Cerpen Terakhir Arswendo Atmowiloto: "Jas yang Kawin Dua Kali dan Celana yang Setia"

LELAKI muda, belum selesai dua tiga tahun, setelah bekerja serabutan dan memperoleh penghasilan tidak tentu, menyatakan keinginannya memiliki jas. Satu setel dengan celana—sewarna—yang kalau dipakai berpasangan menambah gagah. Lelaki itu belum pernah memiliki jas dan setelannya sebelum ini.

Ketika keinginannya disampaikan kepada ibunya, perempuan yang menjanda sejak bapak lelaki muda itu meninggal, tersenyum dan maklum.

“Kamu sudah besar. Ibarat burung kalau sudah mulai menghias bulunya, dan memperhatikan sarang, itu tandanya siap bertelor.”

Lelaki muda belum menyadari artinya karena yang menyibuki sekarang ini adalah bahwa dengan memiliki jas hitam, ia juga harus punya sepatu yang bersih, kaus kaki, baju putih, dan dasi. Butuh waktu tertentu untuk menggenapi itu semua. Dan ketika waktunya tiba, ia berkata kepada ibunya.

“Bu, kita potret bersama. Menandai zaman baru, karena sekarang ada foto berwarna.”

Lalu mereka ke studio foto, tapi harus menunggu semingguan atau dua, karena katanya proses mencetak tergantung di laboratorium di Jakarta. Saat menunggu itulah ia bertemu perempuan yang seusia, yang teman-temannya telah menikah dan beranak, dan tampak sensual kalau hamil. Berkenalan dengan singkat, lalu keduanya sepakat untuk menikah.

“Saya sudah punya jas,” kata si lelaki.

“Urusannya bukan hanya jas atau celana. Tapi di mana nanti kita tinggal? Bagaimana kita makan setiap harinya.”

“Bukankah selama ini kita punya tempat tinggal dan makan?”

“Tapi saya tak yakin apakah kau mencintaku. Kamu tak pernah mengatakannya selama ini.”

“Ini yang saya katakan: lelaki yang mengajakmu menikah dan benar-benar menikah adalah lelaki yang mencintaimu. Dibandingkan lelaki yang mengatakan mencintai, mengajakmu tidur, tapi tak kunjung menikahimu.”

Lalu mereka bertunangan, dan menikah. Dengan jas dan setelan, lelaki itu berpotret bersama ibunya, bersama istrinya. Potret berwarna yang belum banyak jumlahnya saat itu.

Namun, kisah berikutnya tak ada dokumentasinya. Anak lahir, kebutuhan menambah dan penghasilan paspasan. Suami-istri itu bekerja dalam bidangnya sendiri. Dia sendiri masih membuat apa saja: tulisan, gambar lucu, ikut sayembara, ikut teka teki silang, ikut berbagai lomba.

Dari sini, dia mendapat honor yang dikirim melalui pos wesel, tanda pengiriman uang yang harus dicap di kelurahan sebelum bisa dicairkan di kantor pos. Sementara istrinya, menjahit apa saja yang dimaui pemberi jasa, yang bisa, menjadi pelanggan. Bisa baju, bisa rok, bisa seprai, dengan imbalan yang beragam, dari berterima kasih dan tanda persahabatan sampai yang benar-benar menggiurkan—kalau memesan kebaya, tapi ini jarang.

“Istriku, kita jual saja jas kebanggaan itu.”

“Masih ada cara lain. Aku masih punya barang yang dijual.”

Barang lain itu bisa berupa piring, bisa berupa termos, bisa selimut bayi, bisa gunting, bisa barang apa saja yang disimpan dari kado pernikahan. Sebagian sudah dipakai, sebagian lebih banyak dipandang. Selalu ada penadahnya, yang berjalan menelusuri kampung, siap menampung barang apa saja, termasuk rontokan rambut. Rambut yang putus. Penjual barang bekas ini bahkan akan datang, ikut memeriksa barang mana yang kira-kira bisa dibeli. Itu yang terjadi, dan sementara jas serta celana itu terselamatkan.

Sementara karena kemudian kebutuhan makin mendesak, bukan dari kebutuhan mereka sendiri, melainkan karena kebutuhan keluarga besar, kebutuhan sosial, kebutuhan berbasa basi. Dengan sikap pasrah, keduanya menyetujui untuk melepas jas dengan celana. Untuk terakhir kalinya lelaki itu mengenakan jas, becermin, tangannya dimasukkan ke dalam saku. Dan ajaiblah. Dan heranlah. Tangannya menyentuh ujung saku dan menemukan selembar duit.

“Ya ampuuun, ini pasti malaikat yang meletakkan. Kita tak usah menjual Pak.”

“Ya, ini pasti malaikat lokal. Kalau malaikat asing, pasti isinya dollar.”

Untuk sementara waktu yang tak lama, jas itu selamat dari penjualan. Namun, pemiliknya mempunyai alasan yang menguatkan selain faktor kebutuhan. Praktis selama ini tak pernah memakai jas. Tak ada acara yang mengharuskan memakai jas. Apalagi dasi. Juga sepatu hitam serta kaus kaki. Akhirnya jas terjual—tanpa celana. Sebab, harga yang diberikan tidak berkurang tanpa celana. Jadilah jas tersebut dilepas. Dan seperti mudah diduga, begitu dilepas, kenangan pada jas tidak mengelupas. Malah makin lengket, makin berseliweran. Apalagi jas itu dijajakan di pinggir jalan—tempat deretan para penjual barang bekas. Seakan ujung lengan yang ada kancing tiga biji melambai, menyapa, atau menyampaikan keluhan, minta dikasihani.

