Kumpulan Puisi Umbu Landu Paranggi
Ibunda
Tercinta
Perempuan
tua itu senantiasa bernama:
duka derita dan senyum yang abadi
tertulis dan terbaca jelas kata-kata puisi
dari ujung rambut sampai telapak kakinya
Perempuan tua itu senantiasa bernama:
korban, terima kasih, restu dan ampunan
dengan tulus setia telah melahirkan
berpuluh lakon, nasib dan sejarah manusia
Perempuan tua itu senantiasa bernama:
cinta kasih sayang, tiga patah kata purba
di atas pundaknya setiap anak tegak berdiri
menjangkau bintang-bintang dengan hatinya dan janjinya
(1965)
Sumber : Tonggak 3 : Antologi Puisi Indonesia Modern (ed) Linus Suryadi AG, Gramedia, Jakarta, 1987 (halaman 244). Puisi ini diambil dari Manifes, Antologi Puisi 9 Penyair Yogya, Yogyakarta, 1968.
duka derita dan senyum yang abadi
tertulis dan terbaca jelas kata-kata puisi
dari ujung rambut sampai telapak kakinya
Perempuan tua itu senantiasa bernama:
korban, terima kasih, restu dan ampunan
dengan tulus setia telah melahirkan
berpuluh lakon, nasib dan sejarah manusia
Perempuan tua itu senantiasa bernama:
cinta kasih sayang, tiga patah kata purba
di atas pundaknya setiap anak tegak berdiri
menjangkau bintang-bintang dengan hatinya dan janjinya
(1965)
Sumber : Tonggak 3 : Antologi Puisi Indonesia Modern (ed) Linus Suryadi AG, Gramedia, Jakarta, 1987 (halaman 244). Puisi ini diambil dari Manifes, Antologi Puisi 9 Penyair Yogya, Yogyakarta, 1968.
Ni Reneng
sebatang
pohon nyiur
meliuk di tengah Denpasar
(akar-akarnya memeluk tanah
dan tanah memeluk akar-akarnya)
sudah terangkai sekar setangkai
menimba hawa tikar pandan
anyaman bulan di pelataran
maka kuapung-apungkan diri
berayun dan beriring menghilir
telah tereguk air telaga
dalam satu tarikan nafas
bangau tak pernah risau
akan warna helai teratai
lalu menebal dasar telaga
melayani turun-naiknya embun
datang dan perginya sekawanan pipit
perdu saja mengerti kesusahan langit
sandaran sikap kepala kita
dalam rimba babad prasasti
dan ritus tubuh tarian
meliuk di tengah Denpasar
(akar-akarnya memeluk tanah
dan tanah memeluk akar-akarnya)
sudah terangkai sekar setangkai
menimba hawa tikar pandan
anyaman bulan di pelataran
maka kuapung-apungkan diri
berayun dan beriring menghilir
telah tereguk air telaga
dalam satu tarikan nafas
bangau tak pernah risau
akan warna helai teratai
lalu menebal dasar telaga
melayani turun-naiknya embun
datang dan perginya sekawanan pipit
perdu saja mengerti kesusahan langit
sandaran sikap kepala kita
dalam rimba babad prasasti
dan ritus tubuh tarian
selembar
demi selembar daun sirih
menyalakan perbincangan senja senja
dalam perjalanan meraut kecemasan
antara sehari hari kefanaan
dan arah keabadian
sepasang mata angin
di sini, di pusaran jantung Bali
ibu, biar bersimpuh rohku
pada kedua tapak tanganmu
bekal ke sepi malam malam mantram
memetik kidung cipratan bening embun
menyusuri jelajahan jejak aksara
menjaga kemurnian rasa dahaga
dan lapar gambelan sukma kelana
menyalakan perbincangan senja senja
dalam perjalanan meraut kecemasan
antara sehari hari kefanaan
