“Ya ampuuun, ini pasti
malaikat yang meletakkan. Kita tak usah menjual Pak.”
“Ya, ini pasti malaikat
lokal. Kalau malaikat asing, pasti isinya dollar.”
Untuk sementara waktu yang
tak lama, jas itu selamat dari penjualan. Namun, pemiliknya mempunyai alasan
yang menguatkan selain faktor kebutuhan. Praktis selama ini tak pernah memakai
jas. Tak ada acara yang mengharuskan memakai jas. Apalagi dasi. Juga sepatu
hitam serta kaus kaki. Akhirnya jas terjual—tanpa celana. Sebab, harga yang
diberikan tidak berkurang tanpa celana. Jadilah jas tersebut dilepas. Dan
seperti mudah diduga, begitu dilepas, kenangan pada jas tidak mengelupas. Malah
makin lengket, makin berseliweran. Apalagi jas itu dijajakan di pinggir
jalan—tempat deretan para penjual barang bekas. Seakan ujung lengan yang ada
kancing tiga biji melambai, menyapa, atau menyampaikan keluhan, minta
dikasihani.
“Jas itu berkata, ketika
diperlukan, dipakai dengan bangga, dan kini dipermalukan.”
Dengan segala tekad dan
kemampuannya, suami-istri mengumpulkan sisa-sisa yang bisa disisakan dari
pendapatannya untuk menebus kembali jas itu. Dan ketika waktunya tiba, mereka
berdua menuju pangkalan di pinggir jalan, tempat jas itu digantungkan bersama
jas yang lain. Untung pedagang itu masih mengenali.
“Saya beli kembali.”
“O, tak bisa. Sudah laku.”
“Kok masih digantung di
situ?”
“Karena belum lunas. Tunggu
saja.”
Jas itu sudah dibeli oleh
seorang lelaki yang kurus. Karena duitnya masih kurang, ia memberikan uang
muka. Begitu bisa melunasi, baru akan dibawa.
Lelaki yang dulunya pemilik
jas, akan membayar uang muka dari lelaki yang akan membeli. Dengan melebihkan
jumlahnya.
“Ia bisa memilih jas yang
lain.”
Lelaki yang kurus, yang
sudah memberi uang muka pembelian jas itu tidak memilih jas yang lain. Juga
tidak menolak kalau tidak jadi dijual.
“Saya mau pakai jas itu
untuk kawin Pak. Kalau tidak jadi, ya sudah. Saya akan bilang calon istri
saya.”
“Lelaki yang kurus, yang sudah
memberi uang muka pembelian jas itu tidak memilih jas yang lain. Juga tidak
menolak kalau tidak jadi dijual. ”Saya mau pakai jas itu untuk kawin Pak. Kalau
tidak jadi, ya sudah. Saya akan bilang calon istri saya.”
Luluhlah hati pemilik jas
sebelumnya. Juga istrinya. Calon pengantin itu berhak memilih jas yang akan
dikenakan untuk perkawinan nanti. Dan itu sudah ditentukan.
“Sisanya, kita doakan saja
mereka bahagia seperti ketika kita mengenakan jas itu, dan tidak segera
menjualnya.”
Yang tertinggal adalah soal
celana yang menjadi setelan jas. Setiap kali mencuci, atau menjemur, perempuan
itu merasa kasihan.
“Dia ditinggal kawin lagi,”
tuturnya sendu. Lalu berubah menjadi: ”Lelaki biasa begitu.”
Untuk menghindari
kegelisahan setiap kali terkait dengan celana yang setia, diusulkan membuat
surat perjanjian antara suami-istri. Dengan saksi Ibu. Yaitu bahwa mereka akan
terus bersama-sama, tidak saling meninggalkan, sampai salah satu meninggal
dunia. Surat ini ditandatangani, diberi meterai.
Untuk sementara aman.
Sementara yang lama. Karena bahkan ketika celana itu tak muat dipakai lagi—dan
ditanggalkan, ditinggalkan, dan ingatan tentang jas yang kawin lagi muncul,
mereka masih berdua. Juga ketika sang Ibu meninggal, dan surat bermeterai itu
hilang atau tersimpan di tempat yang terlalu rapat.
“Surat bermeterai sudah
dibuat. Kenapa saya masih cemas, suamiku?”
“Lalu bagaimana baiknya?”
“Kamu lebih takut Ibu
daripada meterai…Ibu bisa meninggal, meterai …. ”
“Meterai bisa kedaluwarsa.
Tapi tetap saja cemas masih ada. Barangkali cemas itu menandai ada yang kita
harapkan, ada yang kita inginkan, ada yang masih menyatukan. Cemas hanya
sekadar mengingatkan itu.”
Mereka berdua juga mengingat
bahwa mereka berjanji bersama, sampai salah satu meninggal dunia. Dan membawa
dalam doa. Doanya kebetulan sama meskipun keduanya tidak saling mengetahui. Doa
itu kurang lebihnya adalah: mudah-mudahan pasangan saya meninggal duluan. Kalau
saya yang meninggal duluan, siapa yang akan mengurusnya?
Mungkin karena doa itu
mempunyai makna, mungkin juga kecemasan yang membuatnya terjaga dan saling
memperhatikan, keduanya belum mati-mati juga, setelah tiga kali melewati masa
di mana lelaki itu memiliki jas dan istri, sampai sekarang ini.
(Disalin dari karya Arswendo
Atmoiloto, yang pernah terbit di surat kabar “Kompas” edisi Minggu 11 Februari
2018).
Biografi singkat:
Arswendo Atmowiloto, lahir
di Solo tahun 1948. Nama aslinya Sarwendo, tetapi sejak menjadi penulis namanya
diubah menjadi Arswendo, lalu ditambahkan nama ayahnya Atmowiloto. Ia penulis
senior yang memiliki kecepatan menulis luar biasa. Sangat produktif, sehingga
puluhan novel, drama, skenario film, dan kumpulan cerpen lahir dari tangannya.
Mengikuti International Writing Program di Universitas Iowa City, Amerika
Serikat, tahun 1979.
Budayawan, sastrawan, dan
wartawan senior Arswendo Atmowiloto, meninggal dunia, Jumat (19/7/2019) pukul
17.50 di kediamannya di Jakarta karena kanker kantong kemih.
Post a Comment