Kopi dan Cinta yang Tak Pernah Mati karya Agus Noor
Cerpen Agus Noor (Kompas, 11 Januari 2015)
KEBEBASAN selalu layak
dirayakan. Maka selepas keluar penjara, yang diinginkan ialah mengunjungi kedai
kopi ini. Kebahagiaan akan semakin lengkap bila dinikmati dengan secangkir
kopi. Hanya di kedai kopi ini ia bisa menikmati kopi terbaik yang disajikan
dengan cara paling baik.
Ada orang-orang yang
bersikeras mempertahankan kenangan, dan kedai kopi ini seolah diperuntukkan
bagi orang-orang seperti itu. Nyaris tak ada yang berubah. Meja kursi kayu
hanya terlihat makin gelap dan tua. Yang dulu tak ada hanya poster bergambar
siluet wajah lelaki berkumis tebal, yang terpasang dekat jendela. Ada tulisan
bawah poster itu, seperti larik puisi. Pada kopi ada revolusi, juga cinta yang
tak pernah mati. Ia tersenyum. Sejarah memang aneh: dulu lelaki itu
pembangkang, kini dianggap pejuang.
Beberapa orang di kedai kopi
langsung menatap tajam saat ia masuk. Ia mengenali beberapa dari mereka, para
pembangkang yang sejak dulu memang selalu berkumpul di kedai kopi ini. Ia tetap
tenang. Apa pun bisa terjadi. Mungkin seseorang akan menyerangnya. Sepuluh
tahun dalam penjara membuat kewaspadaannya makin terasah. Ia meraba pistol di
balik jaket. Sekadar berjaga. Kita harus selalu berhati-hati menghadapi
kebencian, batinnya, saat menatap anak muda penyaji kopi yang terus
memandanginya. Mata itu mengingatkan pada mata laki-laki yang dulu dibunuhnya.
Umur anak muda itu baru 11 tahun saat bapaknya mati. Kini terlihat seperti
banteng muda yang siap meluapkan dendamnya. Pemuda itu mengangguk pelan saat ia
memesan.
Panas udara siang membuat
aroma kopi terasa semakin kental. Tak akan pernah dilupakannya harum kopi yang
menenteramkan ini, seolah aroma itu dicuri dari surga. Ketika ditugaskan ke
kota ini, komandannya memberi tahu, agar tak melewatkan kedai kopi ini dari ‘daftar
yang harus dikunjungi’: Kedai kopi yang menyediakan kopi terbaik. Kedai kopi
yang bukan saja istimewa, tetapi juga berbahaya.
Bertahun lalu, ia dikirim ke
kota ini untuk menghabisi seorang pembangkang yang dianggap berbahaya bagi
negara. Saat itu demonstrasi nyaris meledak setiap hari. Kota ini menjadi kota
yang selalu rusuh oleh gagasan gila perihal kemerdekaan. Para perusuh itu,
begitu tentara menyebut, tak hanya bergerak di hutan-hutan, tetapi juga
menyusup ke kota, menyerang pos keamanan atau menyergap pasukan patroli
keamanan. Tentara melakukan pembersihan. Puluhan orang ditangkap, diculik dan
tak pernah kembali. Ada peristiwa yang tak akan pernah dilupakan oleh penduduk
kota ini, ketika suatu hari tentara mengeksekusi delapan anak muda di perempatan
pusat kota. Mereka diseret, dibariskan satu per satu, kemudian ditembak tepat
di kepala. Kekejian seperti itu terkadang diperlukan untuk menciptakan
ketakutan. Tapi siapa yang bisa membunuh gagasan? Kepala bisa ditembak sampai
pecah, tetapi gagasan akan terus hidup dalam kepala banyak orang. Peristiwa itu
mendapat protes keras, dan makin memicu perlawanan. Amnesty International
menekan pemerintah pusat. Saat operasi militer dianggap tak lagi efektif, ia
pun dikirim.
Sebagai agen intelijen
terlatih ia pun dengan cepat mengetahui, bagi orang-orang di kota ini kedai
kopi bukan sekadar tempat untuk menikmati kopi. Hampir di setiap jalan di kota
ini selalu ada kedai kopi. Rasanya tak ada penduduk kota ini yang tak menyukai
kopi. Di kedai kopi waktu seperti berhenti. Orang bisa sepanjang hari duduk di
kedai kopi untuk berkumpul, berbual atau menyendiri, mempercakapkan hal-hal
rahasia, kasak-kusuk perlawanan, juga tempat paling tepat untuk menyelesaikan
masalah. Pertengkaran bisa diselesaikan dengan secangkir kopi. Semua informasi
di kota ini akan dengan mudah didapatkan di kedai kopi.
Dari informasi yang dimiliki
ia mengenali lelaki yang mesti dihabisi. Yang dianggap musuh negara paling
berbahaya ternyata bukan seorang berperawakan kekar, yang hidup berpindah-pindah
dalam hutan memimpin gerilyawan, dan karena itu tentara tak pernah berhasil
menangkapnya. Orang yang dicarinya itu hanya bertubuh kecil, nyaris kurus,
berkulit gelap, rambut agak ikal. Ia terlihat keras, tetapi selalu berbicara
dengan intonasi santun. Jadi inilah orang yang selalu menghasut anak-anak muda
untuk melakukan perlawanan dan menuntut kemerdekaan. Dia hanya penyaji kopi.
