Pertunjukan Wayang sebagai Etika; Makna Simbolisme Pertunjukan Wayang
![]() |
Sumber gambar : puthutnugroho |
“Mengetahui bahwa setiap tokoh wayang memiliki karakter, maka pertunjukan wayang memiliki tujuan tidak hanya sebagai tontonan (hiburan), namun pula sebagai tuntunan (pembelajaran) bagi setiap penonton. Dengan demikian sesudah menyaksikan pertunjukan wayang, penonton yang arif akan meneladani laku hidup dari setiap tokoh wayang dengan karakter baik.” Sri Wintala (2014: 11)
Pertunjukan
Wayang sebagai Etika
Sesungguhnya
pagelaran wayang merupakan pagelaran etika, yakni suatu perlawanan antara yang
baik dengan yang buruk. Karakter baik diperankan oleh dewa dan ksatria,
Punakawan; Semar, Gareng, Petrukm dan Bagong; berada di sebelah atau dipegang
tangan kanan dalang. Sedangkan karakter yang buruk diperankan oleh denawa dan
raksasa dengan ‘pamongnya’ Togog (Tejamantri) dan Mbilung (Sarawita); berada di
sebelah atau dipegang tangan kiri dalang.
Dalam
konotasi Jawa, kiri berkonotasi dengan keburukan (hal-hal yang negatif) dan
kanan berkonotasi dengan kebaikan (hal-hal positif). Dalam cerita Mahabarata,
karakter baik-buruk itu ditunjukkan oleh permusuhan Pandawa-Kurawa; dan
Arjuna-Buta Cakil. Buta Cakil keluar pada setiap lakon dan selalu mati di
tangan ksatria, menggambarkan bahwa karakter yang buruk setiap saat pasti akan
kalah oleh karakter baik, walaupun selalu ada atau muncul kembali setiap saat.
Dalam kisah Ramayana, permusuhan antara buruk dan baik digambarkan dengan
permusuhan antara Rahwana (Dasamuka)
dari Kerajaan Alengka dan Ramawijaya dari Kerajaan Pancawati memperebutkan Dewi
Sinta.
Baik Buruknya tindakan atau tingkah laku manusia antara lain digambarkan dalam cerita:
- Tripama, sebagaimana
dikemukakan oleh Mangkunegara IV (1812-1881) dengan tokoh-tokoh: 1) Patih
Sumantri (Suwanda) dari kerajaan Maespati dengan raja Arjunasasra;
2) Kumbakarna,
adik dari Rahwana (Dasamuka) raja Alengka;
3) Adipati
Karna, raja Awangga, kakak Pandawa, keturunan Pandu, yang berjumlah lima
(Judistira, Werkudara, Arjuna, Nakula dan Sadewa), yang menjadi senapati negara Astina (Kurawa).
- Sastra Jendra dengan
tokoh Resi Iswara (Begawan Wisrawa) dengan Dewi Sukesi yang melahirkan empat
orang anak (Dasamuka, Kumbakarna, Sarpakenaka, dan Wibisana).
- Arjuna Wiwaha (Perkawinan
Arjuna dengan Dewi Supraba).
- Begawat Gita, tentang dharma ksatria (wejangan Kresna
terhadap Arjuna)
- Tripama, sebagaimana
dikemukakan oleh Mangkunegara IV (1812-1881) dengan tokoh-tokoh: 1) Patih Sumantri (Suwanda) dari kerajaan Maespati dengan raja Arjunasasra;2) Kumbakarna, adik dari Rahwana (Dasamuka) raja Alengka;3) Adipati Karna, raja Awangga, kakak Pandawa, keturunan Pandu, yang berjumlah lima (Judistira, Werkudara, Arjuna, Nakula dan Sadewa), yang menjadi senapati negara Astina (Kurawa).
- Sastra Jendra dengan tokoh Resi Iswara (Begawan Wisrawa) dengan Dewi Sukesi yang melahirkan empat orang anak (Dasamuka, Kumbakarna, Sarpakenaka, dan Wibisana).
- Arjuna Wiwaha (Perkawinan Arjuna dengan Dewi Supraba).
- Begawat Gita, tentang dharma ksatria (wejangan Kresna terhadap Arjuna)
Makna Simbolisme Pertunjukan Wayang
Dalam
pertunjukan seni wayang purwa, setiap penonton akan menyaksikan blencong,
kelir, dalang, wisraswara, sinden, wiyaga, gamelan, dan wayang. Dari setiap
unsur pertunjukan wayang purwa itu memiliki makna simbolik. Berikut adalah
makna simbolik dari setiap unsur dalam pertunjukan wayang.
Blencong
Blencong
atau lampu untuk pertunjukan wayang di malam hari yang di gantung di atas
kepala dalang untuk memberikan pencahayaan pada kelir bermakna simbolik sebagai
cahaya kehidupan atau matahari bagi dunia. Dengan demikian, blencong yang
menyala itu memberikan petunjuk bahwa kehidupan tengah berlangsung. Bila
blencong padam, maka berakhirlah kehidupan.
Kelir
Kelir
adalah layar putih yang membentang di antara dua deretan wayang. Pada kelir
tersebut, seorang dalang akan memainkan wayang-wayangnya. Secara simbolik kelir
bermakna sebagai alam dunia, dimana seluruh wayang (seluruh makhluk hidup
ciptaan Tuhan, antara lain manusia, binatang dan tumbuhan) tengah melakukan
aktivitasnya atau melangsungkan kehidupannya.
Dalang
Dalang
adalah seorang yang memainkan wayang-wayang pada sebentang kelir. Secara
simbolik, dalang dimaknai sebagai penggerak kehidupan wayang-wayang. Dengan
demikian dalang dapat dimaknai sebagai roh (rah/darah) atau nyawa (hawa) yang
menggerakkan raga (wayang). Namun terdapat presepsi lain yang mengatakan, bahwa
dalang disimbolkan sebagai tuhan terhadap wayang-wayang yang merupakan simbol
makhluk ciptaannya.
Wiraswara,
Sinden, Wiyaga, dan Gamelan
Wiraswara,
Sinden, Wiyaga, dan Gamelan dalam pertunjukan wayang purwa tidak memiliki makna
khusus secara simbolik. Sekalipun keberadaan Wiraswara, Sinden, Wiyaga, dan
Gamelan hanya sebagai pelengkap skunder dalam pertunjukan wayang purwa; namun
menjadi faktor pemikat penonton. Dengan demikian Wiraswara, Sinden, Wiyaga, dan
Gamelan dapat dimaknai sebagai garam di dalam kehidupan wayang.
Wayang
Wayang
adalah boneka-boneka yang dibuat dari kulit kerbau. Melalui seorang dalang,
wayang-wayang tersebut dimainkan dengan latar belakang kelir di panggung
kehidupannya. Wayang dimaknai sebagai bayangan yang dapat ditangkap dari
belakang oleh penonton di belakang kelir. Namun dalam perkembangannya,
pertunjukan wayang ketika dimainkan kini disaksikan oleh penonton dari depan
kelir. Sehingga wayang tidak lagi dimaknai sebagai bayangan, melainkan figur
makhluk Tuhan itu sendiri.
Ensiklopedia Karakter Tokoh-Tokoh Wayang karya Sri Wintala Achmad
Nilai-Nilai Pembentuk Karakter dalam Cerita/Pertunjukan Wayang Purwa karya Prof. Dr. AY. Soegeng Ysh, M.Pd
Post a Comment