dan arah keabadian
sepasang mata angin
di sini, di pusaran jantung Bali
ibu, biar bersimpuh rohku
pada kedua tapak tanganmu
bekal ke sepi malam malam mantram
memetik kidung cipratan bening embun
menyusuri jelajahan jejak aksara
menjaga kemurnian rasa dahaga
dan lapar gambelan sukma kelana
jika
kematian kebahagiaan kayangan
maka sia-sia derita mengempang raga
masih misteri sisa warna matahari
lalu kubaca-baca keriputmu
(ke mana-mana jalanan basah
bayang-bayang pohon peneduh)
dan gelombang riang di rambutmu
sebumbang kesadaran sunyi
melaut permainan cahaya
kesabaran ombak memintal pantai
jukung-jukung cakrawala menjaring angin
sambil mempermainkan punggung tangan
dan telapak bergurat rahim semesta
kata ibu keindahan itu
sedalam seluas samudera mistika
menyangga langit kerinduan kita
bersamamu kutemui pondok di dasar laut
di mana bunga-bunga bermekaran
harum bau nyawa tarian
dan semerbak syair selendang purba
maka sia-sia derita mengempang raga
masih misteri sisa warna matahari
lalu kubaca-baca keriputmu
(ke mana-mana jalanan basah
bayang-bayang pohon peneduh)
dan gelombang riang di rambutmu
sebumbang kesadaran sunyi
melaut permainan cahaya
kesabaran ombak memintal pantai
jukung-jukung cakrawala menjaring angin
sambil mempermainkan punggung tangan
dan telapak bergurat rahim semesta
kata ibu keindahan itu
sedalam seluas samudera mistika
menyangga langit kerinduan kita
bersamamu kutemui pondok di dasar laut
di mana bunga-bunga bermekaran
harum bau nyawa tarian
dan semerbak syair selendang purba
(Denpasar,
Oktober-November 1984)
Sumber : Majalah Kolong, No.3. Th I, 1996; Nusa
Tenggara, 10 Agustus 1997; Kompas, Jumat, 1 September 2000; Bentara, Gelak Esai
dan Ombak Sajak Anno 2001, Sutardji Calzoum Bachri. Jakarta,Kompas, 2001.
(halaman 120-121).
Melodia
cintalah
yang membuat diri betah untuk sesekali bertahan
karena sajak
pun sanggup merangkum duka gelisah kehidupan
baiknya
mengenal suara sendiri dalam mengarungi suara-suara luar sana
sewaktu-waktu
mesti berjaga dan pergi, membawa langkah ke mana saja
karena
kesetiaanlah maka jinak mata dan hati pengembara
dalam kamar
berkisah, taruhan jerih memberi arti kehadirannya
membukakan
diri, bergumul dan merayu hari-hari tergesa berlalu
meniup
seluruh usia, mengitari jarak dalam gempuran waktu
takkan
jemu-jemu napas bergelut di sini, dengan sunyi dan rindu menyanyi
dalam kerja
berlumur suka duka, hikmah pengertian melipur damai
begitu
berarti kertas-kertas di bawah bantal, penanggalan penuh coretan
selalu
sepenanggungan, mengadu padaku dalam deras bujukan
rasa-rasanya
padalah dengan dunia sendiri manis, bahagia sederhana
di ruang
kecil papa, tapi bergelora hidup kehidupan dan berjiwa
kadang
seperti terpencil, tapi gairah bersahaja harapan impian
yang teguh
mengolah nasib dengan urat biru di dahi dan kedua tangan
Keterangan : versi 1
Sumber : “Persada Studi Klub dan Sajak-sajak Presiden
Malioboro” dalam Suara Pancaran Sastra : Himpunan Esai dan Kritik, Korrie Layun
Rampan, Yayasan Arus Jakarta, 1984 (halaman 73).