***
ANAK muda penyaji kopi itu
telah berdiri di dekatnya, menyodorkan secangkir kopi yang sedikit bergetar
ketika diletakkan di meja. Ia tahu anak muda itu gugup, tetapi berusaha
mengendalikan emosinya.
“Ini kopi terbaik yang
kusajikan untukmu yang di dalamnya tersimpan rahasia, yang hanya bisa kau
ketahui setelah kau meminumnya.” Anak muda itu menatapnya. “Tapi aku tak yakin,
apakah kamu berani meminumnya habis.”
Di luar, jalanan ramai lalu
lalang kendaraan. Klakson angkot, knalpot sepeda motor meraung kencang. Lagu
dangdut terdengar dari kedai kopi seberang jalan. Tapi ia merasakan suasana
begitu sunyi di kedai ini. Semua orang dalam kedai terdiam dan memandang ke
arahnya, seolah berharap terjadi perkelahian seru.
“Duduklah,” akhirnya ia
berkata. “Seperti yang selalu dikatakan orang-orang di kota ini, mari kita
selesaikan semuanya dengan secangkir kopi.”
“Seperti ketika kamu
menghabisi ayah aku!”
Terdengar kursi kayu
digeser, dan anak muda itu duduk. Lagu dangdut masih terdengar dari kedai
seberang: Tuduhlah aku, sepuas hatiiimuuuu, atau bila kau perlu bunuhlah
akuuuu…
“Kau pasti membenciku.” Ia
mengisap rokok dalam-dalam.
“Untuk apa membenci seorang
pengecut. Pengecut lebih pantas dikasihani.”
“Kalau kukatakan aku bukan
pembunuh ayahmu, pasti kau tak percaya. Tapi baiklah, bila aku memang kau
anggap pembunuh ayahmu, kau pasti tahu kenapa ayahmu harus dibunuh.”
“Selalu tersedia cukup
banyak alasan untuk menjadi pembunuh. Hanya pengecut yang membunuh dengan
cara-cara licik.”
“Jangan terlalu percaya pada
apa yang diberitakan koran-koran. Asal kau tahu, aku mengagumi ayahmu. Kematian
ayahmu bukan tanggung jawabku. Itu tanggung jawab negara.”
“Yang pertama-tama dilakukan
para pengecut memang selalu mencari pembenaran. Itu sebabnya para pengecut
selalu selamat.”
Ia kembali menyalakan
sebatang rokok. Padahal rokok di asbak masih panjang. Ia ingin meminum kopi di
cangkir itu pelan, tapi seperti ada yang menahannya, insting yang
mengharuskannya bersikap hati-hati dalam situasi seperti ini. Jari-jarinya
berkedut, hal yang selalu terjadi bila ia merasa cemas, hingga rokok di jarinya
nyaris lepas. “Aku telah menghabiskan sepuluh tahun dalam penjara untuk sesuatu
yang dituduhkan padaku yang sebenarnya tak pernah kulakukan.”
“Pengecut tak akan pernah
berani mengakui kejahatan yang dilakukan!”
“Aku sendiri hanya orang
yang dikorbankan untuk menutupi kesalahan orang lain. Salah alamat bila kau
mendendam kepadaku.”
“Ini bukan soal dendam. Ini
soal keadilan,” tatapan anak muda itu makin tajam. “Kamu memang sudah dihukum.
Dan aku yakin, sepanjang hidupmu, kamu akan terus dihukum oleh kepengecutan dan
ketakutanmu. Tapi itu bukan alasan bagiku untuk berhenti menuntut keadilan.”
“Apa yang kamu tuntut dari
keadilan? Keadilan tak pernah membuat yang mati hidup kembali.”
“Yang mati memang tak akan
pernah hidup kembali…”
“Kecuali Tuhan,” ia
menimpali ucapan anak muda itu, mencoba berkelakar mencairkan suasana tegang.
“Keadilan bukan perkara
orang per orang. Ini bukan persoalan antara aku dan kamu. Juga bukan persoalan
kamu dan ayahku. Jika kamu menganggap ini hanya persoalan pribadi, semestinya
kamu menantang ayahku untuk berduel, sampai salah satu di antara kalian mati.
Itu jauh lebih jantan dan terhormat. Tapi aku tahu, pengecut semacammu tak akan
pernah berani bersikap jantan seperti itu. Menyedihkan memang, pengecut selalu
selamat oleh kepengecutannya.”
“Aku bukan pengecut!”
Suaranya terdengar mengambang di udara.
“Kalau begitu, minum kopi
itu, dan kita tunggu apa yang terjadi.”
Ketika ia hanya terdiam
gamang memandangi cangkir kopi, anak muda itu tertawa masam. “Apa kamu pikir
dengan berani datang ke kedai ayahku ini kamu sudah membuktikan keberanianmu?