“Jas itu berkata, ketika diperlukan, dipakai dengan bangga, dan kini dipermalukan.”

Dengan segala tekad dan kemampuannya, suami-istri mengumpulkan sisa-sisa yang bisa disisakan dari pendapatannya untuk menebus kembali jas itu. Dan ketika waktunya tiba, mereka berdua menuju pangkalan di pinggir jalan, tempat jas itu digantungkan bersama jas yang lain. Untung pedagang itu masih mengenali.

“Saya beli kembali.”

“O, tak bisa. Sudah laku.”

“Kok masih digantung di situ?”

“Karena belum lunas. Tunggu saja.”

Jas itu sudah dibeli oleh seorang lelaki yang kurus. Karena duitnya masih kurang, ia memberikan uang muka. Begitu bisa melunasi, baru akan dibawa.

Lelaki yang dulunya pemilik jas, akan membayar uang muka dari lelaki yang akan membeli. Dengan melebihkan jumlahnya.

“Ia bisa memilih jas yang lain.”

Lelaki yang kurus, yang sudah memberi uang muka pembelian jas itu tidak memilih jas yang lain. Juga tidak menolak kalau tidak jadi dijual.

“Saya mau pakai jas itu untuk kawin Pak. Kalau tidak jadi, ya sudah. Saya akan bilang calon istri saya.”

“Lelaki yang kurus, yang sudah memberi uang muka pembelian jas itu tidak memilih jas yang lain. Juga tidak menolak kalau tidak jadi dijual. ”Saya mau pakai jas itu untuk kawin Pak. Kalau tidak jadi, ya sudah. Saya akan bilang calon istri saya.”

Luluhlah hati pemilik jas sebelumnya. Juga istrinya. Calon pengantin itu berhak memilih jas yang akan dikenakan untuk perkawinan nanti. Dan itu sudah ditentukan.

“Sisanya, kita doakan saja mereka bahagia seperti ketika kita mengenakan jas itu, dan tidak segera menjualnya.”

Yang tertinggal adalah soal celana yang menjadi setelan jas. Setiap kali mencuci, atau menjemur, perempuan itu merasa kasihan.

“Dia ditinggal kawin lagi,” tuturnya sendu. Lalu berubah menjadi: ”Lelaki biasa begitu.”

Untuk menghindari kegelisahan setiap kali terkait dengan celana yang setia, diusulkan membuat surat perjanjian antara suami-istri. Dengan saksi Ibu. Yaitu bahwa mereka akan terus bersama-sama, tidak saling meninggalkan, sampai salah satu meninggal dunia. Surat ini ditandatangani, diberi meterai.

Untuk sementara aman. Sementara yang lama. Karena bahkan ketika celana itu tak muat dipakai lagi—dan ditanggalkan, ditinggalkan, dan ingatan tentang jas yang kawin lagi muncul, mereka masih berdua. Juga ketika sang Ibu meninggal, dan surat bermeterai itu hilang atau tersimpan di tempat yang terlalu rapat.

“Surat bermeterai sudah dibuat. Kenapa saya masih cemas, suamiku?”

“Lalu bagaimana baiknya?”

“Kamu lebih takut Ibu daripada meterai…Ibu bisa meninggal, meterai …. ”

“Meterai bisa kedaluwarsa. Tapi tetap saja cemas masih ada. Barangkali cemas itu menandai ada yang kita harapkan, ada yang kita inginkan, ada yang masih menyatukan. Cemas hanya sekadar mengingatkan itu.”

Mereka berdua juga mengingat bahwa mereka berjanji bersama, sampai salah satu meninggal dunia. Dan membawa dalam doa. Doanya kebetulan sama meskipun keduanya tidak saling mengetahui. Doa itu kurang lebihnya adalah: mudah-mudahan pasangan saya meninggal duluan. Kalau saya yang meninggal duluan, siapa yang akan mengurusnya?

Mungkin karena doa itu mempunyai makna, mungkin juga kecemasan yang membuatnya terjaga dan saling memperhatikan, keduanya belum mati-mati juga, setelah tiga kali melewati masa di mana lelaki itu memiliki jas dan istri, sampai sekarang ini.


(Disalin dari karya Arswendo Atmoiloto, yang pernah terbit di surat kabar “Kompas” edisi Minggu 11 Februari 2018).

 

Biografi singkat:

Arswendo Atmowiloto, lahir di Solo tahun 1948. Nama aslinya Sarwendo, tetapi sejak menjadi penulis namanya diubah menjadi Arswendo, lalu ditambahkan nama ayahnya Atmowiloto. Ia penulis senior yang memiliki kecepatan menulis luar biasa. Sangat produktif, sehingga puluhan novel, drama, skenario film, dan kumpulan cerpen lahir dari tangannya. Mengikuti International Writing Program di Universitas Iowa City, Amerika Serikat, tahun 1979.

Budayawan, sastrawan, dan wartawan senior Arswendo Atmowiloto, meninggal dunia, Jumat (19/7/2019) pukul 17.50 di kediamannya di Jakarta karena kanker kantong kemih.