Percakapan
Selat
Pantai
berkabut di sini, makin berkisah dalam tatapan
sepi yang
lalu dingin gumam terbantun di buritan
juluran lidah ombak di bawah kerjap mata, menggoda
di mana-mana, di mana-mana menghadang cakrawala
juluran lidah ombak di bawah kerjap mata, menggoda
di mana-mana, di mana-mana menghadang cakrawala
Laut
bersuara di sisi, makin berbenturan dalam kenangan
rusuh yang sampai, gemas resah terhempas di haluan
pusaran angin di atas geladak, bersabung menderu
di mana-mana, di mana-mana, mengepung dendam rindu
rusuh yang sampai, gemas resah terhempas di haluan
pusaran angin di atas geladak, bersabung menderu
di mana-mana, di mana-mana, mengepung dendam rindu
Menggaris
batas jaga dan mimpikah cakrawala itu
mengarungi perjalanan rahasia cintakah penumpang itu
mengarungi perjalanan rahasia cintakah penumpang itu
namun
membujuk jua langkah, pantai, mega, lalu burung-burung
Mungkin sedia yang masuk dalam sarang dendam rindu
saat langit
luputkan cuaca dan laut siap pasang
saat
pulau-pulau lengkap berbisik, saat haru mutlak biru
(1966)
Keterangan : versi 1, Sumber : Tonggak 3,
Antologi Puisi Indonesia Modern (ed) Linus Suryadi AG, Gramedia, Jakarta, 1987
(halaman 240). Puisi ini diambil dari Pelopor Yogya, 18 Januari 1970.
Aide Memoire
bukalah
jendela, di luar angin
menyiapkan
pelaminan kemarau
sebelum burung-burung
dan daunan
luput dari
nyalang pandang dukaku
catatan-catatan
mengubur segala kecewa
upacara
kecil hari-hari kelampauanku
bukalah
kerudung jiwa di sini
gemakan
kenangan pengembaraan sunyi
jauh atau
dekat, dari ruang ini
sebelum
sayap-sayap derita dan kerja
pergi
berlaga mendarahi bumi
dan dengan
gemas menyerbu kaki langit itu
di mana
mengkristal rindu dendamku abadi
(1967)
Sumber : Tonggak 3, Antologi Puisi Indonesia Modern
(ed) Linus Suryadi AG, Gramedia, Jakarta, 1987 (halaman 239). Puisi ini diambil
dari Pelopor Yogya, 12 April 1970.
Tujuh Cemara
sisa sampah
debu revolusi
sapu dan
lego dalam seni
di ibu kota
kata sendi kata
si tua muda
yogyakarta
(yogya sudah
lama kembali)
kembalilah
ke yogyakarta
cemara tujuh
denyar puisi
tujuh cemara
di jantung Yogyakarta
barisan rindudendam menghela anginmu
terjaring di kampus tua
tertanam cinta terdera
di surut hari mencari
debar puisi di hati
tujuh
gelandangan
(buah asam
malioboro)
memanggul
gitar nembakkan syair lagu
mentari
jalanan bulan lorong kumuh
antara
kampung kampus, gubuk gedongan
singsing
singsing fajar lenganmu
prosesi tugu
pasar alun-alun
bongkar
pasang dadadadamu
kang becak
andong muatan perkasa
kilatan raut
pasi berpeluh debu
ciumlah bumi
yang nerbitkan sayangmu
nyelamlah
lubuk urat nadi hayatmu
tujuh gunung seribu yogya
seribu tarian gang malioboro
tujuh pikul daun pisang ibu beringharjo
(nasi bungkus pondokan selasa rabumu)
tumpukan hijau restu sanubari jelata
sujud bibir pecah yang mengulum kata sejati
hulubalang benih ilham di siang malammu
tujuh cemara
gelandang
tujuh gunung
seribu saksi tak bisu
gelaran tak
sunyi gusargusur kakilima
bentangan
dukacita langit sukma
manggang
biji mata di kawah candradimuka
tak kau
dengar keliling kidung sembilu
meronda dan
menggedor mimpi mimpi igaumu
(tak kau
ingat peta rute juang gerilya
gercik darah
tumpah meriba pertiwi)
di bawah jam
kota tujuh pengemis tua
bertumpu
seperti mendoakan kita semua
di bawah
tapak sudirman kami mangkal malam-malam ini
sisa sampah debu revolusi
sapu dan lego dalam seni
di ibu kota kata sendi kata
(yogya sudah lama kembali)
kembalilah ke yogyakarta
cemara tujuh denyar puisi
tujuh cemara
di jantung
yogyakarta
barisan
rindudendam menghela anginmu
terjaring di
kampus tua
tertanam
cinta terdera
di surut
hari mencari
debar puisi di
hati
Sumber : The
Ginseng, Antologi Puisi Indonesia, Sanggar Minum Kopi, Denpasar, 1993.