Tidak! Aku yakin kamu datang kemari bukan untuk meminta maaf. Kamu datang
kemari justru karena ingin membuktikan bahwa kamu tidak bersalah telah membunuh
ayahku. Kamu merasa, dengan dipenjara sepuluh tahun, sudah cukup untuk
menganggap selesai persoalan. Bagiku, tak ada kata lupa untuk kejahatan.
Pembunuh selalu bersikeras melupakan korbannya. Bahkan, aku yakin, kamu sudah
lupa seperti apa ayahku.”
Ia diam-diam melirik pada
poster di tembok kayu itu; wajah lelaki berkumis tebal itu tak akan pernah
mungkin dilupakannya. Wajah itu selalu muncul dalam mimpi buruknya. Ia tak akan
pernah lupa pada saat-saat ia mulai mendekati lelaki itu. Masuklah ke dalam
hati musuhmu melalui apa yang disukainya. Ketika ia selalu mengajaknya bicara
tentang kopi, lelaki itu dengan cepat menyukainya. Saat menikmati kopi di sore
bergerimis, dari lelaki itu ia tahu rahasia menyajikan kopi. Sentuhan tangan
penyaji kopilah yang membedakan rasa kopi. Biji kopi terbaik tetap saja tak
akan enak bila tangan penyaji kopi itu tak mengenali jiwa kopi. Ia pun mengerti
kenapa di kedai ini tak ada mesin penggiling kopi. Lelaki itu mengolah sendiri
biji-biji kopi dengan tangannya. Sentuhlah biji-biji kopi itu dengan seluruh
perasaanmu, kamu akan merasakan sesuatu yang lembut. Dan kamu akan tahu mana
biji kopi terbaik yang pantas disajikan untuk pelanggan.
Sebenarnya ia tak hendak
percaya. Namun pada kenyataannya kopi di kedai kopi ini memang terasa paling
nikmat di lidahnya. Ia sudah sering menikmati kopi di banyak kedai kopi, tetapi
tak ada yang bisa membuatnya merasa begitu nikmat senikmat setiap kali ia
menikmati kopi di kedai ini. Seakan dalam secangkir kopi itu ada kebahagiaan yang
dikekalkan. Bahkan ketika dalam penjara, diam-diam ia sering minta tolong pada
sipir untuk membelikan kopi dari kedai ini. Dengan sogokan tentu saja.
“Tak pernah ada sebelumnya
yang membiarkan kopi di kedai ini menjadi dingin tanpa menyentuhnya,” suara anak
muda itu membuyarkan ingatannya. “Itu sudah cukup membuktikan bahwa kamu bukan
saja pengecut karena tidak berani meminum kopi yang aku sajikan, tetapi juga
meyakinkanku kalau kamu memang pengecut yang dihantui ketakutanmu sendiri.”
Anak muda itu bangkit
meninggalkannya sendirian.
***
LANGIT gelap dan kosong ketika ia keluar dari
kedai itu. Tapi perasaan kosong dalam hatinya menghamparkan kehampaan melebihi
luas langit yang dipandanginya. Rasanya ia merasa lebih terhormat bila anak
muda itu menghajarnya hingga babak belur ketimbang membuatnya merasa terhina
seperti ini.
Tak akan pernah berani lagi
ia kembali ke kedai kopi itu. Kopi yang disajikan anak muda itu benar-benar
telah membuatnya diluapi perasaan takut; mengingatkannya pada peristiwa saat ia
menuangkan arsenik ke dalam cangkir kopi lelaki berkumis itu. Ia melihat
seorang gadis berjalan bergegas menyeberang jalan. Gadis itu memakai kaos
bergambar sablon wajah lelaki berkumis itu. Kematian seorang pengecut seperti
dirinya tak akan pernah mendapat kehormatan seperti kematian lelaki yang
dibunuhnya.
Saat melintas di depan toko
kelontong berkaca lebar ia berhenti, memandangi bayangan muram tubuhnya; kulit
coklat gelapnya tersamar warna jaket yang telah pudar, mata cekung dan alis
matanya yang semurung sayap burung sedikit tertutup rambut yang mulai gondrong.
Bayangan di kaca itu seperti hantu masa lalu yang tak ingin dilihatnya.
Kemudian ia berjalan menuju kelokan, dan untuk terakhir kali memandang kedai kopi itu dari kejauhan, sebelum akhirnya menghilang ke dalam cahaya kota yang remang. Bila pada akhirnya ia benar-benar menghilang dari dunia ini, adakah seseorang yang masih mengingat dan mengenangnya? (*)
Agus Noor, punya latar belakang pendidikan teater di ISI Yogyakarta, tetapi lebih populer sebagai cerpenis dan aktivis media sosial. Cerpennya pernah dinobatkan sebagai cerpen terbaik Kompas tahun 2011. Penulis yang lahir di Tegal, Jawa Tengah, ini menjadi sutradara dan penulis lakon dalam seri seni pertunjukan Indonesia Kita yang digagas seniman Butet Kartaredjasa.
Post a Comment