Seremoni
dengan mata
pena kugali gali seluruh diriku
dengan helai
helai kertas kututup nganga luka lukaku
kupancing
udara di dalam dengan angin di tanganku
begitulah,
kutulis nyawaMu senyawa dengan nyawaku
sumber :
Bali Post, 1978
Dari Pura
Tanah Lot
inilah bunga
angin dan tirta air kelapa muda
para
peladang yang membalik balik tanah dengan tugal
agar bermuka
muka langit tinggal serta dalamku
bercocok
tanam mengidungkan musik dwitunggal
dan seruling
tidur ayam di dangau pinggir tegalan
atau
sepanjang pematang sampai ke batang air
duduklah
bersila di atas tumpukan
batu batu
karang ini lakon lakon
rumput dan
sayur laut mengirimkan gurau ombak
seraya uap
air memercik pedihku
beribu para
aku sebrang sana datang
mengabadikanmu
pasang naik pasang surut
dan kini
giliran asal bunyi sunyiku menggapai puncak meru
ke gunung
gunung agung tengadah mataku mengail ufuk
tak teduh
mengairi kasihku
sumber :
Majalah Kolong Budaya No. 3 Th. I / 1996
Fragmen
Upacara XXXIX
(buat Inna
Rambunaijati Pajijiara Marambahi)
Tujuh lapis
langit kutapis
teratas:
sungsang lapar dahaga
delapan peta
bumi kukipas
terbawah:
hening runtuhan sukma
mencium
celah retak tanah tanah
serayaraya
sawahladang terimakasihmu
dan ringkik
kuda putih putus tali
ke negeri dewata terlupa
(ke mata air
matahari ribuan ternak)
menggiring
yang berumah di sajak sajak
membasuh debu tungkai
barisan anakanak sulungmu
barisan anakanak bungsuku
(Denpasar
1984; versi 1)
Sajak Dalam
Angin
Sebelum
sayap senja
(daun-daun musim)
Sebelum hening telaga
(burung-burung malam)
Sebelum gunung ungu
(bisik suara alam)
Sebelum puncak sayu
(napas rindu dendam)
Sebelum langkah pengembara
(hati buruan cakrawala)
Sebelum selaksa kata
(sesaji upacara duka)
Sebelum cinta itu bernama
(sukma menguji cahaya)
Sebelum keningmu mama
(kembang-kembang telah bunga)
Sebelum bayang atau pintumu
(bahasa berdarah kenangan maya)
Kabut itu dikirimkan hutan
Gerimis itu ke padang perburuan
Gema yang itu dari gua purbani
Merendah: dingin, kelu dan sendiri
Namaku memanggil-manggil manamu
Lapar dahaga menghimbau
Dukamu kan jadi baka sempurna
Dan dukaku senantiasa fana
(daun-daun musim)
Sebelum hening telaga
(burung-burung malam)
Sebelum gunung ungu
(bisik suara alam)
Sebelum puncak sayu
(napas rindu dendam)
Sebelum langkah pengembara
(hati buruan cakrawala)
Sebelum selaksa kata
(sesaji upacara duka)
Sebelum cinta itu bernama
(sukma menguji cahaya)
Sebelum keningmu mama
(kembang-kembang telah bunga)
Sebelum bayang atau pintumu
(bahasa berdarah kenangan maya)
Kabut itu dikirimkan hutan
Gerimis itu ke padang perburuan
Gema yang itu dari gua purbani
Merendah: dingin, kelu dan sendiri
Namaku memanggil-manggil manamu
Lapar dahaga menghimbau
Dukamu kan jadi baka sempurna
Dan dukaku senantiasa fana
(Yogya, 1968)
Sumber : Tonggak 3, Antologi Puisi Indonesia
Modern (ed) Linus Suryadi AG, Gramedia, Jakarta, 1987 (halaman 240-241). Puisi
ini diambil dari Pelopor Yogya, Minggu, 26 April 1970.
Ronggeng
Sumba
I
Tambur tua, ditabuh
dewa
menujum
sunyiku, di mulut kemarau
sirih pinang
tembakau, membaun angin cendana
duh
sarungkan pedangmu, dendam budak biru
gulung rokok
daun lontar, kumurkan mantra pengantar
api
pediangan menanti, siraman darah lelaki
II
Gong gong
purba, meningkah bertalu talu
duh restu
dewata, menjaring bulan buangan
lima perawan
saringan, menghambur dalam arena
terjurai
melindas baying, kain dan selendang pilihan
tenunan
datu, kayu dan batu
anyaman
pelangi, menyambar nyambar dukaku
III
gemerincing
giring-giring di kaki, mabuk berburu sorak sorai
bulu ayam di
kepala meronta, surai kuda di jari melambai
melipat
malam lupa berbusa, hai patah tambur buat rajamu
(hingga
lepas urat-urat tangan), gong-gong nyaring dan tajamkan
(bahkan
hingga putus napas tarian), mari…hanya kesepianku
panggang di
bara cemar, sampai subuh berlinangan
embun,
pijaran riap embun, yang meramu cintaku
IV
rawa rawa,
paya paya, duka cintaku mengibas telaga senja
rawa rawa,
paya paya, di punggung sunyi hariku busur cakrawala
rawa rawa,
paya paya, baris cemara meriap gerimis nyawaku
rawa rawa,
paya paya, pelaminan kemarau, nyanyi fana nyanyi baka
Sumber : “Persada Studi Klub dan Sajak-sajak Presiden
Malioboro” dalam Suara Pancaran Sastra : Himpunan Esai dan Kritik, Korrie Layun
Rampan, Yayasan Arus Jakarta, 1984.
Sabana
memburu
fajar
yang mengusir bayang-bayangku
menghadang senja
yang memanggil petualang
sabana sunyi
di sini hidupku
sebuah gitar tua
seorang lelaki berkuda
sabana tandus
mainkan laguku
harum napas bunda
seorang gembala berpacu
lapar dan dahaga
kemarau yang kurindu
dibakar matahari
hela jiwaku risau
karena kumau lebih cinta
hunjam aku ke bibir cakrawala
yang mengusir bayang-bayangku
menghadang senja
yang memanggil petualang
sabana sunyi
di sini hidupku
sebuah gitar tua
seorang lelaki berkuda
sabana tandus
mainkan laguku
harum napas bunda
seorang gembala berpacu
lapar dan dahaga
kemarau yang kurindu
dibakar matahari
hela jiwaku risau
karena kumau lebih cinta
hunjam aku ke bibir cakrawala
Sumber : “Persada Studi Klub dan Sajak-sajak Presiden
Malioboro” dalam Suara Pancaran Sastra : Himpunan Esai dan Kritik, Korrie Layun
Rampan, Yayasan Arus Jakarta, 1984.
Kuda Merah
kuda merah
musim buru,
berapa kemarau panjang maumu
jantung yang
akan terbakar hangus,
satu cambuk api lagi
peluki
padang anak angin
dan batu gunungku purba
melulur
bayang-bayang di pasir waktu :
rahasia cinta
Post a Comment